Berita

Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta, Andi Kurniawan/RMOL

Publika

Sosialisme Modern China

OLEH: ANDI KURNIAWAN*
KAMIS, 27 OKTOBER 2022 | 20:44 WIB

KONGRES Partai Komunis China ke-20 mempertajam konstelasi ideologis antara China dengan Barat. Presiden Xi Jinping mendeklarasikan ide sosialisme modern ala China yang menegaskan perbedaan karakteristik modernisasi China dengan negara-negara Barat.

Menurut Xi, modernisasi dan pembangunan ekonomi China tidak identik dengan hegemoni, invasi, dan kekerasan yang melekat pada politik kebijakan ekonomi barat. Sosialisme modern China merupakan alternatif model pembangunan ekonomi yang mengedepankan kesejahteraan dan kemakmuran bersama menggunakan nilai-nilai dan keunikan China.

Terlepas dari kebenaran dan keakuratan pernyataan ini, dalam beberapa indikator menunjukkan performa pembangunan sosial ekonomi China relatif lebih baik daripada negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jerman. Dalam kurun waktu 2007-2021, berdasarkan data Bank Dunia (data.worldbank.org) rata-rata pertumbuhan ekonomi China mencapai rata-rata sekitar 8 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi AS, Inggris, dan Jerman rata-rata berkisar 1-1,6 persen.


Demikian pula pada indikator pendapatan perkapita, rata-rata peningkatan PDB perkapita China mencapai 7,5 persen, sementara peningkatan pendapatan perkapita Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat hanya berkisar 0,4-1 persen. Kondisi yang sama juga terlihat dalam indikator tenaga kerja, rata-rata persentase pengangguran di China lebih rendah yaitu sekitar 4,5 persen, daripada rata-rata pengangguran di AS yang mencapai 6,3 persen.

Beberapa data tersebut setidaknya menggambarkan ekonomi China dalam beberapa dasawarsa terakhir yang berkembang dan mampu bertahan di tengah beberapa krisis global yang terjadi. Pada krisis finansial global 2008, misalnya, ketika banyak negara maju mengalami kontraksi ekonomi, China bertahan dengan pertumbuhan ekonominya antara 9-10 persen pada 2008-2010.

Begitu pula, pada masa krisis perang dagang antara AS-China, serta pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi China masih menunjukkan kinerja positif, dan kembali pada level 8,1 persen pada 2021. Singkatnya, bahwa pernyataan Xi Jinping terkait dengan modernisasi ekonomi China dapat diapresiasi dan disandingkan dengan indikator kinerja ekonomi negara tersebut dalam beberapa periode terakhir.

Skenario Terburuk


Meski demikian, pernyataan Presiden Xi Jinping terkait dengan sosialisme modern China, tidak berarti tanpa konsekuensi politik. Pernyataan Xi secara tidak langsung menegaskan kembali bahwa China berada berseberangan (berlawanan) dengan negara-negara barat, serta meyakinkan kepada negara-negara mitra bahwa model kebijakan pembangunan ekonomi China dapat menjadi pilihan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bersama.

Pernyataan politik ini tentu dibuat dengan pertimbangan yang kuat ditengah dinamika konflik geopolitik yang semakin tajam di beberapa wilayah. Salah satunya adalah kapabilitas dan jejaring kerjasama internasional yang telah dimiliki China melalui Belt Road Initiative (BRI) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).

Berdasarkan laporan tahunan AIIB, terdapat 51 proyek yang disetujui pada 2021, meningkat secara signifikan dari 15 proyek pada 2017. Bahkan terdapat tiga negara baru yang menerima total investasi sebesar US$ 666 juta, yaitu Rwanda, Jordan, dan Hungaria.  

