BARU-BARU ini viral kalimat “kalau aku ndak ada, terus piye yo?†yang dilontarkan oleh Megawati Soekarnoputri yang kini merupakan ketua umum dari partai terbesar di Indonesia yakni PDIP, setelah menghadiri dan menjadi pembicara pada acara Seminar Nasional Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) secara daring 1 Juni 2022.
Awalnya pokok bahasan Bu Mega mengarah pada kekayaan budaya timur bila dibandingkan dengan budaya barat akan jauh lebih unggul, ia juga meminta agar masyarakat tidak terbawa arus dunia khususnya dunia barat. Hal ini membuatnya khawatir akan kemajuan tanah air, pasalnya masyarakat dinilai tengah mengalami stagnan akibat berada di zona nyaman.
Namun, yang menggegerkan jagat sosial media adalah kalimat, “
nanti suatu saat kalau aku udah ndak ada, terus piye yo, gimana yo?†ujarnya pada pidato tersebut.
Pasca geger di media sosial, netizen pun menyambut kalimat tersebut dengan olokan dan tak sedikit memberikan respon lega bila beliau tak lagi ada, pasalnya kalimat ini bukan saja memancing para oposisi untuk bergegas menginterupsi kalimat Bu Mega barusan bahkan turut memancing emak-emak yang sakit hati karena selalu dikritik oleh sosok elite politik tersebut, bila sedikit kita bernostalgia saat masyarakat tengah kesulitan membeli minyak goreng yang merupakan kebutuhan sehari-hari, kalimat yang minim empati bahkan terkesan menyakiti hati rakyat tak segan-segan dilontarkan pada 18 maret silam tepatnya dalam acara webinar pencegahan stunting.
Dalam video yang beredar, terdapat kutipan kalimat yang menohok, yakni “apa ibu-ibu kerjaannya hanya menggoreng?" ujarnya yang tengah keheranan terhadap fenomena antrian minyak goreng yang demikian panjang.
Ditambah saat isu minyak goreng belum tuntas, Bu Mega turut mengkritik emak-emak yang berbondong-bondong beli baju lebaran, “saya lihat di pasar-pasar sekarang akibat sudah dilepaskannya PPKM, ibu-ibu berbondong-bondong beli baju baru dan sebagainya. Padahal, di sisi lain bingung, mereka antre minyak goreng," ujarnya dalam acara virtual Kick Off Pembentukan BRIDA pada Rabu (20/4).
Ia menilai bahwa ini merupakan kejadian yang bertolak belakang, di satu sisi emak-emak rela mengantri panjang demi minyak goreng murah, tapi tak ayal juga turut ramai berbondong-bondong berbelanja pakaian baru menjelang lebaran.
Selain sebagai elit politik, beliau juga merupakan Presiden ke-5 RI, tentu sosoknya tak lekang oleh memori masyarakat, kini menjabat sebagai ketum PDIP yang juga merupakan partai terbesar di kancah perpolitikan nasional. Tak dipungkiri menjadi seorang Megawati bukan saja sikap dan rekam jejaknya yang menjadi perhatian bahkan responnya terhadap isu pun menjadi hal yang amat diperhatikan oleh mata publik. Sehingga tak heran kadangkala hal ini lah yang menjadi bumerang terhadap dirinya.
Sikap yang minim empati, tak peka terhadap problematika yang dihadapi oleh rakyat, bahkan terkesan justru dia lah yang menjadi pengkritik ulung rakyat ini mendefinisikan Bu Mega, yang tidak lagi ramah tamah pada isu krisis ekonomi seperti kenaikan harga bahan pokok, sebagaimana dulu saat dirinya dikenal buas terhadap masa rezim SBY, hingga rela menangis-nangis demi menanggapi kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) dan garda terdepan dalam mengkritik kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat, namun kini dirinya tak lebih sebagai penguasa yang gemar mengkritik rakyat.
Berbicara bertolak belakang, pada kasus emak-emak yang rela mengantri panjang minyak goreng murah, sedangkan pula berbondong-bondong membeli pakaian baru menjelang lebaran tak pantas untuk dibandingkan dan dibenturkan. Sebab tentu kedua variabel tersebut jelas berbeda, minyak goreng adalah bahan pokok rakyat yang tiap hari dikonsumsi. Bahkan mereka yang sehari-harinya menjadi tukang gorengan, atau pedagang lainnya yang bermodalkan minyak goreng, tentu penggunaan minyak goreng terlampau jauh lebih intens dibandingkan dengan pakaian baru yang bisa jadi hanya setahun sekali.
Minyak goreng merupakan bahan pokok, sehingga pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas stabilitas harga pasar sembako. Logika Bu Mega dengan membenturkan kedua hal ini menggambarkan dirinya yang tak paham situasi, berbeda jika penulis bernostalgia membandingkan sikap Bu Mega saat dulu menjadi opoposi yang dengan buas begitu teliti mengkritik kebijakan pemerintah. Ini merupakan perbandingan yang relevan dan koheren, dan sikap Bu Mega lah yang justru sangat kontras bertolak belakang saat sekarang menjadi elit politik, jangankan menangisi kenaikan harga, melihat emak-emak ngantri aja keheranan bahkan melontarkan kalimat yang mengiris hati rakyat.
Kembali pada ucapan beliau di acara Seminar Nasional Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB), yakni tentang kekhawatiran beliau jika sudah tiada. Bila secara objektif, memang betul, peringatan beliau atas kekhawatiran terhadap kemunduran bangsa akibat terlena dengan zona nyaman patut menjadi perhatian sebagai fakta yang diterima juga tak dipungkiri merupakan problematika masyarakat Indonesia saat ini. Namun bila menelaah lebih dalam maksud dari kalimat beliau, terkesan bahwa dirinya lah yang berperan penting terhadap stabilitas nasional dalam berbagai sektor.
Sehingga kehilangan sosok beliau hanya akan merusak keseimbangan nasional, pernyataan beliau yang terkesan angkuh dan haus penghargaan atas perannya tentu menguras emosi rakyat yang dulu pernah terluka karena satu dua kalimat yang lagi-lagi minim empati. Mengapa? Luka yang lalu belum sembuh kini harus diperdengarkan kalimat yang tak lebih seperti menyiramkan air garam ke luka yang belum mengering.
Mirisnya, negara ini tak hanya memiliki satu pejabat yang berperilaku seperti bu Mega dalam konteks ini, bisa jadi sepuluh, dua puluh, seratus, seribu, atau tak terhingga.
Mengapa? Sebab kita tak lagi kaget jika esok lusa penjabat berbondong-bondong jual minyak murah bermerek partai kala minyak goreng mahal, atau pasang baliho di berbagai daerah, bahkan memberikan bantuan sosial terhadap orang-orang terdampak bencana diiming-imingi beras cap partai.
Saat rakyat susah beli beras tiba-tiba dalam pidato seorang penjabat, ia ternyata sembari demo makan pisang dengan dalih pengganti nasi. Tentu, sekali dua kali sebut saja oknum, kalau ternyata seluruh pemimpin bangsa berperangai jauh dari kata empati, angkuh, politik transaksi serta anomali lainnya. Maka yang penulis khawatir kan bukan tidak ada lagi sosok Bu Mega yang mengiringi perjalanan bangsa, melainkan bagaimana jika negara ini hancur karena ribuan penjabat di negeri ini masih mewariskan perangai yang melukai hati rakyat?
Wallahu a'lam bisowwab.
Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial