Inisiatif Sabuk dan Jalan atau BRI mulanya dipandang sebagai langkah yang cukup membantu dalam membangun sejumlah proyek di Indonesia. Namun, pada kenyataannya beberapa keluhan mulai terdengar, yang menyebutkan bahwa operasi perusahaan China di Indonesia di bawah BRI bukan hanya mendatangkan ancaman bagi lingkungan sekitar tetapi juga mengancam mata pencaharian penduduk sekitar.
Perusahaan-perusahaan China itu telah mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dan mengganggu keseimbangan ekologisnya. Aktivitas itulah yang mengancam kelestarian flora dan fauna, dan membuat penduduk harus pergi karena kehilangan mata pencaharian.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru misalnya. Proyek tersebut dianggap mengancam harimau sumatera dan trenggiling Sunda, menurut laporan The HK Post.
Proyek senilai 1,6 miliar dolar AS di bawah naungan BRI itu dikerjakan oleh Sino Hydro Corporation Limited dari China.
Hutan Batang Toru yang terletak di Pulau Sumatera Indonesia adalah rumah bagi sekitar 800 Orangutan Sumatera yang masuk dalam daftar 'Spesies Sangat Terancam Punah'. Para peneliti mengatakan, spesies yang terancam punah itu akan semakin terancam lagi karena dekat dengan pencemaran dari proyek PLTA yang lokasinya terletak di dekat garis patahan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sudah mewanti-wanti hal ini, menurut laporan HK Post.
Para peneliti mengatakan, Proyek PLTA itu telah dinilai sebagai proyek lingkungan paling berisiko dalam sejarah, dan mereka telah mengingatkan pemerintah Indonesia untuk perlindungan Hutan Batang Toru.
Bendungan yang dibangun pun akan mengancam mata pencaharian 100.000 penduduk yang ada di hilir. Beberapa dari mereka bahkan telah meninggalkan rumah mereka untuk mencari penghidupan baru.
Presiden China Xi Jinping pada April tahun lalu telah memperjuangkan filosofi "kerja sama yang terbuka, hijau dan bersih untuk membuat pembangunan BRI berkelanjutan" yang ia sampaikan dalam pidatonya di Forum Boao untuk Konferensi Tahunan Asia.
Namun, apa yang dikatakan Xi tidak sepenuhnya terlaksana, karena proyek tambang seng di Sumatera Utara, Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan jalan raya Probolinggo-Banyuwangi telah merusak lingkungan sekitar, menurut laporan HK Post, seperti dikutip dari ANI.
PT Dairi Prima Mineral Project (DPM), di mana China Nonferrous Metal Mining Group memiliki saham mayoritas, akan melanjutkan proyek penambangan seng itu, senilai 630 juta dolar AS.
Proyek ini berada dalam jarak beberapa ratus meter dari Desa Sopokomil dan Parongil, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani. Para petanki itu telah menyuarakan keprihatinan tentang kemungkinan peningkatan keasaman tanah karena kandungan asam sulfat yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari operasi penambangan.
Perusahaan lainnya, Grup Tsingshan China, sedang membangun pabrik pengolahan berbasis nikel senilai 700 juta dolar AS di Morowali Industrial Park yang juga di bawah BRI. Proyek ini dilaporkan mengancam kehidupan laut Indonesia di sekitarnya.
Begitu pun dengan proyek jalan raya Probolinggo-Banyuwangi senilai 165 juta dolar AS yang dikerjakan oleh China Communications Construction juga dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar.
BRI atau dulu disebutnya OBOR, adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah Tiongkok, yang melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara dan organisasi internasional di Asia, Eropa, Afrika, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika.