BULAN Ramadhan bisa diistilahkan sebagai bulan audit diri (muhasabah). Audit dilakukan untuk mengetahui apa saja yang sudah atau belum dikerjakan. Selain itu, audit dilakukan untuk mengukur seberapa jauh kita mampu memperbaiki diri.
Belum terlambat jika ingin mengevaluasi kesuksesan Ramadhan kita. Setidaknya ada 6 (enam) indikator etos Ramadhan yang bisa dilakukan audit pada akhir Ramadan dan di awal Syawal ini. Enam indikator etos Ramadhan tersebut merupakan satu kesatuan kebaikan yang sejatinya ada pada manusia. Enam indikator etos Ramadhan tersebut yaitu etos puasa, etos baca al-Qur'an, etos shalat tarwih, etos solidaritas, etos pemakmuran masjid, dan etos imsya'.
Dengan mengaudit enam etos ini secara jujur dan benar, harapannya kita bisa merawat etos ini, apalagi meningkatkan, insya Allah sukseslah Ramadhannya. Dan, boleh jadi kitalah yang paling berhak menyandang gelar juara puasa, Muttaqin (Qs. al-Baqarah/2:183).
Berikut adalah enam etos Ramadhan yang perlu kita rawat dan lanjutkan untuk 11 bulan mendatang.
Pertama, etos puasa. Hari ini kita telah mengucapkan selamat tinggal Ramadhan 1443 H, dan kini kita berada di bulan Syawal 1443 H. Salah satu pemaknaan syawal adalah peningkatan.
Dalam konteks puasa, kita meningkatkan tradisi berpuasa. Kita bisa mentradisikan puasa sunat (Senin-Kamis, Puasa Dawud dan lain-lain). Peningkatan jangan hanya dilihat dari bilangannya, tapi juga semangatnya. Terus berlanjut. Tidak menurun. Dan, tidak boleh kendor.
Untuk merawat dan meningkatkan etos puasa ini, kita mulai dengan puasa sunat Syawal. Ini yang dipesankan oleh Nabi SAW: “
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (pahala) puasa selama setahun penuhâ€. (HR Muslim).
Kedua, etos baca al-Qur'an. Selama Ramadhan umat Islam sangat bersemangat membaca al-Qur'an, mengkhatamkan al-Qur'an, bahkan mengkaji al-Qur'an. Tradisi ini harus kita lanjutkan dan tingkatkan. Ada banyak hikmah dari tradisi membaca dan mengkaji al-Qur'an ini. Di antaranya derajat akan diangkat Allah (HR. Muslim), jiwa akan tenang (Qs. al-Isra'/17:82), mendapat syafaat di akhirat (HR. Muslim), mendapat pahala yang banyak, dan lain-lain.
Nabi SAW, memotivasi untuk memperbanyak membaca al-Qur'an sebagaimana Hadis, “
Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut. Satu kebaikan itu dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Miim satu huruf.†(HR. Tirmidzi no. 6469).
Menurut Imam Syafi'i, seperti dikutip Ibnu Arabi, jumlah huruf dalam al-Qur'an itu sebanyak 1.027.000 huruf. Artinya, 1 kali mengkhatamkan al-Qur'an saja, pahalanya setara dengan 1.027.000 dikalikan 10, yaitu 10.270.000 pahala.
Harapannya tentu bukan hanya membaca dan mengkhatam al-Qur'an, tapi juga mengkajinya. Dengan demikian umat Islam kembali kepada al-Qur'an. Dalam sejarah peradaban Islam, majunya umat Islam karena kembali kepada al-Qur'an. Sebaliknya, mundurnya pedaban umat Islam karena mereka meninggalkan al-Qur'an.
Ketiga, etos tarwih/shalat malam. Shalat malam di bulan Ramadhan sering disebut shalat Tarwih. Shalat Tarwih ini dilakukan setelah shalat Isya dengan 11 rakaat (8 rakaat Tarwih: 4,4) dan Witir 3 rakaat (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah ibadah yang menjadi primadona umat Islam.
Sementara di luar bulan Ramadhan, shalat malam ini sering disebut shalat tahajud, shalat lail, atau qiyamul lail. Shalat tahajjud ini juga sejatinya menjadi primadona umat Islam (Qs. al-Isra'/7:79). Bahkan Nabi SAW. bersabda, “
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malamâ€. (HR Muslim).
Keempat, etos solidaritas. Bulan Ramadhan adalah bulan berbagi. Bulan berzakat, berinfaq, dan bershadaqah (ZIS). ZIS ini adalah penolak bala, penyubur pahala, dan pelipatgandaan rezki (Qs. al-Baqarah/2:261).
Etos kepedulian sosial ini harus kita rawat dan tingkatkan. Apalagi semakin menganganya jurang kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial. Ada orang kaya dengan kekayaan yang tak terhingga. Pada saat yang sama, terjadi pemerataan kemiskinan yang sangat memiriskan nurani. Dan, ini melanda komunitas terbanyak negeri ini.
Kelima, etos pemakmuran masjid. Selama Ramadhan semangat umat shalat berjemaah di masjid, mushalla, luar biasa. Apalagi setelah dua tahun pandemi. Etos berjemaah dalam arti luas, membangun persatuan umat Islam. Tradisi ini harus dirawat dan dilanjutkan.
Sekadar kabar gembira. Kita bersyukur, etos berjamaah ini menjadi fenomena global. Menurut laporan PRC (Pew Research Center) misalnya, pada 2070 umat Islam diprediksi akan menjadi mayoritas di dunia. Dalam laporan itu diprediksi di Rusia, 1 dari 5 orang Rusia adalah Muslim. Di Australia (2048), jumlah Muslim-Non Muslim akan berimbang.
Di Eropa, Prancis sekitar 8 juta penduduknya Muslim. Belum lagi fenomena selebrasi sujud syukur M. Sallah, pesebakbola Ingris asal Mesir, setiap kali mencetak gol. Bahkan beberapa lapangan bola terkenal di Jerman saat ini membangun masjid, mushala untuk pemain dan penontonnya. Dan banyak lagi fenomena yang menggembirakan.
Apa penyebab fenomena ini? Tentu banyak faktor pendukungnya. Di antaranya terkait soal cara pandang (
world view) tentang konsep keluarga. Masyarakat Barat menganut konsep
small family (keluarga kecil). Islam menawarkan konsep merawat keluarga bahagia atau samara (sakinah, mawaddah, wa rahmah).
Demikianlah janji Allah bahwa umat Islam adalah umat terbaik,
kuntum khaira ummah (Qs.3:110). Khaira ummah, menurut Ibnu Katsir, maknanya kemuliaan Nabi. Meneladani kemuliaan dan keterbaikan Nabi itu menjadikan pengikutnya, umat Islam, menjadi umat terbaik. Salah satu kunci keterbaikan umat ini adalah keberanian melakukan
amar ma'ruf nahi munkar.
Keenam, etos imsya'. Pemaknaan imsya' ini tidak hanya pengendalian diri 10 menit menjelang shubuh seperti yang dipahami sementara orang. Tapi imsya' ini adalah esensi puasa itu sendiri, pengendalian diri. Etos imsya' melahirkan pribadi taqwa (
tawadhu', qana'ah, ihsan/wara’). Etos imsya' akhirnya juga melahirkan etos kejujuran. Jujur pada diri sendiri, jujur pada orang lain, dan jujur pada Allah SWT.
Merawat dan melanjutkan etos kejujuran ini menjadi sangat relevan dan dibutuhkan. Apalagi etos kejujuran kini menjadi sangat mewah di negeri ini, di saat bangsa ini berjibaku memberantas perilaku korupsi.
Demikianlah, salah satu kiat sukses kita melanjutkan etos Ramadhan adalah mengaudit diri (muhasabah), apakah kita sudah menjadi pribadi yang “ihsanâ€. Ihsan sebagai kelompok manusia yang mampu menghadirkan keyakinan bahwa merasa selalu dilihat oleh Allah SWT. merupakan tanda suksesnya melanjutkan etos Ramadan.
Oleh karena itu, Ramadhan menjadi momentum untuk mencetak pribadi yang ihsan, yaitu pribadi yang selalu merasakan kehadiran Allah di manapun ia berada. (HR. Muslim).
Selain melakukan audit diri, kunci lainnya adalah konsistensi. Dari sekian banyak ragam ibadah yang menjadi tradisi kita selama Ramadhan, tentu sangat bagus kalau semua bisa kita lanjutkan. Tetapi kalau tidak bisa, Nabi SAW. memberi panduan, boleh memilih salah ibadah yang menjadi unggulan, jadi primadona. Lakukan itu secara konsisten (HR. Muslim). Insya Allah kita dimudahkan-Nya merawat dan melanjutkan etos Ramadhan. Wallahu A'lam.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana ITB-AD Jakarta dan Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Pusat, dan Wakil Ketua LPSK RI, Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah