Tambang PT Bukit Asam/RMOLSumsel
PT Bukit Asam (PTBA) menyatakan tidak ada penghentian operasional di Tambang Tanjung Enim, Sumatera Selatan, pasca insiden fatality (kecelakaan kerja yang merenggut nyawa) seorang pekerja, pada Minggu (10/4) lalu.
"Sejak insiden kemarin, yang dihentikan kegiatannya adalah workshop di lokasi kejadian saja dan tidak sampai terjadi penghentian operasi tambang," kata Manajer Humas Komunikasi & ADM Korporat PT Bukit Asam, Dayaningrat dikutip Kantor Berita RMOLSumsel, Kamis (14/4).
Dayaningrat memastikan, proses produksi masih tetap berlanjut dan pasokan batubara dalam negeri tidak terganggu dan masih tetap tercukupi. Alasan PTBA, fatality yang merenggut nyawa welder (pekerja las) bernama Benny alias Ayib itu terjadi di areal workshop dan bukan di areal operasi penambangan. Sehingga, tidak ada alasan untuk menghentikan operasional secara keseluruhan.
Dijelaskan Dayaningrat lebih lanjut, saat ini sedang dilakukan penyelidikan (investigasi) oleh Inspektur Tambang yang menjadi perwakilan Kementerian ESDM di Sumsel.
"Hasilnya belum kita terima," ungkap Dayan-sapaan akrabnya.
Keterangan Manejer Humas PTBA tersebut, sedikit berbeda dengan isi Surat Edaran Dirjen Minerba Kementerian ESDM bernomor 06.E/37.04/DJB/2019, terkait kewajiban perusahaan tambang apabila terjadi fatality di lingkungan kerja.
Kantor Berita RMOLSumsel mengutip Surat Edaran itu disebutkan, tiga poin yang wajib dilakukan saat terjadi fatality. Pertama; Menghentikan seluruh kegiatan operasional sampai hasil investigasi kecelakaan tambang berakibat mati ditindaklanjut,; Kedua; Melakukan evaluasi terhadap kinerja KTT atau PTL Perusahaan yang apabila berdasarkan evaluasi dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan dan tidak menjalankan tanggungjawabnya maka bisa diganti atau dicabut surat pengesahannya sebagai KTT atau PTL, Dan Ketiga; Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pengelolaan keselamatan pertambangan di perusahaan tersebut.
Penelusuran
Kantor Berita RMOLSumsel terhadap kasus fatality yang terjadi area tambang di Sumsel beberapa waktu sebelum ini, juga menunjukkan perbedaan perlakuan.
Sebut saja, fatality di areal tambang PT Musi Prima Coal (PT MPC) di Muara Enim pada Agustus 2021 lalu yang merenggut nyawa Nurul Hidayat, pegawai PT Nusa Indo Abadi (PT NIA) yang merupakan sub kontraktor PT Lematang Coal Lestari (PT LCL).
PT LCL merupakan pemegang Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) dari PT Musi Prima Coal (PT MPC) yang menyuplai batubara untuk pembangkit listrik Mulut Tambang Gunung Raja yang dikelola oleh PT GHEMMI.
Ketika itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Lana Saria menegaskan, pihaknya menghentikan operasional PT MPC dan semua yang terlibat di dalamnya, sampai investigasi kecelakaan tambang selesai dilakukan.
Penyetopan seluruh operasional penambangan juga diberlakukan kepada PT Era Energi Mandiri (PT EEM), ketika seorang pekerjanya meninggal dunia akibat terjepit truk.
Begitu pula dalam kasus terbaru, di areal tambang PT Trimata Benua, Banyuasin. Seorang dumpman bernama Beni terlindas alat berat saat bertugas malam hari dengan kondisi minim penerangan.
Terkait proses investigasi dalam setiap terjadinya kecelakaan tambang, pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPRD Sumsel, Jumat (4/3) lalu, Kepala Inspektur Tambang (KaIT) Kementerian ESDM Penugasan Sumsel, Oktarina Anggereyni juga menegaskan, pihaknya akan menyetop operasional perusahaan jika terjadi fatality.
Hal ini dibenarkan pula oleh Kepala Dinas ESDM Sumsel, Hendriansyah yang ikut dalam rapat tersebut. Hendri yang mengaku juga pernah menjadi inspektur tambang mengatakan bahwa secara prosedural perusahaan wajib menyetop operasional jika terjadi kecelakaan tambang di wilayahnya sampai investigasi selesai dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kecelakaan kerja yang berujung fataliyi di areal tambang Tanjung Enim mendapatkan perlakuan berbeda?