Berita

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng/Net

Publika

Yang Mahal di Indonesia Itu Membiayai Oligarki Konglomerat Busuk

SELASA, 15 NOVEMBER 2022 | 13:20 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

JANGAN dibalik ya, seolaholah oligarki konglomerat busuk yang membiayai kehidupan sosial, ekonomil, politik, pembangunan negara Indonesia. Bukan! Justru rakyat Indonesia lah yang berkeringat membiayai kemewahan hidup oligarki konglomerat busuk.

Ingatkan seluruh rakyat jangan terpengaruh oleh propaganda oligarki konglomerat busuk yang mengaku sebagai penyangga utama ekonomi Indonesia. Konglomerat busuk itu parasit kutu busuk.

Rakyat Indonesia itu marhaen, rakyat dengan lahan sepetak, jendela rumah jadi kios, masak pagi pagi jual ke tetangga, jualan kaki lima, jualan olnen skala kecil, rakyat Indonesia begitu mandiri, hampir hampir tidak membutuhkan bantuan pemerintahan, mereka hidup guyub saling tolong menolong dalam komunitas komunitasnya.

Rakyat Indonesia itu bisa membiayai pemerintah, menggaji para pejabat dari tingkat RT sampai presiden. Kebutuhan uang untuk itu tidaklah besar. Rakyat bisa iuran beras untuk membiayai mereka, iuran-iuran itu telah biasa dilakukan tanpa mengeluh, karena biaya pemerintahan itu murah sekali.

Namun membiayai kemewahan hidup konglomerat busuk itulah yang paling mahal. Lahan sepetak dipajaki, kios semeter dipajaki, rumah dipajaki, bayar iuran dipajaki, jualan dipajaki, semua untuk menumpuk uang di APBN untuk dipakai belanja oleh oligarki konglomerat busuk.

Mereka memperbesar kemewahan hidup mereka dengan mendapatkan belanja APBN dalam proyek-proyek mereka yang boros, tidak efisien dan korup. APBN itu rakyat yang dipajaki, oligarki konglomerat busuk yang belanjakan, pemerintahan yang diperalat.

Kemewahan hidup para konglomerat busuk dengan diperbesar tidak hanya dengan memperalat pemerintahan, namun seluruh institusi moneter dan keuangan.

Konglomerat busuk memperalat institusi moneter agar merusak stabilitas moneter, mereka mendapatkan untung dengan menjatuhkan nilai tukar. Mereka menjadi insider trading memainkan nilai mata uang.

Mereka adalah biang kerok hancurnya mata uang negara ini, setelah terlebih dahulu memindahkan aset-aset mereka ke luar negeri dan kembali di saat uang mereka bernilai besar terhadap rupiah.

Coba lihat itu Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kredit Liquiditas Bank Indonesia (KLBI), mereka membangkitkan negara, memaksa negara meminjam uang, membuat uang, lalu dialirkan semua ke kantong konglomerat busuk.

Tahu berapa jumlahnya, 6-7 kali APBN Indonesia di masa itu. Bagaimana mereka tidak kaya raya, mereka itu parasit, kutu busuk yang tengik.

Apa yang mereka lakukan terhadap ekonomi Indonesia? Mereka merusak, sumber daya alam dikeruk secara serampangan, sawit, batubara, minyak, tambang tambang yang luas luas, mereka keruk, meninggalkan kerusakan-kerusakan yang sangat parah, mewariskan bencana alam, tragedi kemanusiaan di seantero negeri.

Uang mereka dibawa kabur ke luar negeri. Mereka simpan di Panama Papers, Pandora Papers atas nama pejabat negara dan budak budak piaraan mereka. Para konglomerat busuk dan antek anteknya pada dasarnya anti dengan kebangsaan Indonesia.

Jadi sekali lagi yang mahal itu bukan transisi energi, bukan pelaksanaan politik dan pemerintahan, bukan penyelenggaraan hajat hidup orang banyak, tapi yang mahal itu adalah biaya yang harus ditanggung untuk menopang kemewahan hidup para konglomerat busuk yang sepanjang hari merampas sumber daya ekonomi rakyat dan merusak kemampuan produksi serta produktivitas rakyat.

Mereka semua itu oligarki konglomerat busuk itu harus ditangkap, jangan dibiarkan menguasai negara, pemerintahan, bank Indonesia, perbankan, sumber daya alam.

Karena para konglomerat busuk itu hanya akan terus melanjutkan kerusakan yang tidak berkesudahan. Mereka harus ditangkap karena telah melakukan kudeta, makar kepada bangsa dan negara Indonesia.

Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya