Berita

Proses penyatuan air dan tanah yang dibawa para kepala daerah di Titik Nol IKN Nusantara/Ist

Publika

Cerita Tanah Air

MINGGU, 20 MARET 2022 | 23:28 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

SEMALAM saya ngobrol dengan Cak Kardi. Begitu saya biasa menyapa Sukardi Rinakit, sahabat saya yang baik hati. Biasa, obrolan malam hari. Banyak hal yang kami obrolkan, mulai dari yang ringan-ringan hingga yang berat-berat.

Tentu, istilah berat itu menurut definisi dan pengertian saya, yang kemungkinan bagi orang lain tidaklah berat.

Salah satu hal yang menarik kami obrolkan adalah soal tanah dan air yang dibawa para gubernur seluruh Indonesia ke IKN Nusantara. Lalu, seluruh tanah dan air dari 34 propinsi di Indonesia dimasukkan ke dalam kendi Nusantara di Titik Nol Ibukota Negara (IKN) Nusantara, Sepaku, Kalimantan Timur.

Kata Presiden Jokowi, saat itu, Senin (14/3) lewat akun YouTube: “Pada hari ini kita hadir bersama-sama di sini dalam rangka sebuah cita-cita besar dan pekerjaan besar yang akan kita segera mulai yaitu pembangunan Ibukota Nusantara.”

Baru kali ini para gubernur dikumpulkan untuk berkemah bareng, dan menyerahkan air dan tanah dari daerahnya masing-masing. Pasti para gubernur mengambil tanah dari tempat di daerahnya yang dianggap istimewa.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, misalnya, mengambil tanah dari—yang menurut banyak orang, terutama orang Jawa—“pusatnya” Tanah Jawa, yang oleh masyarakat Jawa disebut “pakuning tanah Jawa” yakni Gunung Tidar di Magelang.

Sungguh sangat mengagumkan, di Sepaku sekarang terkumpul tanah dan air dari Aceh Sampai Papua (dari Sabang sampai Merauke), dari Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara Timur (dari Miangas sampai Pulau Rote). Ini adalah lambang bahwa IKN Nusantara adalah milik bersama, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Di Nusantara seluruh rakyat disatukan, dalam sebuah tekad bersama untuk membangun bangsa dan negara ini menuju masa depan yang cerah, adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi lan tentrem kerta raharja, Baldatun toyibatun Warobun Gafur.  Itu doanya.

Dalam bahasa lebih heroiknya: penyatuan tanah dan air dari seluruh wilayah Nusantara ini mengandung makna nasionalisme yakni cinta terhadap nusa dan bangsa.

Mungkin ada yang komentar, “Ah itu klenik.” Boleh-boleh saja berkomentar seperti itu. Ini negara demokrasi  yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan mengemukakan pendapat (walaupun tetap ada batas-batasnya. Bukankah kebebasan dalam demokrasi bukannya tidak tak terbatas?)

Biasa ada komentar seperti itu.  Apa sih di negeri ini, yang tidak dikomentari walau sebenarnya tidak ada yang salah sama sekali. Tidak salah karenanya kalau nyinyir diartikan sebagai ungkapan kebencian atas sikap orang lain yang tidak sepikiran. Entah itu tidak sepikiran dalam politik, agama, ideologi, adat istiadat, budaya, dan sabagainya.

Orang juga mengatakan, nyinyir sebenarnya merupakan cerminan ketidakmampuan si pelaku nyinyir untuk melakukan hal sama (dalam hal-hal baik) seperti yang dilakukan orang lain, objek nyinyiran. Dengan kata lain, nyinyir adalah ungkapan iri hati. Ungkapan iri hati lewat mulutnya sendiri atau meminjam mulut orang lain; dengan jarinya sendiri atau jarinya orang lain.

II

Sebenarnyalah, upacara menyatukan tanah dan air dari 34 propinsi di negeri ini tidak ada yang aneh. Secara sederhana, tanah dan air itu merupakan ungkapan perwujudan Ibu Pertiwi. Ini secara simbolis mengungkapkan persatuan dan kesatuan seluruh bangsa.

Kata Cak Kardi, penyatuan tanah dan air yang dibawa para gubernur pada dasarnya adalah simbol sumber kehidupan bersama. Simbol persatuan seluruh suku, adat, budaya, dan juga agama yang hidup di Indonesia. Simbol kedekatan hati kita sebagai manusia-manusia Indonesia, yang sekarang ini ada yang merasakan “meski dekat tetapi terasa jauh.”

“Cak, penyatuan tanah dan air itu kan juga menjadi memori kolektif anak bangsa bahwa kita ini punya tanah air, tanah kita sendiri, yang selama ini menghidupi kita semua. Bukankah begitu, Cak?”

“Betul sekali, Mas,” komentar Cak Kardi.

Penyatuan tanah dan air dari seluruh Indonesia, sebenarnya, juga mengingatkan—sekaligus untuk menyadarkan—orang-orang yang selama ini berteriak-teriak lantang bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Tetapi, mereka meneriakkan juga (bahkan lebih lantang dengan menggunakan toa) bahwa ideologinya dari tanah seberang. Padahal, ideologi negara ini—Pancasila—seperti dikatakan Bung Karno adalah mutiara yang digali dari Bumi Pertiwi Indonesia.