Dari aspek hard power, terdapat peningkatan tajam dalam alokasi anggaran militer China dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data SIPRI Military Database (milex.sipri.org), rata-rata peningkatan anggaran militer China mencapai 10 persen selama periode 2010-2021. Di sisi lain, peningkatan alokasi anggaran militer AS hanya sekitar 1% dalam periode yang sama. Meningkatnya alokasi anggaran militer ini dapat menjadi indikasi bahwa China telah mempersiapkan kekuatan militernya untuk mengantisipasi skenario terburuk yang dapat mengancam pertahanan dan keamanan negara.

Sumber Daya Manusia


Dimensi hubungan ekonomi Indonesia dan China berkembang tidak hanya sebagai mitra dagang, tetapi juga sumber investasi dan utang luar negeri. Dalam konteks perdagangan bilateral, terdapat kemajuan cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir dimana defisit perdagangan bilateral kita dengan China berkurang dari US$ 16,9 milyar pada 2019, US$ 7,8 milyar pada 2020, menjadi US$ 2,5 milyar pada 2021 (trademap.org). Kendati begitu, impor produk alat listrik dan barang elektronik tetap mengalami peningkatan selama periode tersebut, sebagai indikasi bahwa sektor manufaktur kita belum mandiri sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Di sisi lain, isu ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri dari China menjadi salah satu perhatian serius masyarakat. Program prioritas pemerintah untuk memperkuat konektivitas dan jejaring infrastruktur membutuhkan dana yang sangat besar, dan ini telah ditempuh dengan mencari pinjaman luar negeri khususnya dari China. Namun begitu, hasil dan keuntungan dari proyek-proyek besar ini menjadi sebuah tanda tanya besar, karena pertumbuhan ekonomi kita tidak bergerak jauh dari angka 5 persen sejak Presiden Jokowi memulai tugasnya pada 2014. Bahkan, persentase nilai tambah industri terhadap PDB terus mengalami penurunan dari 41,9% pada 2014 menjadi 39 persen pada 2019 (data.worldbank.org).

Belajar dari China, pembangunan infrastruktur merupakan salah satu perhatian serius pemerintah dan dilakukan sangat selektif. Namun demikian, faktor pembangunan sumber daya manusia menjadi salah satu kunci penting dalam meningkatkan daya saing internasional China. Melalui talent programs, pemerintah China berupaya merekrut sumber daya manusia unggul sebagaimana yang diimpikan oleh Presiden Xi Jinping.

Lalu bagaimana kita? Sebaiknya kita harus bisa mengkapitalisasi hubungan kita  dengan China untuk meningkatkan daya saing SDM untuk menjadi bangsa yang unggul, tidak hanya sebatas memanfaatkan pinjaman dan investasi untuk proyek infrastruktur.

*Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional  UPN Veteran Jakarta

Populer

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Polres Tangsel Diduga Gelapkan Barbuk Sabu 20 Kg

Minggu, 21 Desember 2025 | 02:07

Pemberhentian Ijeck Demi Amankan Bobby Nasution

Minggu, 21 Desember 2025 | 01:42

Indonesia, Negeri Dalam Nalar Korupsi

Minggu, 21 Desember 2025 | 01:05

GAMKI Dukung Toba Pulp Lestari Ditutup

Minggu, 21 Desember 2025 | 01:00

Bergelantungan Demi Listrik Nyala

Minggu, 21 Desember 2025 | 00:45

Komisi Percepatan Reformasi Polri Usul Polwan Dikasih Jabatan Strategis

Minggu, 21 Desember 2025 | 00:19

Putin Tak Serang Negara Lain Asal Rusia Dihormati

Minggu, 21 Desember 2025 | 00:05

Ditemani Kepala BIN, Presiden Prabowo Pastikan Percepatan Pemulihan Sumatera

Sabtu, 20 Desember 2025 | 23:38

Pemecatan Ijeck Pesanan Jokowi

Sabtu, 20 Desember 2025 | 23:21

Kartel, Babat Saja

Sabtu, 20 Desember 2025 | 23:03

Selengkapnya