PEREDARAN obat-obatan terlarang telah menjadi suatu permasalahan yang terjadi sejak lama, namun hingga hari ini belum ditemukan titik terang untuk mengatasinya. Bahkan, pengguna serta pengedarnya masih tak gentar untuk melakukan perbuatan ilegalnya. Padahal, pengedaran obat-obatan terlarang ini menjadi salah satu ancaman non-tradisional yang dapat mengancam integrasi dari suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Namun, apa saja jenis-jenisnya dan mengapa malah bisa menjadi ancaman negara?
Apa Itu Obat-Obatan Terlarang?
Menurut UU Narkotika Pasal 1 Ayat 1, disebutkan bahwa obat-obatan terlarang atau narkotika merupakan zat buatan atau pun yang berasal dari tanaman yang memberikan efek halusinasi, menurunnya kesadaran, serta menyebabkan kecanduan. Efek kecanduan ini ditimbulkan akibat penggunaannya yang berlebihan dan termasuk dalam sanksi hukum jika melakukannya (Humas BNN, 2019). Selanjutnya, UU Narkotika juga melakukan klasifikasi terhadap golongan narkotika berdasarkan risiko ketergantungan, seperti 1) kecanduan risiko tinggi, 2) ketergantungan risiko tinggi, hingga 3) ketergantungan ringan.
Selanjutnya, survei nasional yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2021 angka pengguna obat-obatan terlarang meningkat menjadi 1,95 persen atau 3,66 juta jiwa (Savitri, 2022). Angka ini tentu saja miris dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah setiap tahunnya. Untuk memperoleh berbagai jenis obat-obatan terlarang ini, para pelaku mendapatkannya secara ilegal melalui penyeludupan dan cara ini cenderung mudah dilakukan mengingat betapa strategisnya wilayah Indonesia. Menurut data yang diperoleh oleh BNN, 80 persen penyeludupan narkoba di Indonesia adalah melalui jalur laut (BNNK Surakarta, 2021).
Perdagangan dan penyeludupan obat-obatan terlarang yang kerap dilakukan secara ilegal ini tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan Kawasan Segitiga Emas. Lalu, dimana kawasan tersebut berada dan mengapa bisa memasok hingga ke Indonesia?
Mengenal Kawasan Segitiga EmasKawasan Segitiga Emas atau yang dikenal dengan The Golden Triangle secara internasional merupakan kawasan penghasil opium terbesar di dunia yang meliputi Thailand, Myanmar, dan Laos. Kawasan ini memiliki lahan seluas 950 km persegi yang terletak di wilayah pegunungan, sehingga luasnya menempati posisi kedua setelah The Golden Crescent di Afghanistan (Srifauzi, Azhimi, & Lubis, 2022).
Aktivitas perdagangan dan produksi opium di kawasan segitiga emas telah ditemukan sejak abad ke-19 dan masih berlanjut hingga sekarang. Tidak hanya opium saja, jenis narkotika dan obat-obatan terlarang yang banyak diproduksi adalah ganja dan ATS (Amphetamine Type Stymulants). Letak geografis Asia Tenggara yang sangat strategis menjadikan jalur perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang ini menjadi mulus. Bahkan, wilayah-wilayah penghasil narkoba sampai mengirimkan hasil produksinya hingga Amerika Utara, Eropa, dan Australia.
Selain dipengaruhi oleh letak geografis yang strategis sebagai pasar dan tempat transit, alasan mengapa penyeludupan narkoba banyak masuk dari kawasan segitiga emas ke Indonesia adalah karena harganya yang terjangkau. Dilansir laman BNN Kabupaten Tabalong, harga yang dibandrol adalah berkisar dari tiga ratus ribu rupiah hingga tiga juta per gramnya. Tidak hanya itu, pangsa pasar narkoba di Indonesia cukup besar, sehingga pengedarnya memilih Indonesia sebagai market yang besar pula (BNN Kabupaten Tabalong, 2021).
Pandemi Covid-19 Mereda, Obat-Obatan Terlarang BerjayaPandemi Covid-19 tidak hanya mengubah pola kehidupan bermasyarakat saja, namun pola pengedaran narkoba juga ikut mengalami perubahan dan beradaptasi untuk melangsungkan aktivitas ilegalnya. Perubahan ini sejalan dengan pernyataan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa pasar narkoba bergantung pada berjalannya ekonomi legal. Para sindikatnya semakin kuat dalam merespon perubahan yang terjadi akibat adanya pandemi. Ditambah lagi dengan meredanya pandemi dan kembalinya perekonomian secara normal, mereka bergerak semakin masif dalam situasi ini.
Kembali ke angka temuan narkoba pada tahun 2021 yang dikeluarkan oleh BNN, angka tersebut menjadi salah satu bukti bahwa semakin masifnya para pengedar narkoba pasca pandemi. Saat pandemi masih dalam situasi panas sekalipun, tetap saja BNN menemukan ribuan ton narkoba yang masuk dan diduga berasal dari kawasan segitiga emas. Tingginya angka narkoba bahkan pasca pandemi ini disebut-sebut dapat memgancam keamanan Indonesia.
Mengapa Bisa Mengancam Indonesia?Penyeludupan narkoba yang banyak berasal dari kawasan segitiga emas ini tentu saja menjadi ancaman keamanan bagi Indonesia. Merujuk kepada pernyataan yang pernah disebutkan oleh Giorgio Giacomeli, Direktur Eksekutif Program Kontrol Obat-Obatan Terlarang PBB, dunia saat ini diserang oleh masalah perdagangan dan peredaran obat-obatan terlarang. Ancaman utama yang dapat terjadi adalah hilangnya sumber daya manusia yang berkualitas, yang tentu saja kemudian akan mengancam kedaulatan dari suatu negara. Kementerian Pertahanan RI menyebutkan bahwa rusaknya sumber daya manusia ini akan merugikan karakter dari suatu bangsa, padahal sumber daya manusia yang berkualitas merupakan aset kemajuan bangsa.
Selain itu, peredaran obat-obatan terlarang ini juga akan mengancam kedaulatan teritorial negara. Lemahnya struktur pemerintahan yang ada di negara tersebut dimanfaatkan oleh para pengedar barang ilegal ini untuk mempengaruhi sumber power yang dimiliki oleh suatu negara. Kekuatan finansial yang berhasil diraih oleh para produsen dan pengedar narkoba akan mereka gunakan sebagai alat untuk menciptakan budaya korupsi dalam berbagai institusi publik.
Masuknya narkoba ke Indonesia juga mengakibatkan pelanggaran perbatasan internasional negara. Pemerintah Indonesia seharusnya sadar bahwa semakin meningkatnya penyeludupan narkoba dari tahun ke tahun, semakin tidak amannya batas-batas negara dan pengawasan yang terjadi di sana (Das, 2019). Kurangnya pengawasan dan pengamanan atas batas-batas negara ini nantinya akan berdampak lebih buruk lagi kepada Indonesia, seperti masuknya penyeludupan senjata dan bahan peledak lainnya. Jaringan kriminal lain akan dengan mudah masuk ke Indonesia mengingat potensi pengawasan yang minim.
Jadi, Salah Siapa?Jika berbicara siapa yang harusnya disalahkan mengenai besarnya pasokan obat-obatan terlarang yang masuk secara ilegal ke Indonesia, tentu saja peran dari pemerintah yang perlu dipertanyakan. Sanksi-sanksi tegas terhadap para penyeludup dan penggunanya saja tidak cukup dilakukan untuk meminimalisir penggunaan dan pasokan narkoba di Indonesia. Perlu adanya pemberantasan dari akarnya, yaitu lebih memperhatikan lagi pengawasan batas-batas negara, mengingat posisi strategis Indonesia secara geografis yang dimanfaatkan oleh pengedar narkoba. Selain itu, gerakan akar rumput seperti penyuluhan terkait bahaya obat-obatan terlarang sejak dini juga perlu semakin diperkuat. Cara ini tentu saja akan berguna demi menyelamatkan masa depan penerus bangsa.
Tidak hanya peran pemerintah Indonesia saja yang perlu dipertanyakan disini, namun ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara juga perlu disorot. ASEAN perlu memberikan sanksi tegas terhadap produksi masif obat-obatan terlarang di kawasan segitiga emas. Memang benar, ASEAN telah mengupayakan berbagai macam cara sejak pertemuan di Manila pada 1976 silam hingga berbagai macam pertemuan-pertemuan terbarunya yang membahas perihal kawasan segitiga emas. Namun, semakin kuatnya sindikat narkoba dari kawasan segitiga emas, terutama pasca pandemi, perlu diperhatikan lebih lanjut.
Berbagai pihak tidak sepatutnya memandang angka narkoba di Indonesia secara sebelah mata saja. Termaktub jelas ancaman yang akan ditimbulkan segitiga emas terhadap kedaulatan Indonesia nantinya. ‘Pegangan tangan’ bersama berbagai sektor perlu semakin dipererat, demi menciptakan bangsa yang bebas dari narkoba.
*Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta