BERDASARKAN data, Kementerian Pertanian mencatat perkebunan minyak kelapa sawit luasnya mencapai 15,08 juta hektare. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan jumlah lahan perkebunan kelapa sawit bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang hanya 13,6 juta hektare.
Artinya ada peningkatan seluas 1,48 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit, hal ini pun sejalan dengan peningkatan produksi nasional komoditas kelapa sawit hingga mencapai 49,7 juta ton pada 2021. Angka tersebut naik 2,9% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 48,3 juta ton.
Namun realita tak semanis data, pada awal tahun 2022, rakyat justru disambut dengan kabar kelangkaan minyak goreng di negeri produsen sawit terbesar di dunia. Sejak tahun 2006 Indonesia langgeng memegang rekor sebagai negara dengan penghasil minyak kelapa sawit terbesar, namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi yang terjadi di tanah surga Indonesia.
Berawal dari kenaikan harga CPO (
crude palm oil) sebanyak 29 persen memberikan dampak secara signifikan terhadap harga minyak goreng dalam negeri, ini pun disinyalir akibat dari derasnya permintaan domestik dan industri akibat pemulihan ekonomi pascapandemi yang kini beralih ke endemi.
Hal ini pun mendorong produsen CPO lebih tertarik melakukan ekspor besar-besaran guna menghindari kerugian dan sebaliknya, untuk meraup keuntungan sehingga industri minyak goreng dalam negeri pun harus membeli bahan baku yang lebih mahal dari biasanya. Hal ini memicu kenaikan harga minyak goreng secara drastis.
Anehnya tanggapan dari Menteri Perdagangan yang seharusnya bertangung jawab atas indeks ekspor minyak yang meningkat kala rakyat lebih membutuhkan justru amat menyayat hati. Menurutnya, kelangkaan minyak goreng yang terjadi akibat dari rakyat yang mengalami
panic buying kala kenaikan harga yang drastis sehingga penimbunan minyak goreng dalam rumah tangga pun terjadi.
Padahal presentase kapasitas rakyat untuk berkontribusi pada permainan harga tentu amatlah sedikit, bahkan hampir tidak mungkin. Apalagi dituding sebagai penyebab kelangkaan, padahal jelas ada tangan-tangan yang bermain di belakang permainan harga pasar yang tengah mencekik rakyat.
Bagaimana bisa sekelas menteri justru melayangkan porsi tanggung jawabnya kepada rakyat yang rela mengantre berdesak-desakan bahkan setidaknya dalam peristiwa ini merenggut 2 nyawa rakyatnya.
Hal ini adalah manifestasi minim empati pemimpin, bukan analisis terkait dengan mafia yang sengaja melakukan kartel atau adanya permainan kotor mekanisme pasar yang patut dicurigai sehingga pemimpin dapat memastikan akan mengambilnya langkah nyata.
Namun sang menteri justru lebih tertarik menuding rakyat sebagai penyebab kelangkaan yang bukan lantas memberikan solusi, justru menambah luka rakyat di tengah disorientasi kelangkaan minyak goreng yang mereka alami.
Padahal dengan merilis HET (Harga Eceran Tertinggi) melalui Peraturan Menteri Perdangan No. 6 Tahun 2022 merupakan kebijakan yang salah langkah.
Inilah justru yang mengakibatkan kelangkaan, industri minyak goreng pun sengaja menimbun produk minyak goreng kala itu. Namun pasca HET dicabut, minyak goreng justru melimpah di pasaran.
Hal ini diduga karena adanya dilematis akibat kerugian yang berpotensi dialami industri/pedagang apabila menjualnya dalam harga HET, yakni seharga Rp14.000-, per liter yang seharusnya harganya dapat mencapai mulai dari Rp25.000-, per liter.
Tentu saja hal ini terjadi akibat solusi yang diberikan hanyalah tambal sulam, yang bahkan menimbulkan masalah baru yakni kelangkaan.
Namun anehnya kala rakyat menjerit, menuntut peran pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga juga kelangkaan minyak goreng, kondisi ini justru dipolitisasi oleh beberapa partai politik.
Pada Senin (7/3/2022), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membagikan minyak goreng murah di Bandar Lampung. Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Selasa (8/3/2022) juga menjual ratusan liter minyak goreng murah yakni dengan harga Rp10.000/liter.
Tak lama, hanya sehari setelah kedua parta tersebut, Partai Demokrat juga menyusul menjual minyak goreng murah di Pacitan dan Ngawi, Jawa Timur. Aksi ini bahkan sampai melibatkan wakil ketua partai Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Harga jual minyak bermerek partai ini hanya sebesar Rp 11.500/liter yang bahkan harganya jauh lebih rendah dari HET.
Ini pun mengundang reaksi miris sekaligus curiga, di tengah kelangkaan minyak goreng, partai politik justru sibuk memanfaatkan kondisi guna membeli empati rakyat lewat harga minyak yang murah. Selain berbisnis, mereka juga menjadikan kondisi ini sebagai alat politik guna merebut hati rakyat.
Selain itu, kecurigaan pun timbul sebab bagaimana bisa di tengah krisis minyak yang melanda setidaknya dalam 3 bulan terakhir, banyak partai politik justru yang memiliki hingga ribuan ton untuk dijual dengan harga murah kepada masyarakat.
Kejadian ini pun menuai polemik ditengah masyarakat, menurut Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia menyebut aksi partai-partai ini sebenarnya hanyalah untuk mencari suara saat pemilu nanti.
Pasca dibuat miris dan keheranan oleh partai politik, gelombang kedua pun muncul dari lisan petinggi partai dan lagi dari Menteri Perdagangan.
"Saya itu sampai ngelus dada, bukan urusan atau masalah mahalnya minyak goreng, saya itu sampai mikir, apakah ibu-ibu hanya mengoreng? Sampai begitu rebutannya, apa tidak ada cara lain seperti merebus, mengukus atau seperti rujak, itu menu Indonesia loh," ujar Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden kelima RI.
Dilihat dari manapun, pola pikir yang berantakan justru sangat meradang pada para elite politik. Padahal hemat penulis menggambarkan kegagalan berpikir yang ditunjukkan pemerintah bukan hanya sekadar minim empati, tetapi juga krisis moral dan etis.
Ucapan Megawati yang diklaim sebagai saran justru terkesan memilukan. Bagaimana tidak? Penjual gorengan yang hidupnya bergantung pada penghasilan harian ikut dirugikan akibat kecelakaan kebijakan pemerintah.
Kalau hanya ibu rumah tangga yang juga sebagai korban antrean panjang minyak goreng, lantas apa kabar dengan mereka pedagang kaki lima yang menjajakan beragam makanan yang tentu tak lepas dari penggunaan minyak goreng.
Apakah kenaikan juga kelangkaan terjadi, lantas mereka bisa beralih profesi menjadi tukang rebusan, misal. Atau kuliner Indonesia yang kaya akan penggunaan minyak goreng dapat dengan mudah transisi resep dengan pengganti yang bahkan bisa saja komoditas tersebut tak ramah di masyarakat, seperti misal minyak zaitun yang harganya pun tak lebih hemat di kantong.
Belum lagi kalimat menyerah yang keluar dari lisan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, ia mengaku pesimis bahwa ia memiliki keterbatasan wewenang dan undang-undang dalam mengusut mafia minyak goreng.
"Mafia ini membuat keadaan industri migor kritis dan mendesak, Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan tersebut," ujarnya.
Sungguh memilukan setelah melempar bola panas pada rakyat dengan menuding rakyat menimbun minyak goreng di rumah, bahkan setelah terbukti bahwa bukan perbuatan rakyat melainkan mafia yang gencar melakukan kartel guna memainkan harga pasar.
Muhammad Lutfi selaku menteri justru orang pertama yang mengibarkan bendera putih atas keadaan yang kian mencekik. Apabila sekelas menteri saja tak sanggup menghadapi tangan-tangan kotor yang menyebabkan rakyat kian sengsara, lantas pada siapa rakyat mengadu? Lantas apa fungsinya para pemangku kebijakan?
Tentu ini pertanyaan logis yang muncul dibenak rakyat, di tengah kehausan justru tangan-tangan tidak bertanggung jawab bebas memenuhi hasrat kerakusan tanpa bisa dicegah dan ditindak oleh pemerintah dan aparatur negara.
Tak terbendung pilu rakyat, menangis darah pun tak kuasa membuat pemerintah lantas bertaubat, pun bila nyawa melayang akibat kecacatan pemerintah, tak lantas membuat pemerintah cakap berbuat dan bijaksana.
Lebih-lebih jika nanti kontestasi politik datang, rakyat hanya menjadi santapan makan malam para politikus yang bermimpi jadi penguasa, berebut berderma demi simpati dan suara. Namun setelah jadi penguasa, mereka terkena serangan amnesia, di mimbar hadapan rakyat hanya sibuk berdalih setelah kemarin sebelum berjaya mereka sibuk menawarkan manisan demokrasi tentang visi surganya.
Itulah kenyataannya, perih bertambah-tambah jika rakyat masih saja menghadapi sistem yang rusak nan sakit, tak terputus rantai kejahatan penguasa yang terus menginjak bahkan mengisap darah rakyat. Di tengah pelik terasa sesak, pihak-pihak tidak bertanggung jawab justru menunggangi peran sebagai pahlawan haus apresiasi, partai politik misal yang berbisnis migor murah berharap dengan itu rakyat gembira.
Sungguh ironi, kejadian demi kejadian terus berlangsung menimpa negeri, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng hanyalah satu dari sekian banyak kejadian miris nan memprihatinkan. Rakyat tak hanya dibuat miskin dan menderita, tetapi juga dibuat heran dan terluka.
Di satu sisi, rakyat tak kuasa menahan pelik dengan kejadian yang menimpa, kenaikan harga minyak goreng misal, tetapi di sisi yang lain rakyat pun tak habis pikir mendengar respons pemerintah juga elite politik yang kian menambah luka hati rakyat.
Negeri ini sakit, sakit yang tak mungkin dapat didiagnosis oleh dokter manapun, tak terlacak oleh Kompendium riwayat penyakit manusia yang pernah ada, negeri ini sakit, sakit yang tak begitu mudah disembuhkan. Gelaja demi gejala berubah menjadi rentetan kekambuhan yang merusak anggota tubuh dan menular secara aseksual.
Negeri ini sakit, sakit yang tak mengundang empati, tetapi justru emosi dan arus kegeraman akibat begitu banyak pihak terdampak yang tak terelakkan turut merasakan.
Kemarin, hari ini juga esok, Tuhan tak sedang tertidur menunggu mereka para pemimpin negeri berpulang di hadapan-Nya, melainkan sedang meramu makar terbaik hingga saatnya keadilan-Nya lah yang satu-satunya tegak menyadarkan mereka yang telah lama termanjakan dengan kekuasaan.
Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)