Berita

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan/Net

Publika

Rakyat Indonesia Belum Maharddhika

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
RABU, 17 AGUSTUS 2022 | 22:31 WIB

HARI ini, 77 tahun yang lalu, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan Kemerdekaannya. Dalam hal ini, kemerdekaan mengandung arti bebas dari penjajahan, atau tidak bergantung dari bangsa lain.

Kalau bicara dalam konteks negara, Indonesia memang sudah terbebas dari kekuasaan bangsa asing, sudah terbebas dari penjajahan. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan, rakyat Indonesia masih jauh dari ‘merdeka’.

Kata ‘merdeka’ berasal dari bahasa sansekerta, maharddhika. Yang mempunyai arti: kaya sejahtera dan kuat. Dalam arti kata ‘merdeka’ yang sesungguhnya ini, maka jelas sebagian besar rakyat Indonesia belum ‘merdeka’: belum sejahtera dan belum kuat.

Banyak dari saudara-saudara kita masih sangat lemah, dan tertindas. Tidak mampu mempertahankan hak-hak mereka sebagai rakyat Indonesia yang ‘merdeka’.

Begitu sangat lemah, tidak mampu melawan penindasan atas hak mereka sebagai rakyat Indonesia. Tidak mampu melawan perampasan atas hak tanah dan sumber daya alam milik nenek moyang mereka, dirampas oleh segelintir ‘penjajah’ yang rakus, berkolusi antara penguasa-pengusaha.

Rakyat Indonesia sangat lemah, tidak berdaya. Hukum dijalankan sangat tidak adil, seperti hukum penjajah kepada ‘inlander’. Mereka yang seharusnya dihukum, malah dilindungi. Bandar narkoba, bandar judi tidak tersentuh hukum, sampai akhirnya kotak pandora Satgassus mulai terbuka, membuka mata publik yang terbelalak tidak percaya.

Apa bedanya penjajah bangsa asing dengan mereka: ‘penjajah lokal’?

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, mereka adalah sama-sama penjajah. Oleh karena itu, ‘merdeka’ dalam arti sesungguhnya: kaya, sejahtera dan kuat, masih jauh di luar jangkauan sebagian besar rakyat Indonesia, maharddhika hanya ilusi.

Sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam serba kemiskinan, jauh dari maharddhika ‘merdeka’: kaya, sejahtera dan kuat.

Jumlah rakyat miskin Indonesia menurut Bank Dunia sebanyak 150,2 juta orang (2018) atau sekitar 56,1 persen dari total penduduk 2018. Mereka, rakyat miskin tersebut, hanya mempunyai pendapatan di bawah 5,5 dolar AS (kurs PPP 2011) per orang per hari, atau setara Rp 30.517 pada 2018, atau sekitar Rp 1 juta per orang per bulan.

Jumlah rakyat miskin Indonesia ini jauh lebih besar dari jumlah rakyat miskin Malaysia, Thailand, atau bahkan Vietnam yang baru selesai perang dan membangun ekonominya pada 1986.

Belum ada tanda-tanda seluruh rakyat Indonesia akan segera menikmati ‘merdeka’, maharddhika.  Bahkan semakin lama kondisi ekonomi rakyat semakin memprihatinkan, semakin memburuk.

Rakyat tidak berdaya, hanya bisa pasrah, ‘penjajah lokal’ mempermainkan nasib mereka. Elit politik membuat landasan hukum yang merugikan rakyat Indonesia, dengan memberi keuntungan besar kepada para ‘penjajah lokal’.

Menyerahkan eksploitasi kekayaan alam kepada segelintir orang pengusaha-penguasa. Kenaikan harga komoditas yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pasal 33 UUD, tetapi faktanya hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha-penguasa saja.

Bahkan rakyat hanya mendapat derita, harga pangan dan harga energi naik, belanja subsidi dibatasi, APBN hingga Juli 2022 dibuat surplus sangat besar. Harga minyak goreng yang melonjak, di negara produsen dan eksportir terbesar dunia, sebuah cerminan ekonomi kolonial.

Pandemi juga memberi keuntungan besar kepada penguasa-pengusaha, mereka menguasai bisnis PCR, dan menentukan harga eksploitasi. Menangguk untung abnormal.

Para elit politik menunjuk (calon) presiden sesuka mereka, bagaikan penjajah menunjuk Gubernur Jenderal.

Bahkan, menurut kabar, dana hitam yang dihimpun Satgassus dengan jumlah yang sangat besar, digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan mendukung dan mendanai calon presiden pilihan agar pasti terpilih.

Semua ini menunjukkan, setelah 77 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih terjajah, terbelenggu di bawah kekuasaan para elit penguasa dan pengusaha: oligarki, sama seperti para penjajah asing menguasai nasib rakyat Indonesia.

*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Viral Video Mesum Warga Binaan, Kadiv Pemasyarakatan Jateng: Itu Video Lama

Jumat, 19 April 2024 | 21:35

UPDATE

Satgas Judi Online Jangan Hanya Fokus Penegakkan Hukum

Minggu, 28 April 2024 | 08:06

Pekerja Asal Jakarta di Luar Negeri Was-was Kebijakan Penonaktifan NIK

Minggu, 28 April 2024 | 08:01

PSI Yakini Ekonomi Indonesia Stabil di Tengah Keriuhan Pilkada

Minggu, 28 April 2024 | 07:41

Ganjil Genap di Jakarta Tak Berlaku saat Hari Buruh

Minggu, 28 April 2024 | 07:21

Cuaca Jakarta Hari Ini Berawan dan Cerah Cerawan

Minggu, 28 April 2024 | 07:11

UU DKJ Beri Wewenang Bamus Betawi Sertifikasi Kebudayaan

Minggu, 28 April 2024 | 07:05

Latihan Evakuasi Medis Udara

Minggu, 28 April 2024 | 06:56

Akibat Amandemen UUD 1945, Kedaulatan Hanya Milik Parpol

Minggu, 28 April 2024 | 06:26

Pangkoarmada I Kunjungi Prajurit Penjaga Pulau Terluar

Minggu, 28 April 2024 | 05:55

Potret Bangsa Pasca-Amandemen UUD 1945

Minggu, 28 April 2024 | 05:35

Selengkapnya