Berita

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo/Net

Publika

Ada Kejanggalan dalam Kasus Roy Suryo

OLEH: ADIAN RADIATUS
KAMIS, 11 AGUSTUS 2022 | 11:21 WIB

PELAPORAN hukum berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE yang dilakukan oleh umat Buddha, Kevin Wu dan Kurniawan Santoso, terhadap Roy Suryo memasuki babak baru dengan ditahannya mantan Menpora itu secara fisik oleh penyidik Polda Metro Jaya beberapa hari lalu.

Tersangka Roy Suryo tampak pasrah meski pengacara berupaya melakukan permohonan penangguhan penahanan terhadap dirinya.

Perkembangan ini menunjukan seberapa tinggi derajat mutu hukum dalam kasus yang dituduhkan itu. Dan tentunya menarik untuk dicermati oleh publik sebagai preseden penilaian di masa depan.


Bahwa penistaan agama yang berdampak besar kepada citra agama itu sendiri, boleh atau tidak, dan bisa atau tidak, diatasnamakan oleh pribadi-pribadi, misalnya.

Dalam kasus tuduhan terhadap Roy Suryo ini tampaknya ada dua aspek yang patut dicermati. Pertama dari sisi agama Buddha itu sendiri tentunya patut diketahui bagian ajaran mana yang menunjukan kategori pelanggaran penistaan itu.

Kedua adalah terhadap aturan hukum negara yang dalam hal ini UU ITE yang dikenakan kepada Roy Suryo.

Bila seandainya ada rasa ketersinggungan terhadap perbuatan pengeditan wajah Sang Buddha yang ada di Candi Borobudur itu, maka tentu harus dicek dalam ajaran DharmaNya pada bagian ayat mana disebutkan hal itu dan yang layak mewakili sesungguhnya adalah Sangha atau Dewan Sangha (semacam Dewan Ulama) sebagai 'penjaga' ajaran DharmaNya.

Hampir dipastikan tak ada ajaran Sang Buddha terkait ketersinggungan, kemarahan, ataupun menjadi kebencian, hingga perlu menghukumnya dengan penderitaan yang apalagi bertubi-tubi bilamana ada orang atau pihak lain yang dipandang merendahan kemuliaan ajaran maupun simbol-simbol Buddha Dharma. Kekuatan cinta kasih ajaran Buddha sangat dirasakan dalam konteks ini.

Sebaliknya, bila secara hukum negara tentunya apa yang dituduhkan terhadap Roy Suryo bukanlah terhadap agama Buddha-nya, tetapi terhadap aturan pelanggaran menempatkan wajah lain tidak sesuai aslinya yang dalam hal ini wajah stupa Sang Buddha dengan wajah yang ditengarai sebagai wajah Presiden Joko Widodo yang semestinya dihormati bersama. Dan itu bukan perbuatan Roy Suryo.

Pertanyaannya, bila memang pelapor ingin mewakili pihak Presiden maka akan lebih terhormat dibanding upaya mewakili stupa Buddha yang bila kita berkunjung ke titik stupa yang sama di Candi Borobudur itu tak akan menemukan perubahan apapun.

Perubahan hanya ada difoto yang diedit oleh pembuatnya yang data-datanya telah diserahkan Roy Suryo ke penyidik.

Jadi perubahan yang dapat dikategorikan melecehkan Presiden Joko Widodo ini meski beliau sendiri tak pernah mengomentarinya, dapatlah dijerat sebagai penghinaan pribadi Presiden.

Pelaku pembuat meme itu harus dimintai keterangan dan bila terbukti maka proses hukum inilah yang semestinya berjalan.

Hingga dapat disimpulkan bahwa penistaan secara ajaran agama Buddha tampaknya tak relevan. Apalagi fakta adanya stupa Buddha berwajah Gus Dur yang dibuat seorang seniman pun tak pernah membuat umat Buddha merasa dinista.

Kualitas umat Buddha terkait penghinaan sudah teruji ribuan tahun. Tak perlu membalas karena karma berbuah pada pembuatnya dan bukan pada yang dihinakan.

Roy Suryo telah berbuat ikut serta memprotes di laman Twitternya terkait rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur oleh umat Buddha yang demikian tinggi, namun justru kini harus menderita oleh pelapor atas nama umat Buddha itu sendiri. Miris.

Tampaknya memang para lembaga agama-agama di Indonesia yang pluralis ini perlu duduk bersama menemukan formula penanganan terhadap hal-hal yang dapat dikategorikan penistaan agama.

Agar suasana kesejukan dapat terus dijaga bersama dan situasi yang dirasakan adanya kejanggalan pada kasus Roy Suryo ini dapat dikembalikan pada tempatnya yang relevan di kedua hukum negara dan hukum agama itu sendiri.

Penulis adalah pemerhati sosial politik

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya