"Tertampar oleh perkataan sendiri," begitu seharusnya ungkapan yang tepat dilontarkan kepada Presiden ke-7 RI, Joko Widodo yang sejauh ini telah menjabat selama 2 periode, setidaknya masih ada 2 tahun lagi menjelang pemilu yang akan datang.
Hal ini memberikan indikasi bahwa presiden yang telah menjabat 2 periode tidak perlu dan memang tidak akan bisa menjabat lagi di periode ketiga, sebab konstitusilah yang membatasi.
Sebetulnya wacana penundaan pemilu hingga berkembang menjadi penambahan 3 periode kepemimpinan Jokowi bukanlah hal baru. Berawal dari wawancara Pak Presiden dengan wartawan harian
Kompas, Jokowi memberikan lampu hijau terkait wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan.
Sehingga, hal ini disinyalir sebagai bentuk legalisasi 3 periode untuk dirinya sendiri. Bahkan beliau menjamin hal ini adalah sah sebagai produk demokrasi.
Ini tidak saja bertentangan dengan konstitusi, melainkan juga bertentangan dengan pernyataannya pada Desember, 2019 silam.
"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.
Padahal secara konstitusi, tentu menambah masa jabatan lebih dari lima tahun, ataupun menambah lebih dari dua periode, merupakan anomali praktik eksekutif. Wajar kini menuai banyak tanggapan, bahkan kecaman dari berbagai tokoh, di antaranya pakar hukum yang juga sekaligus Jurubicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono.
Beliau mengatakan, presiden dan wakil presiden tak bisa menjabat lebih dari dua periode sesuai UUD 1945 dan Undang-undang Pemilu. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin pun turut memberikan komentar terkait dengan wacana tiga periode Pak Jokowi. Menurutnya wacana ini menyimpan setidaknya 3 misi tersembunyi, beliau pun turut membeberkan hasil analisa yang beliau anggap mampu menjawab kebingungan masyarakat terkait munculnya wacana tiga periode, salah satunya adalah kaitannya dengan pembangunan ibukota baru, yakni ibukota Nusantara, ditengarai memiliki hubungan erat dengan penundaan pemilu ataupun tambah periode.
Dilansir dari
pikiranrakyat.com, "Saya belum lama juga ketemu lagi, jadi isunya kan penundaan pemilu tuh, lalu perpanjangan masa jabatan Presiden. Nah ini, (orang) yang sama, berkata begini 'coba kamu analisa Jang, lihat orang-orang sekarang berfokus pada penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden'," kata Ujang Komarudin, Rabu, 16 Maret 2022.
"Dia bilang gitu 'Padahal kalau kamu analisa, bagaimana Pak Jokowi melalui Pak Mahfud MD mengatakan bahwa pemerintah sepakat Pemilu di 2024. Artinya pemilu ini tidak akan diundur dan tidak akan diperpanjang masa jabatan itu'," ucapnya.
Hal ini pun diduga berkaitan langsung dengan pembangunan ibukota baru karena adanya upaya pengamanan ibukota baru yang bisa saja belum selesai dalam 2 tahun ke depan sehingga kekhawatiran pengambilan alih ibukota baru yang padahal merupakan visi besar masa Pemerintahan Jokowi.
Selain itu derasnya arus investasi tidak dipungkiri dapat berpotensi berkurang apabila Presiden Jokowi tak lagi menjabat, analisis inilah yang dipaparkan Dosen Tetap dan Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia tersebut. Ujang mengaku mendapatkan informasi adanya skenario penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Dengan demikian, secara gamblang tampak adanya inkonsistensi antara perkataan sebelumnya dengan perkataan Pak Jokowi baru-baru ini. Berulang kali peristiwa inkonsistensi ini terjadi, setidaknya dalam masa jabatan Jokowi tercatat banyak sekali peristiwa yang dianggap masyarakat tak lagi memberikan klaim yang sebenarnya melainkan hanya dalih sementara, mengaburkan fakta yang sebenarnya jauh dari idealitas.
Tak heran, tentu saja hal ini yang kemudian mendorong BEM UI mengunggah kritik sarkastis yang estetik lewat akun sosial medianya yang viral tahun 2021 silam yang menyebut Jokowi sebagai
king of lips service.
Bila menangkap arus kekhawatiran, memang terdapat sinyal kecemasan pemerintahan Jokowi pasca terburu-buru nya mengetok palu RUU IKN yang juga tak lepas dari kecaman dan kontraversi di tengah masyarakat. Hal ini merupakan bukti bahwa terjadinya disorientasi di tengah hiruk-pikuk otoritas bangsa.
Di satu sisi, berbagai kecacatan kebijakan terjadi di tengah masyarakat menjalani transisi pandemi ke endemi, di sisi yang lain, tak dipungkiri pemerintah terdorong untuk melakukan inovasi guna memperkuat elektabilitas,.
Namun pemindahan ibukota dinilai irasional yang tidak mengedepankan analisis mendalam terhadap dampak multisektoral, baik pada Jakarta maupun Kalimantan Timur yang merupakan tempat pembangunan ibukota baru berlangsung.
