SAYA harus mengucapkan selamat kepada Direksi Garuda Indonesia. Lebih khusus kepada dirutnya, Irfan Setiaputra.
Jumat kemarin, Garuda mencapai tahap ''homologasi''. Ia berhasil lolos dari ancaman pailit.
Hari
itu para penagih utang sudah melakukan pemungutan suara: hampir 100
persen setuju skema penundaan pembayaran utang yang diajukan direksi
Garuda.
Homologasi adalah istilah untuk tercapainya kesepakatan
perdamaian antara kreditur dan debitur dalam proses peradilan
PKPU/pailit.
Itu hebat sekali. Garuda 万å²ã€‚Hidup Garuda!
Para penagih rupanya sudah berhitung: kalau Garuda dibangkrutkan mereka malah tidak mendapat apa-apa.
Itulah untungnya punya utang sekalian besar sekali. Apalagi kalau itu perusahaan negara.
Memang, kalau Garuda dipailitkan seluruh asetnya harus dijual. Sangat tidak cukup untuk mengembalikan utang.
Hasil
penjualan itu memang harus untuk membayar utang. Tapi tidak dibagi
rata. Urutan pertama yang harus dibayar adalah tunggakan pajak. Urutan
berikutnya: utang ke bank.
Pajak dan bank harus diutamakan. Dalam UU, itu disebut sebagai kreditur preferensi.
Lalu pesangon karyawan di urutan ketiga.
Habis.
Rasanya tidak ada lagi hasil penjualan aset itu yang masih tersisa untuk para penagih utang.
Belum lagi proses sampai aset itu bisa terjual akan sangat lama. Belum tentu selesai dalam 10 tahun.
Maka
lebih baik Garuda dibiarkan hidup, mencari uang, sehat, dan akhirnya
bisa membayar utang. Mungkin utang itu baru akan lunas dalam 50 tahun.
Atau 100 tahun. Tapi akan lunas.
Itu kalau Garuda kembali sehat. Dan bisa memperoleh keuntungan.
Mungkinkah Garuda kembali sehat?
Dengan
putusan pengadilan tersebut harusnya bisa. Garuda kini praktis tidak
terbebani pembayaran cicilan dan bunga yang berat. Pembayaran cicilan
dan bunganya sudah disesuaikan dengan kemampuan keuangan Garuda yang
baru. Bunganya pun sudah dipangkas.
Garuda justru bersyukur digugat pailit. Apalagi putusan pengadilan itu -- berdasar kesepakatan para penagih tersebut -- menerima proposal direksi Garuda. Maka penghasilan Garuda tidak banyak lagi dipakai bayar cicilan, sewa, bunga, dan denda.
Pemungutan
suara itu harusnya dilakukan tanggal 17 Juni lalu. Tapi Garuda minta
mundur 2 hari. Direksi Garuda perlu memastikan jumlah suara yang bisa
menerima proposal Garuda melebihi 50 persen.
Kurang 50 persen Garuda dinyatakan pailit. Maka dalam waktu dua hari itu Garuda melakukan lobi keras ke berbagai pihak.
Salah satu yang harus dilobi adalah pemerintah. Yakni untuk memastikan akan ada penambahan modal dari negara. Lewat PMN.
Salah
satu proposal yang menarik dari direksi Garuda adalah itu. Garuda akan
minta tambahan modal dari pemegang saham pemerintah. Dengan PNM itu,
menurut direksi, Garuda bisa take off lagi. Toh PMN itu akan aman. Agak.
Setidaknya tidak akan dipakai untuk membayar utang. Berarti persentase
saham negara pun bisa menjadi lebih besar.
Rasanya DPR juga akan
menyetujui PMN untuk Garuda itu. Bukan hanya tidak perlu takut dipakai
bayar utang tapi kenyataannya memang seperti itu: mana ada usulan
pemerintah yang ditolak DPR.
Ini sama-sama pintar. Direksi Garuda
dan Pemerintah. Inilah skema cerdas untuk menyelesaikan utang
perusahaan yang sebesar gajah bengkak.
Utang Garuda memang sudah
terlalu besar: Rp 142 triliun. Utang ke 123 perusahaan persewaan pesawat
saja Rp 104 triliun. Kepada bank, Pertamina, Angkasa Pura, dan
lain-lainnya: Rp 34 triliun. Sisanya untuk yang kecil-kecil -- sekecil Rp 3 triliun.
Total ada 501 penagih utang ke Garuda. Itu sesuai dengan DPT terakhir -- Daftar Penagih Tetap. Yakni para penagih yang mendaftar ke pengadilan. Yang tidak mendaftar -- seandainya Garuda dinyatakan pailit -- tidak akan mendapat bagian dari penjualan aset.
DPT
itu penting juga untuk pemungutan suara. Siapa yang bisa menerima
usulan Garuda dan siapa yang menolak. Hebatnya, 97,4 persen bisa
menerima proposal Garuda.
Pengadilan pun tinggal menetapkan tercapainya homologasi itu.
Maka
yang juga harus dicatat sebagai tonggak penting adalah apa yang terjadi
akhir Desember 2021. Waktu itu pengadilan niaga tidak langsung
memutuskan Garuda pailit. Keputusan hari itu mengatakan: "memberi
kesempatan kepada Garuda untuk mengajukan proposal penyelesaian utang".
Lalu
Garuda diminta menawarkan proposal itu kepada semua kreditor. Diberi
waktu hampir 6 bulan. Kreditor harus memikirkan untuk menerima atau
menolak.
Di luar pengajuan PMN, proposal itu sebenarnya
biasa-biasa saja. Misalnya: Garuda hanya akan menerbangi rute-rute yang
menguntungkan saja. Garuda akan menggunakan pesawat yang menguntungkan
saja. Lalu akan memperbaiki kinerja dan proses bisnis.
Dengan
proposal seperti itu, "Dalam tiga tahun Garuda akan untung lagi," ujar
Irfan pada media. “Insya Allah bisa [untung], makanya terbanglah pakai
Garuda jangan yang lain. Jadi kami bisa laba. Kalau nggak untung ngapain
[mengajukan proposal perdamaian],†katanya seperti ditulis Bisnis
Indonesia.
Salah satu yang bisa membuat untung adalah: apabila
Garuda mengoperasikan 70 pesawat -- dari yang sekarang 30 pesawat.
Berarti harus sewa pesawat lagi. Tapi Irfan menegaskan sistem sewa
pesawat yang akan datang berbeda dengan yang lalu.
Di masa lalu,
sebelum Irfan, sewa pesawat Garuda dianggap terlalu mahal. Sistemnya
juga kurang menguntungkan Garuda. Belum lagi komisi dan ceperannya. Itu
yang tidak akan dilakukan lagi oleh Irfan.
Adakah Pertamina dan
Angkasa Pura akan berani meminjami lagi bahan bakar dan sewa bandara?
Itu tidak diatur dalam homologasi. Itu terserah pada masing-masing
pihak.
Sisi kurang baiknya: homologasi ini terjadi pada saat
harga bahan bakar melonjak tinggi. Juga di saat Lion Air sudah lebih
dalam lagi merasuk ke semua rute. Bahkan grup Lion sudah menambah satu
anak lagi: Super Air Jet.
Saya, dengan sungkan, sering menjadi
penumpang Super Air Jet itu. Bukan sungkan pada Garuda, tapi pada para
pramugarinya: saya ikut disebut sebagai penumpang milenial di situ.
Kesulitan lain: bagaimana bisa menyewa pesawat. Sekarang ini persewaan pesawat kembali ramai. Laris manis. Rebutan.
Berakhirnya
pandemi Covid-19 membuat semua perusahaan penerbangan bangkit. Tidak
mudah bagi Garuda mencari persewaan yang murah di tiga tahun mendatang.
Yang dulu disewa Garuda pun sebenarnya masih di Indonesia, tapi sudah
disewa Lion.
Lalu apa kabar Pelita? Yang sudah telanjur punya
izin penerbangan umum? Dan sudah mulai sewa pesawat? Sudah pula punya
dirut baru yang direkrut untuk membawa Pelita sebagai pengganti Garuda?
Tentu
tidak perlu disesali. Bahkan seharusnya Pertamina lebih bersyukur.
Punya anak perusahaan penerbangan bukanlah ekspansi yang baik bagi
Pertamina.
Soal telanjur keluar biaya, begitulah bisnis. Kadang
yang seperti itu tidak bisa dihindari. Katakanlah Pertamina rugi Rp 100
miliar untuk mempersiapkan Pelita jadi Garuda Baru. Misalnya. Itu lebih
baik daripada rugi Rp 100 triliun kelak.
Rugi kecil lebih baik untuk menghindari rugi besar. Meski itu bukan yang terbaik.
Yang penting Garuda sudah hidup lagi. Sampai ada drama berikutnya.