PEMILIHAN umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu bentuk implementasi instrumen demokrasi bila merujuk asas demokrasi, maka ini merupakan perintah langsung yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Jelang Pemilu Serentak 2024, fenomena ini bukan saja akan mengggemparkan para penantang dari berbagai parpol di kursi panas bakal calon presiden, akan tetapi juga momentum yang menegangkan bagi DKI Jakarta, tepatnya pada tahun ini 2022, Gubernur Anies Baswedan akan merampungkan masa jabatannya, tepatnya pada tanggal 15 Oktober.
Hal ini bukan saja menjadi realitas yang penting bagi Jakarta akan tetapi juga menjadi sebuah penentu episentrum Indonesia, di mana Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan masih menjadi ibukota Tanah Air hingga saat ini.
Maka sesuai amanat UU Pemilu Serentak 2024, pemilihan pejabat sementara tertuang dalam Undang-undang 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada. yang berhak menunjuk langsung Penjabat Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan jabatan hingga 2024 adalah Kemendagri, khususnya dalam hal ini yakni dengan masa periode 2022 hingga 2024 di mana diadakannya pemilu serentak termasuk pilkada.
Namun hingga saat ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum mengumumkan calon Penjabat yang akan menempati posisi itu. Mereka mengaku masih mengkaji berbagai nama.
Akan tetapi, beberapa parpol ada saja yang menjagokan beberapa nama sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pasca Anies lengser. Hal ini bagi mereka merupakan batu loncatan untuk memenangkan pemilu nanti, bukan saja penting bagi kader parpol yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, tentu menjadi sorotan dan peluang untuk mendapatkan kemenangan di kompetisi politik lainnya.
Hanya saja hal tersebut tidak dibenarkan oleh amanat UU. Hal ini bukan saja berpeluang untuk menghasilkan cara-cara yang kotor dalam agitasi politik, tapi juga inkonstitusional. Apabila ada parpol yang berniat mengajukan calon untuk penjabat gubernur, bupati atau walikota, hal tersebut akan merusak keseimbangan dan menjadi hambatan untuk terwujudnya
good governance.
Pada hakikatnya
good governance tidak mungkin terwujud dari rahim kecurangan politik. Asas-asas
good governance hadir mengiringi cita-cita besar para penjabat dari kepala negara hingga kepala desa.
Good governance secara terminologis merupakan suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, dengan menghindari penyelewengan dana dan kekuasaan serta pencegahan korupsi, baik secara politik maupun secara administratif dengan menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan
legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Maka tarikan-tarikan politik lewat hasrat kader parpol yang sama sekali tidak mewakili rakyat bukanlah produk
good governance, akan tetapi produk nafsu politik belaka yang tidak mungkin menghasilkan penjabat kepala daerah yang memenuhi kriteria
good governance.
Terlebih momen pemilihan gubernur sementara hingga nanti pemilu serentak tidak saja menjadi jalan pintas parpol menuju kemenangan elektabilitas, akan tetapi menjadi manifestasi wajah DKI Jakarta yang baru, yang bukan saja saat ini masih sebagai pusat pemerintahan Indonesia namun juga corak peradaban bangsa.
Maka, mempertaruhkan dua tahun jabatan gubernur pada kegilaan politik tentu tidak akan terbayarkan.
Sejatinya ada 9 prinsip yang menjadi kriteria tercapainya good governance diantaranya adalah: Partisipasi Masyarakat (
Participation), Tegaknya Supremasi Hukum (
Rule of Law), Transparansi (
Transparency), Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha, Berorientasi pada Konsensus (
Consensus), Kesetaraan (
Equity), Efektifitas dan Efisiensi (
Effectiveness and Efficiency), Akuntabilitas (
Accountability), Visi Strategis (
Strategic Vision).
Bayangkan, bila menunggangi pilkada DKI Jakarta 2022 untuk mengisi kekosongan kursi gubernur ini semata-mata oleh mereka para penggila elektabilitas, maka tentu saja kesembilan prinsip
good governance tadi akan sangat mustahil dapat tercapai bahkan hal ini tidak lain merupakan musibah bagi demokrasi.
Merujuk pada nilai-nilai etis, hakikatnya penjabat yang memiliki kekuasaan bukan digunakan untuk memenuhi nafsu politiknya, akan tetapi penjabat kepala daerah memimpin daerah dan berkuasa untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya, bukan kepentingan parpolnya, bukan pula kepentingan pribadi.
Kekuasaan yang dimiliki tentu seyogyanya digunakan demi kemaslahatan rakyat bukan dirinya. Maka aneh bila berebut kursi gubernur semata-mata untuk mewakili hasrat politik pribadi ataupun partai politiknya.
Namun lagi-lagi hal ini selalu saja luput dari perhatian masyarakat, luput pula dari perhatian para kader parpol yang sejatinya merekalah yang harusnya menjadi para pemain politik yang mewakili suara rakyat, bukan mencurangi apalagi hanya menunggangi suara rakyat demi hasrat politik.
Bila hal tersebut terjadi,
good governance hanya ada pada sebatas prinsip-prinsip di atas kertas tidak pernah tergambarkan, apalagi terwujud dalam sosok pemimpin kepala daerah hingga kepala negara.
*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