Hal ini pun mendorong adanya arus derasnya isu wacana tiga periode yang berpotensi menjadi jalan pintas menuju masa kelam orde baru. Sebab bagaimana pun ibukota baru tak mungkin selesai dalam kurun waktu dua tahun.
Ini pun erat hubungannya dengan penambahan masa periode guna menjadi peluang pemerintahan Jokowi dalam merasakan kenikmatan ibu kota baru yang tak dipungkiri merupakan mimpi besar periode pemerintahannya sejak awal.
Selain kecemasan periodisasi kedua Jokowi, pihak yang terlibat dalam wacana tiga periode ini datang dari kelompok yang dinilai solidaritas terhadap masa kepemimpinan Jokowi. Mereka menyebut dirinya sebagai Komunitas JokPro (Jokowi Prabowo), Jokpro bahkan melaksanakan syukuran di Sekretariat Jokpro 2024. Sekjen Jokpro Timothy Ivan Triyono menyampaikan, komunitasnya ingin memastikan Jokowi lanjut ke periode ketiga agar tak ada polarisasi antar rakyat Indonesia.
"Mendukung Pak Jokowi harus dilanjutkan periode ke tiga," katanya dalam syukuran yang digelar daring seperti dilansir dari
liputan6.com, Sabtu (19/6/2021).
Timothy juga menyebut alasan Jokowi harus didukung tiga periode, supaya pembangunan yang tengah berlangsung tidak berhenti di tengah jalan. "Karena pembangunan ini kalau sampai dipotong bahaya, kita akan mulai dari nol kayak Pertamina," katanya.
Selain itu, ia menyebut duet Jokowi-Prabowo bisa melindungi kaum minoritas seperti dirinya.
Miris, apabila membedah lebih dalam terkait kecacatan demokrasi yang terjadi di Tanah Air, terlebih mereka yang mengaku kaum minoritas mencoba memanipulasi kepentingan rakyat dengan dalil demokrasi. Padahal sejak awal IKN jelas tidak mewakili kepentingan , melainkan para cukong dan investor asing yang berbau oligarki.
Ini tercemin bagaimana regulasi pemutusan keputusan dalam pemindahan ibukota yang dinilai tak rasional. Sejak awal ruang publik sudah terbatas dalam mengakses perihal wacana IKN, terlebih RUU IKN jelas melanggar aturan administrasi konstitusi, dan adanya
jumping step yang terjadi terkait dengan RUU IKN tersebut.
Bagaimana bisa setelah ketok palu baru dilakukan amdal (analisis dampak lingkungan) yang tentu saja sangat penting menakar aspek ekologis, spasial, regional juga demografis. Hal ini tak mungkin dilewatkan oleh pemerintah bila serius ingin memindahkan pusat pemerintahan dan monumen negara yang menjadi sentral peradaban bangsa.
Ironi semakin menjadi melihat kelompok yang dapat dikatakan "genit" terhadap kepemimpinan Jokowi. Mereka merasa bahwa kepentingan terakomodir dalam masa kepemimpinan Jokowi sehingga tak sampai hati jika Jokowi begitu cepat lengser.
Berbagai cara dilakukan, mulai dari memasangkan Jokowi dengan Prabowo yang merupakan saingan beratnya presiden ke-7 RI setidaknya dalam dua pemilu terakhir, hingga turut menunggangi IKN yang statusnya saja masih mengherankan sekaligus mengundang geram dan kecaman berbagai pihak.
Inilah bentuk nyata kegagalan pemerintah dalam menerjemahkan demokrasi di tengah masyarakat, kemajemukan kepentingan rakyat tak terakomodir dengan baik justru malah dijajah lewat perselingkuhan penguasa dan pengusaha yang langgeng mengakali kedaulatan, repetisi peristiwa tak hanya menguras logika dan perasaan, bahkan seringkali jiwa yang tak lagi tegar menerima begitu banyak kecacatan kebijakan dan anomali praktik politik.
Padahal wacana 3 periode tak perlu lagi dipertanyakan legal tak legalnya ke masyarakat, karena jelas konstitusi melarang itu pasca reformasi tahun 98 silam. Namun mengapa wacana tersebut dilayangkan ke publik dengan dalil demokrasi seolah dapat menciptakan ruang berkembangnya ide dan gagasan tak terlepas apakah itu melanggar normatif itu sendiri.
Padahal justru kejadian ini merupakan standar ganda demokrasi yang tengah dijadikan sebagai topeng pemerintah, dan justru dari sinilah tampak jelas watak sebenarnya pemerintah, sibuk memelintirkan istilah demi lari dari tanggung jawab.
Bahkan pemerintah kini menjadikan instrumen demokrasi sebagai legalitas kekuasaan yang otoritarian. Paradoks inilah seharusnya disadari masyarakat sebelum terlanjur tertipu lewat keangkuhan hasrat politik segilintir orang-orang yang jahat lewat bingkai demokrasi.
*Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)