Kata Bung Karno: “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekadar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.

Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Yudi Latif, 2011: 20-21)."

Karena itu, prosesi penyatuan tanah dan air dari seluruh Indonesia ke dalam kendi Nusantara di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Sepaku, Kalimantan Timur adalah sebuah momen yang mengingatkan kita semua bahwa ideologi kita digali dari tanah air Indonesia, bukan dari tanah seberang!

III

Kepada Cak Kardi saya katakan bahwa penyatuan tanah dan air dari seluruh Indonesia itu mengingatkan akan Sumpah Pemuda. Katakanlah semacam memperbarui Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda pada 1928.

“Cak, kalau saya tidak salah, butir pertama Sumpah Pemuda menyatakan: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.”

“Betul sekali, Mas,” kata Cak Kardi.

Bukankah dengan mengatakan itu, mengangkat sumpah seperti itu, para Bapak Bangsa kita pada tahun 1928 saja sudah mengakui bahkan menyadari sepenuhnya bahwa esensi kebangsaan itu adalah tanah air. Tanah air-lah yang sejak semula disadari bisa menjadi bingkai perekat persatuan dan kesatuan Indonesia.

Tidak berlebihan bukan, bahkan menurut hemat saya, sangat tepat kalau dikatakan bahwa sumpah (Sumpah Pemuda) itu merupakan bentuk nasionalisme ke-Indonesiaan yang luar biasa. Padahal itu tahun 1928. Selain itu, sumpah tersebut juga bagaikan magnet, mengandung daya ikat yang sangat kuat dan patriotisme kebangsaan bagi seluruh anak bangsa.

Karena itu, harapannya penyatuan tanah dan air dari seluruh pelosok Indonesia yang dibawa oleh para gubernur juga mengandung daya ikat dan patriotisme kebangsaan yang tidak kalah kuat.

 â€œWah Mas, sampeyan mengingatkan saya pada Pak Daoef Joesoef. Dia pernah mengatakan bahwa kita mempunyai tiga tanah air,” kata Cak Kardi.

Pertama, tanah air fisik. Yakni dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas sampai Pulau Rote. Tempat kita berduka. Tempat kita bersuka cita. Tempat kita hidup. Tempat kita bermasyarakat. Tempat kita bekerja dan berkarya. Jadi tanah air fisik ini adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, tanah yang sehari-hari kita diami secara fisik.

Kedua, tanah air formal. Yang dimaksud dengan tanah air formal adalah negara bangsa, yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini negara dengan hukum formal. Ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang selalu dikatakan “NKRI harga mati.”

“Dan ketiga, Mas,” kata Cak Kardi, “yakni tanah air mental yakni Pancasila seperti yang dikatakan Bung Karno. Jadi, tanah air mental ini lebih bersifat imajinasi yang dibentuk dan dibina oleh ideologi. Karena itu, tidak bersifat teritorial seperti dalam pengertian tanah air formal atau tanah air riil; juga tidak dibatasi oleh ruang dan waktu."

Kata Daoef  Joesoef, aneh kalau seseorang mengakui Indonesia sebagai tanah air fisiknya dan menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia, tetapi tanah air mentalnya ada di negara lain: entah itu Timur Tengah, entah itu Eropa, entah Asia Timur, entah itu Pasifik. Banyak sekarang yang seperti itu.

Cak, tanah-air itu kan ibarat rahim Ibu. Kalau tidak salah kata rahim memiliki kata dasar yakni rahmah yang berarti kasih sayang. Rahim adalah tempat yang agung. Di tempat yang penuh kasih sayang itu calon manusia tumbuh dan berkembang. Dan, manusia adalah buah kasih sayang. Di tanah air inilah bangsa Indonesia lahir dan bertumbuh, berkembang, dan berbuah yakni bukah kemakmuran.

Dan, Cak, dari tanah-lah manusia itu ada. Dan, ke tanah lagi serta menjadi tanah lagi, nantinya kehidupannya berakhir. Dari tanah kembali ke tanah. Seperti yang tertulis Memento homo, quia pulvis eris et in pulverem reverteris, Ingatlah manusia, bahwa kamu berasal dari debu dan akan kembali ke debu….Ah, maaf Cak, kok saya ngomong nggladrah, nglantur  ke mana-mana, padahal kita ngobrol soal tanah-air.

“Cak, kok saya lalu ingat lagunya grup band indie, Efek Rumah Kaca yang berjudul Seperti Rahim Ibu: “Seandainya Negeriku; Serupa Rahim Ibu; Merawat Kehidupan; Menguatkan yang Rapuh…..”

Semoga, ibukota baru nantinya akan benar-benar seperti rahim Ibu yang menjadi awal mula kehidupan, yang merawat kehidupan, yang menguatkan yang rapuh, yang menyatukan yang renggang, yang memberi semangat pada yang lesu, yang memberikan perlindungan, yang memberikan kedamaian, dan yang memberikan kasih sayang, serta yang memberi semangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi kebesaran bangsa dan negara ini…
Penulis adalah wartawan senior.

Populer

UPDATE