Berita

Pengamat politik, Refly Harun/Net

Politik

Tanggapi Utang Freeport, Refly Harun: Sesungguhnya Siapa Sih yang Untung?

MINGGU, 08 MEI 2022 | 09:55 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Pihak-pihak yang mengambil keuntungan di PT Freeport Indonesia masih dipertanyakan usai pengambilalihan dilakukan Presiden Joko Widodo. Sebab, perusahaan penambang emas tersebut kembali mengambil utang senilai Rp 45 triliun setelah sebelumnya juga berutang sebesar Rp 53 triliun.

Salah satu pihak yang turut mempertanyakan itu adalah pengamat politik, Refly Harun. Dia bahkan mengunggah pertanyaan itu lewat video di akun YouTube Refly Harun pada Sabtu (7/5) bertajuk "Tragedi Freeport: Dikuasai Dengan Utang Besar, Malah Mau Utang Lagi! Bukan Untung, Malah Buntung?".

Dalam video itu, Refly membahas soal tulisan dari Salamuddin Daeng yang dimuat oleh Kantor Berita Politik RMOL berjudul "Lah Pie Iki? Beli Freeport Bukannya Dapat Emas, Eh Malah Nambah Utang, Astaga" pada Jumat (6/5).


"Ini juga menjadi pertanyaan saya, hal yang terkait soal Freeport ini. Maka sebenarnya sesungguhnya siapa sih yang untung di Freeport ini? Siapa yang pinter, siapa yang bodoh dalam Freeport ini?" ujar Refly seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (8/5).

Karena kata Refly, Indonesia mengambil alih Freeport dengan cara berutang ke luar negeri dengan jumlah yang sangat besar. Akan tetapi yang terjadi saat ini, Freeport malah mau utang kembali.

"Jadi dia justru ingin berinvestasi lagi. Lah kapan untungnya dan kapan kita bisa mengembalikan utang pokok kita itu?" kata Refly.

Menurutnya, dengan adanya pembelian saham tersebut, terdapat beberapa profesi, atau beberapa orang atau pihak yang untung. Sedangkan Freeport, malah buntung.

"Jadi kita harus pahami bahwa ya itu lah mekanisme yang sering terjadi di republik ini. Yang tadinya kita berharap untung, kok malah jadi buntung," terang Refly.

Refly mengaku bahwa dirinya bukan ahli ekonomi atau ekonom, akan tetapi sebagai seseorang yang pernah ikut mengurus BUMN, dirinya turut bertanya-tanya tentang keuntungan yang diperoleh oleh pemerintah Indonesia dengan pembelian saham Freeport.

"Karena, akhirnya kan menjadi aneh, ketika kita membeli saham Freeport, ternyata kita tidak mendapat keuntungan apa-apa. Bahkan mau berutang kembali. Awalnya, utang Rp 53 triliun untuk membeli saham Freeport lebih dari 51 persen, ternyata kita harus utang lagi sebesar kurang lebih kalau tidak salah tadi Rp 45 triliun untuk membangun smelter dan lain-lain," jelas Refly.

"Pertanyaannya adalah, kira-kira utang yang hampir Rp 100 triliun itu kapan bisa kembalinya. Dan, untuk memenuhi kewajiban utang tersebut apakah kemudian akan ada setoran kepada negara atau deviden?" sambung Refly.

Refly pun membeberkan, bahwa mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu pernah menyampaikan bahwa deviden Freeport yang diserahkan kepada Mind Id atau PT Inalum sudah tercapai ketika saham mayoritas belum dikuasai oleh Indonesia, yaitu melalui deviden atau pajak.

"Tapi ketika Indonesia menguasai 51 persen melalui inalum, maka setoran Freeport sama saja. Nah sekarang setoran Freeport akan kembali sangat berkurang kepada entitas saham mayoritas, karena ada investasi lagi dan itu investasi jangka panjang, yaitu peminjaman uang lagi senilai tidak tanggung-tanggung yaitu sekarang nilainya adalah Rp 45 triliun," terang Refly.

Refly pun menyayangkan ada pihak yang menggunakan logika terbalik. Misalnya, ada yang menyebut bahwa akan ada keuntungan jangka panjang.

Padahal menurut Refly, jika Indonesia tidak membeli saham Freeport, maka konsensi Freeport akan kembali ke Indonesia dengan memiliki 100 persen daerah tambang tersebut.

"Ya katakanlah nanti saham Freeport akan jatuh, perusahaan akan kolaps, tapi kan Indonesia mampu membangunnya dengan menggandeng mitra strategis lainnya sepanjang bahwa memang masih ada cadangan emasnya. Kalau gak ada cadangan emasnya ngapain pula kita membelinya. Jadi banyak logika rasanya terbalik-balik dalam hal pembelian saham Freeport ini," tutur Refly.

Refly memberi contoh, semisal jalan tol yang diberikan konsensi 40 tahun, maka di tahun ke-41, jalan tol tersebut akan kembali ke negara.

"Tapi tiba-tiba pada tahun ke 39 kita membeli saham tol tersebut. Dan ini yang menurut saya kemudian menjadi tanda tanya besar ya, walaupun sekali lagi, kita harus memberikan ruang bagi ekonom untuk membahas ini. Dan Salamuddin Daeng sudah melakukannya," pungkas Refly.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Hukum Bisa Direkayasa tapi Alam Tak Pernah Bohong

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:06

Presiden Prabowo Gelar Ratas Percepatan Pemulihan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:04

Pesantren Ekologi Al-Mizan Tanam 1.000 Pohon Lawan Banjir hingga Cuaca Ekstrem

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:58

Taiwan Tuduh China Gelar Operasi Militer di LCS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:52

ASG-PIK2 Salurkan Permodalan Rp21,4 Miliar untuk 214 Koperasi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:41

Aksi Bersama Bangun Ribuan Meter Jembatan Diganjar Penghargaan Sasaka

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Dua Jembatan Bailey Dipasang, Medan–Banda Aceh akan Terhubung Kembali

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Saling Buka Rahasia, Konflik Elite PBNU Sulit Dipulihkan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:48

Isu 1,6 Juta Hektare Hutan Riau Fitnah Politik terhadap Zulhas

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:29

Kemensos Dirikan Dapur Produksi 164 Ribu Porsi Makanan di Tiga WIlayah Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 19:55

Selengkapnya