Rusia sedang memainkan rencana D, setelah serangkaian rencananya dalam invasi ke Ukraina gagal.
Pasukan mengevaluasi kembali strateginya pada 25 Maret. Kemudian mulai memusatkan fokus untuk mengamankan Ukraina timur yang berpuncak pada penarikan mendadak dari Kiev dan kota-kota sekitarnya. Langkah ini, menurut
mantan wakil Penasihat Keamanan Nasional AS KT McFarland, tidak lebih dari upaya untuk menyelamatkan muka.
"Rencana A mereka adalah berkumpul di sepanjang perbatasan seolah-olah akan menyerang, dan menganggap Ukraina akan menyerah pada keanggotaan NATO dan Donbas," kata McFarland, seperti dikutip dari Fox News, Kamis (14/4).
"Rencana A mereka adalah berkumpul di sepanjang perbatasan seolah-olah akan menyerang, dan menganggap Ukraina akan menyerah pada keanggotaan NATO dan Donbas," kata McFarland, seperti dikutip dari
Fox News, Kamis (14/4).
Namun, ternyata Ukraina tidak menyerah. Pasukan Rusia pun melakukan Rencana B yaitu akan menyerang dan memegang kendali dalam beberapa hari.
“Ternyata, itu pun tidak terjadi. Akhirnya Rusia pindah ke Rencana C, terus berperang dan pengepungan yang berlarut-larut,†lanjut McFarland.
Ketika itu lagi-lagi tidak berhasil, mereka akhirnya pindah ke Rencana D, berkonsolidasi di timur, dan konflik pun membeku di sepanjang perbatasan.
Tujuan Rusia sebelum invasi adalah mengambil alih Donbas atau provinsi timur.
Namun, Rusia gagal mengalahkan para pemimpin dan rakyat Ukraina.
Tidak ada pemimpin Ukraina yang melarikan diri seperti harapan mereka, dan Rusia pun gagal memasang pemerintahan boneka.
Fredrick Kagan, direktur Critical Threats Project at the American Enterprise Institute, mengeluarkan nada yang sama, mengatakan wilayah Donbas tidak lebih dari "hadiah hiburan" untuk menebus pengorbanan dalam kampanye Putin.
"Tujuan keseluruhan invasi adalah untuk menggantikan pemerintah Zelensky dengan pemerintah yang bisa dikontrol Moskow. Upaya itu gagal," kata Kagan.
Mengamankan wilayah tersebut dapat memberikan tujuan jangka panjang, yaitu untuk terus mengikis wilayah Ukraina dan meningkatkan upaya invasi di masa depan.
Bagi Rusia, kata Kagan, semakin banyak wilayah Ukraina yang dimiliki Rusia, semakin sulit untuk mempertahankan Ukraina yang merdeka dari waktu ke waktu. Itu artinya, semakin banyak peluang yang dimiliki Putin untuk menyerang lagi setelah dia membangun militernya atau melakukan hal-hal lain untuk mencapai tujuannya menjatuhkan negara Pemerintah Ukraina.
Kerugian ekstrim di Ukraina telah mendorong Rusia untuk "dengan panik" terburu-buru membangun militer lagi, dengan upaya wajib militer yang lebih kuat.
Kagan percaya bahwa selama Putin atau 'Putinisme' tetap dominan di Rusia, ia akan terus berusaha menghancurkan Ukraina yang merdeka.
"Putin tidak menerima Ukraina memiliki hak atas pemerintahan yang merdeka, dan dia tidak menerima kedaulatan Ukraina, juga tidak menerima keberadaannya sebagai negara merdeka," kata Kagan.