Berita

Diskusi bertema "Merawat Persaudaraan, Membangkitkan Keberanian" yang diselenggarakan di Resto Pawon Jinawi, Yogyakarta pada Sabtu (4/6).

Politik

Aktivis Mahasiswa Diminta Kembali ke Fitrahnya, Tidak Lagi Terlibat Politik Dukungan Capres

MINGGU, 05 JUNI 2022 | 20:15 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Aktivis mahasiswa diminta tidak lagi terlibat dalam aksi mendukung calon presiden (Capres) atau calon wakil presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024. Karena, aktivis harus kembali ke khitahnya, yaitu membela rakyat.

Seruan itu menjadi hasil kesimpulan dari diskusi yang bertajuk "Merawat Persaudaraan, Membangkitkan Keberanian" yang diselenggarakan di Resto Pawon Jinawi, Yogyakarta pada Sabtu (4/6).

Diskusi yang berlangsung sejak pukul 14.00 hingga pukul 20.00 WIB tersebut dihadiri oleh para pentolan aktivis dari angkatan 1974, 1977/1978, 1980, 1998 dan 2000-an.


Dalam acara ini, mantan Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Yogya (FKMY) Brotoseno mengatakan, diskusi kali ini merupakan bukan bagian dari tiga diskusi yang diselenggarakan sebelumnya di Yogyakarta yang masih bernuansa mendukung capres tertentu.

Dalam acara ini juga, aktivis yang meminta agar para aktivis lainnya kembali ke khittahnya disampaikan oleh Jumhur Hidayat, yang merupakan tokoh mahasiswa tahun 1980.

Jumhur yang pernah ditahan saat rezim Soeharto dan kembali ditahan di rezim Joko Widodo ini menyerukan agar aktivis kembali ke khitahnya, dan saatnya kembali membela serta menjadi bagian rakyat atau society.

"Marilah kita membela para buruh yang kini tertindas oleh UU Cipta Kerja (Omnibus Law) seperti para pejuang kemerdekaan yang melawan kebijakan kerja paksa pemerintah kolonial Belanda. Siapapun presidennya dan apakah masa jabatan presiden mau diperpanjang 3 kali bahkan 5 kali bukan urusan para aktivis," ujar Jumhur.

Hal yang sama juga disampaikan oleh S Indro Tjahyono, aktivis mahasiswa 1977/1978 yang kenyang disatroni polisi dan tentara saat melawan rezim-rezim otoriter.

"Siapa pasangan Capres dan Cawapres yang mau didukung, kalau itu cuma produk bongkar-pasang untuk melanggengkan kekuasaan para elite politik. Rakyat juga bingung pilih siapa kalau Capresnya semua masih berbau kencur," kata Indro.

Indro mengaku, merindukan kembali mahasiswa berjuang bersama dan berpihak pada rakyat saat berhadapan dengan negara yang cenderung korup. Sehingga, Indro mengajak para aktivis untuk kembali ke fitrahnya sebagai kaum intelektual.

"Sebaiknya kita buat konsep kebijakan strategis baru untuk presiden dan pemerintah baru setelah Nawacita gagal dilaksanakan. Dengan demikian presiden tidak hanya menjalankan program yang menjadi agenda oligarki," terang Indro.

Selain itu, Indro juga mengajak para aktivis untuk mengawal dan mengawasi agar konsep yang diserahkan benar-benar dilaksanakan. Karena jika diabaikan, para aktivis bersama  masyarakat tinggal menjadi kelompok  penekan (pressure group).

Mengingat katanya, presiden selalu mendapat bisikan untuk tidak melibatkan para idealis dalam pemerintahan, maka para aktivis harus ikhlas memilih jalan oposisi sebagai pembela aspirasi rakyat.

"Jangan sampai aktivis terhina lagi karena dihadapi oleh Brimob dan tentara yang sering bertindak barbar. Kalau presiden benar-benar tidak bersedia berdialog dengan utusan rakyat, baru dilakukan cara lain. Tentu tidak berarti harus setiapkali presiden diminta mundur atau digulingkan," tegas Indro.

Seiring dengan itu, Burhan, salah satu mantan aktivis FKMY yang berdomisili di Batam, mengajak semua kalangan untuk melakukan refleksi dan evaluasi demokrasi.

"Apakah kandidat yang ingin maju dalam Pilkada harus menyiapkan dana yang nilainya fantastis. Yang berujung dengan ditangkapnya Kepala Daerah oleh KPK karena melakukan korupsi?" kata Burhan sembari melemparkan pertanyaan.

Menurut Burhan, demokrasi kini merupakan bentuk kedaulatan yang palsu. Karena uang dan orang beruang (plutokrasi) mengendalikan keputusan-keputusan penting di negeri ini.

Selain itu, In'am Mustofa, sebagai pembicara dalam acara tersebut juga mengajak masyarakat agar segera melakukan perubahan peradaban.

Karena menurutnya, negara industri baru seperti Jepang, Korea, Vietnam, dan lain-lain, menempuh fase revolusi peradaban terlebih dahulu. Sedangkan di Indonesia meremehkannya, sehingga kemajuan dan pertumbuhan yang dicapai mirip gunung pasir yang berantakan kalau tertiup angin.

"Kita sudah capek melakukan perubahan secara tambal sulam. Perbaikan sudah dilakukan tapi selalu kembali ke titik yang sama," pungkas In'am.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya