Berita

Pendiri sekaligus penasihat Institute for Policy Analisys of Conflict (IPAC), Sidney Jones/Net

Politik

Dukung Penegakan Hukum, IPAC: Hasutan Mengarah Kekerasan Bukan Bagian Kebebasan Berekspresi

MINGGU, 13 MARET 2022 | 09:24 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Penegakkan hukum terhadap kelompok radikal yang mengarah kepada ancaman kekerasan perlu dilakukan. Mengingat, radikalisme, ekstremisme dan terorisme merupakan tantangan yang dihadapi semua negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Hal itu disampaikan oleh pendiri sekaligus penasihat Institute for Policy Analisys of Conflict (IPAC), Sidney Jones dalam Seminar Nasional bertema "Tantangan dan Strategi Kontra Radikalisme di Indonesia" yang digelar di Kampus Paramadina, Jakarta Selatan, Sabtu (12/3).

Sidney mengatakan, perbedaan cara pandang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh UU, selama tidak ada pemaksaan dan ancaman kekerasan.

"Kalau advokasi tanpa memaksa semestinya diperbolehkan. Karena dengan kebebasan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 45 seharusnya bebas mengajukan opini," ujar Sidney.

Akan tetapi kata Sidney, berbeda ketika yang disampaikan adalah hasutan atau ujaran kebencian yang mengarah pada kekerasan.

"Hal itu harus ditindak secara hukum karena bukan lagi bagian dari kebebasan berekspresi, melainkan sebuah kejahatan karena telah memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan," kata Sidney.

Namun demikian, Sidney juga mengingatkan perlunya negara memperjelas definisi radikalisme agar tidak gampang disematkan kepada orang atau kelompok yang berbeda secara ideologi maupun politik.

"Kalau ada orang yang mengadvokasi negara Islam di Indonesia, tapi secara damai, apakah itu radikalisme karena isi yang didorong atau didukung? Atau kalau ada yg mengadvokasi untuk balik ke piagam Jakarta, apakah itu radikal atau ekspresi politik tapi sesuatu yang harus dibiarkan dalam satu pemerintah demokrasi asal damai? Ini tentu harus diperjelas definisi radikalisme," jelas Sidney.

Sementara pembicara lain, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Sunaryo menyoroti konservatisme agama di Indonesia sebagai fenomena yang perlu diwaspadai.

Menurut Sunaryo, konservatisme yang berkembang di Indonesia cenderung membuat masyarakat anti terhadap perbedaan. Ia pun meminta negara untuk membuat kebijakan terukur agar kelompok konservatif tidak semakin membesar.

"Hal tersebut yang di-highlight oleh Cak Nur, kecenderungan seseorang yang belajar agama semakin anti terhadap orang yang berbeda. Itu menurut saya harus diwaspadai," kata Sunaryo.

Selain itu, Dosen Pascasarjana, Herdi Sahrasad di forum yang sama berpendapat, radikalisme tumbuh di kalangan anak muda yang teralienasi oleh modernitas yang kemudian memperoleh ceramah dari penceramah konservatif dan radikal.

"Di Indonesia, kita melihat munculnya kelompok-kelompok pengajian eksklusif yang tidak ingin bersosialisasi dengan tetangga kemudian mendapatkan penetrasi atau ajaran radikal dari ulama garis keras yang eksklusif," kata Herdi.

Hal serupa juga diungkap oleh pengamat sosial politik Arya Wisnuardi. Arya mengatakan, usia muda menjadi target utama penyebaran paham radikal yang mengarah pada kekerasan. Sebab, usia 17-24 tahun adalah masa-masa mencari jati diri.

"Kaum muda ini energik, punya semangat besar, relatif tidak memiliki beban tanggungan. Yang menarik juga adalah anak muda ini merupakan orang yang kompeten terhadap penggunaan internet," ujar Arya.

Masih di forum yang sama, GuruBesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil menilai, strategi utama pemberantasan radikalisme adalah melalui pendidikan yang baik.

Tak hanya itu kata Sukron, kelompok-kelompok moderat harus mulai aktif mengisi ruang-ruang publik seperti masjid agar tidak dikuasi oleh kelompok radikal.

"Saya misalnya dulu belum aktif di masjid, belakangan saya harus aktif di masjid. Karena kalau kita tidak mencerahkan orang-orang ini nanti bisa dikuasai oleh orang-orang yang bermasalah," pungkas Sukron.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Ukraina Lancarkan Serangan Drone di Beberapa Wilayah Rusia

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:03

Bonus Olimpiade Ditahan, Polisi Prancis Ancam Ganggu Prosesi Estafet Obor

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:02

Antisipasi Main Judi Online, HP Prajurit Marinir Disidak Staf Intelijen

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:37

Ikut Aturan Pemerintah, Alibaba akan Dirikan Pusat Data di Vietnam

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:29

KI DKI Ajak Pekerja Manfaatkan Hak Akses Informasi Publik

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:27

Negara Pro Rakyat Harus Hapus Sistem Kontrak dan Outsourcing

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:17

Bandara Solo Berpeluang Kembali Berstatus Internasional

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:09

Polisi New York Terobos Barikade Mahasiswa Pro-Palestina di Universitas Columbia

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:02

Taruna Lintas Instansi Ikuti Latsitardarnus 2024 dengan KRI BAC-593

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:55

Peta Koalisi Pilpres Diramalkan Tak Awet hingga Pilkada 2024

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:50

Selengkapnya