Pertama
BEBERAPA hari lalu, sahabat lama saya, Romo Haruna yang sekarang bertugas dan tinggal di Bogor, bercerita lewat WA: Sudah bertahun-tahun saya biasa bepergian antar-kota dengan menggunakan angkot (angkutan kota). Saya merasa nyaman, walau kadang harus duduk berdesakan, pun panas.
Dengan naik angkot, saya juga bisa merasakan detak kehidupan masyarakat secara lebih riil, mendengarkan ungkapan perasaan hati mereka bagaimana menyikapi kesulitan hidup. Kadang lucu-lucu cerita mereka. Beragam cerita saya dengar: dari ibu-ibu yang pulang belanja dari anak-anak sekolah, hingga bapak-bapak kantoran.
Yang juga saya perhatikan, kadang ada sopir yang nakal: membawa penumpang melebihi kapasitas. Penumpang dipaksa berdesakan, dempet seperti pindang, terutama dulu di zaman sebelum pandemi. Ada kesan aji mumpung, mengangkut penumpang sebanyak mungkin tidak memedulikan bahaya. Tapi, banyak pula yang tertib.
Yang wajar, kapasitas angkot adalah 11 penumpang, belum termasuk yang duduk di samping sopir. Tapi, yang wajar itu sangat jarang terjadi, kecuali di masa pandemi, ketika diberlakukan aturan baru berkait dengan kapasitas penumpang.
KeduaKemarin saya ke Tangerang Selatan dari Bogor tempat saya tinggal, dengan angkot. Jarak antara Bogor dan Tangerang Selatan sekitar 65 km.
Ketika masuk angkot, saya melihat seorang bapak sepuh, duduk di pojok. Bapak yang saya taksir usianya lebih dari 70 tahun itu, berbaju merah muda yang sudah dijahit sana-sini karena bekas sobek. Bercelana panjang cokelat, yang juga sudah dijahit di beberapa bagian karena sobek. Ia mengenakan topi kombinasi biru-putih.
Wajahnya lesu menyimpan perjalanan hidupnya. Matanya tak bersinar penuh harapan, tetapi saya menangkap ada semangat hidup walau jejak perjalanan hidupnya mungkin panjang dan berat. Entah seperti apa. Saya tidak tahu. Gurat-gurat perjuangan hidupnya seperti bisa dibaca di wajahnya yang sudah dimakan usia itu.
Tapi bahwa pada suatu masa bapak itu adalah lelaki kuat perkasa, terlihat dari ototnya yang masih menonjol di lengan tangannya. “Bapak jualan sandal?†tanya saya membongkar keheningan di tengah suara mesin mobil dan motor.
“Iya. Ini sandal karet ban,†jawabnya singkat sambil mengangkat kepalanya melihat saya.
“Ini bikinan sendiri, Pak?â€
“Tidak. Saya ngambil di Leuwiliang, kampung saya. Di sana ada yang membuat,†jelasnya agak panjang. Leuwiliang adalah wilayah barat Kabupaten Bogor; dari pusat kota Bogor, kira-kira berjarak 35 km.
“Berapa sepasang, Pak?†tanya saya ingin tahu.
“Tiga puluh rebu,†jawabnya.
“Saya beli sepasang, Pak,†kata saya. Dan, saya lihat matanya mendadak berbinar, binar bahagia yang sebelumnya hilang entah di mana, begitu mendengar saya mau membeli sepasang. Wajahnya yang sebelumnya seperti tertutup kelambu, kini terlihat jelas. Ada ungkapan syukur di wajah tua itu.
Saya ambil sepasang dari tas yang dipakai untuk membawa sendal itu. Ada sekitar 10 pasang. Saya coba. Pas. Enak. Dan, segera saya serahkan uang Rp 50 ribu. Begitu menerima uang itu, wajahnya kembali suram. “Aduh, maaf, Pak….saya tidak punya kembalian,†katanya lirih.
Saya buru-buru mengatakan, “Tidak perlu kembalian, Pak. Semua untuk bapak.†Lelaki tua penjual sandal karet itu pun, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, bukan hanya pada saya tetapi juga pada Tuhan. Bersyukur bukan hanya kebajikan terbesar, tetapi juga sumber dari semua yang lain.
Lelaki tua itu menghayatinya. Bukankah, setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapak segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Dan, itu pantas disyukuri.
Angkot berhenti. Naik seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi. Berjilbab. Sejak duduk dalam angkot, perempuan itu terus memandang lelaki tua penjual sandal itu. Dipandanginya lekat-lekat. Lalu, tiba-tiba perempuan itu memberikan empat buah masker ke lelaki tua penjual sandal. Karena ia tidak bermasker.
Tak lama kemudian, angkot berhenti. Naik seorang perempuan lebih muda dibanding perempuan pertama. Ia berhijab hitam. Berparas cantik. Bawaannya banyak, sepertinya baru dari belanja. Sejak duduk, ia juga memandangi lelaki tua penjual sandal itu. Meski dipandangi terus, lelaki tua itu diam saja. Bahkan menutup matanya seperti tidur, kepalanya disandarkan ke belakang.
Tak lama kemudian, perempuan berhijab hitam itu bergerak hendak turun. Tetapi, sebelum turun ia menyisipkan uang Rp 50 ribu ke kantong baju lelaki tua itu. Lelaki tua itu, membuka matanya dan terlihat agak kaget. Lalu, mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Berbarengan dengan perempuan berhijab hitam itu, turun pula seorang perempuan muda, berusia sekitar tiga-puluh tahunan, yang sejak semula terlepas dari pengamatan saya. Ketika turun, ia bilang pada sopir sambil menyerahkan uang untuk ongkos lelaki tua penjual sandal itu.
KetigaMelihat semua itu, tulis Romo Haruna, dalam hati saya berkata, “Inilah indahnya berbagi. Inilah indahnya peduli pada sesama. Inilah wujud dari beriman tidak sekadar beragama.â€
Benar yang dikatakan itu: berbagi dan peduli pada sesama memang indah. Inilah indahnya kehidupan. Orang-orang bijak mengatakan, apa pun yang kita miliki dapat menghasilkan buah jika kita memberi kepada orang lain yang membutuhkan dengan kerendahan hati.
Dengan demikian, belas kasih, welas asih, kepedulian bukan hanya kegiatan amal. Tapi itu merupakan buah dari hati yang sungguh tergerak: tergerak di dalam lapisan hidup kita yang paling mendasar. Welas asih itu adalah pemberian hidup dan menggerakkan apa yang baik. Belas kasih itu membuat hubungan antara manusia menjadi dekat, setia, ramah dan penuh hormat.
Kata Komaruddin Hidayat (2017) inilah yang disebut ibadah sosial. Ibadah sosial ini banyak ragamnya, mulai dari yang paling sederhana misalnya memberi senyum, mendoakan, menolong, hingga yang tidak sederhana yakni bersedekah. Kesemuanya itu ibadah sosial. Inilah kesalehan sosial.
Kesalehan sosial, selain kesalehan spiritual adalah keutamaan hidup yang diwujudkan dalam sikap dan praktik nyata. Kata Mgr Robertus Rubiyatmoko (2021), kesalehan sosial dihayati dan diwujudkan dalam cara hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, dan cara memperlakukan sesama.
Cara hidup seperti apa? Misalnya, peduli kepada sesama, solidaritas, dan semangat berbagi. Saat ini, yang paling sederhana misalnya adalah taat menaati protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuculi tangan, dan menjaga jarak.
Kesalehan sosial tidak bisa dilepaskan dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial juga terungkap melalui sikap saling membantu dan saling mendoakan, memerteguh persaudaran dengan siapa saja tanpa sikap diskriminasi. Tentu, dalam perspektif kebangsaan, kesalehan sosial merupakan penerapan dari penghayatan dan pengamalan Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab; persatauan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka kata Komaruddin, kesalehan beragama itu banyak jalan dan beragam ekspresinya, antara lain lewat kesalehan sosial itu. Itulah sebabnya, kita tidak dibenarkan merasa diri paling takwa, paling benar, paling saleh, lalu gampang menyalahkan dan meremehkan keberagamaan orang lain.
Sayangnya, hal semacam itu banyak terjadi di sekitar kita. Padahal, setiap orang juga tak ada yang bisa membebaskan diri dari berbuat salah dan dosa, dari kekurangan.
KeempatMembaca cerita Romo Haruna tentang pengalamannya di angkot, saya ingat yang ditulis Karen Armstrong (2009): agama itu bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran manusia, melainkan lebih pada perbuatan manusia. Iman tanpa perbuatan–tentu perbuatan baik–adalah omong kosong, mati.
Dengan kata lain, Armstrong ingin mengatakan, tidak ada gunanya menguasai teori-teori agama, hafal ayat-ayat kitab suci kalau tidak diwujudkan dalam tindakan nyata, bagi sesama manusia.Tahu bagaimana berbuat baik, tapi tidak memraktikkan ya tidak ada gunanya.
Bahkan, guru-guru bijak Upanishadik, kata Armstrong, mengatakan kebenaran agama hanya dapat diakses ketika kita siap untuk menyingkirkan egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada diri sendiri yang berurat berakar dalam pikiran dan perilaku kita. Tetapi, juga merupakan sumber dari begitu banyak penderitaan kita.
Inilah salah satu persoalan besar di negeri kita. Padahal, kata Komaruddin, agama seharusnya menjadi peradaban manusia di segala bidang. Dengan kata lain, semakin beragama, semakin beradab, semakin berbudaya, semestinya. Dalam rumusan lain, Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan semakin beriman, semakin bersaudara.
Dan, dalam angkot dari Bogor ke Tangerang Selatan itu, ada belas kasih, welas asih, ada kepedulian, ada persaudaraan. Inilah kiranya makna berpuasa dan lebaran: mempertebal sikap belas kasih, welas asih, kepedulian, dan persaudaraan.
Selamat Lebaran
1 Syawal 1443 H.
Penulis adalah wartawan senior