DINAMIKA politik global kembali memanas setelah konflik Rusia-Ukraina pecah pada Kamis, 24 Februari 2022. Rusia secara besar-besaran melakukan invasi ke Ukraina untuk melumpuhkan basis militer, gudang senjata, dan objek vital yang ada di Ukraina.
Hingga artikel ini ditulis, beberapa sumber menyebutkan serangan Moskow menyebabkan lebih dari 820 infrastruktur militer Ukraina rusak, termasuk 14 lapangan terbang, 48 stasiun radar, dan 24 sistem anti-rudal yang luluh-lantak. Hal ini juga mengakibatkan kepanikan masyarakat sipil Ukraina yang mulai mengungsi ke beberapa negara seperti Polandia dan Hungaria.
Merujuk ke sejarah Rusia dan Ukraina, sebenarnya relasi kedua negara berawal dari satu kerajaan yang sama, yaitu Kerajaan Kievan Rus yang eksis pada abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-13. Kedua negara juga pernah bersatu dalam negara Republik Sosialis Uni Soviet (USSR/Uni Soviet) yang kemudian juga berakhir pada tahun 1991.
Runtuhnya Republik Sosialis tersebut tidak lantas mengakhiri konflik antarkedua negara. Terbaru, kedekatan Ukraina dengan Barat dan keinginannya untuk bergabung ke aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menjadikan Rusia terancam dan mulai kembali menginvasi Ukraina.
Akar Konflik antara Rusia dan UkrainaAwal konflik Rusia-Ukraina modern dapat diidentifikasi dari runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Setidaknya terdapat dua faktor pemicu lahirnya konflik kedua negara tersebut.
Pertama, sejak Uni Soviet runtuh, dinamika politik Eropa dan kedekatan Ukraina dengan Barat sedikit banyak memengaruhi perkembangan konflik Rusia-Ukraina. Kontestasi pengaruh Barat dan Rusia di Ukraina dapat dilihat dari dinamika politik dalam negeri Ukraina. Hilangnya intervensi Rusia dan kedekatan pemerintah Ukraina dengan Barat mendorong Rusia memilih jalan lain untuk tetap mengintervensi Ukraina, termasuk melakukan aneksasi semenanjung Krimea dan mendukung kelompok separatis pro-Rusia di Donbass.
Lainnya, invansi Rusia atas Ukraina juga dipengaruhi oleh faktor psikologis kedua negara. Pemerintahan Putin yakin bahwa Ukraina mempunyai kedekatan sejarah, politik, dan budaya dengan Rusia. Ia menganggap bahwa Rusia harus menyelelamatkan secara ‘paksa’ Ukraina dari pengaruh buruk Barat. Aneksasi semenanjung Krimea adalah contoh konkritnya. Rusia menganggap bahwa Krimea adalah bagian dari wilayahnya setelah pemberian cuma-cuma dari Presiden Uni Soviet kala itu Nikita Krushchev kepada Soviet Ukraina pada 1954.
Dimensi politik-keamanan dan ekonomi juga menjadi pemicu dari lahirnya konflik Rusia-Ukraina. Bagi Rusia, mengizinkan Barat dan NATO untuk melakuan kerjasama lebih dengan Ukraina adalah ancaman besar. Secara ekonomi, Ukraina juga menjadi tempat transit utama bagi 40 persen gas alam yang di impor Eropa dari Rusia. Dikutip dari Eurostat, nilai impor produk energi UE dari Rusia pada 2017-2021 mencapai 371,1 miliar euro. Potensi-potensi tersebutlah yang kemudian dinilai akan mengancam Rusia jika Ukraina lebih dekat ke Barat.
Penjelasan Psikologis Putin atas Konflik Rusia-UkrainaKonflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina tidak terlepas dari figur Presiden Rusia hari ini, Vladimir Putin. Putin lahir di Leningrad (sekarang Saint Petersburg) pada tahun 1952 dari ayahnya yang berprofesi sebagai marinir dan ibunya yang merupakan seorang buruh pabrik. Karir Putin yang cemerlang sebagai intelejen KGB (Badan Intelejen Uni Soviet) dan beberapa jabatan penting di Moskow pada akhirnya membawa ia menjadi pemimpin tinggi Rusia hingga hari ini.
Sebagai pribadi terkenal yang konsisten dan rasional dalam berpolitik, Putin dianggap oleh pendukungnya sebagai pemimpin yang berjasa terhadap kemajuan Rusia hari ini. Mereka menganggap Putin mempunyai karakter dan kharisma yang kuat setelah Presiden Stalin. Richard Sakwa dalam bukunya yang berjudul "
Putin: Russia’s Choice" (2007) menyebut Putin sebagai
a little Napoleon atau Napoleon Kecil. Napoleon merupakan sosok pemimpin ambisius dan mempunyai visi besar akan kekuasaannya.
Kuatnya karakter kepemimpinan Putin banyak dipengaruhi oleh pengalaman atas karir politiknya yang panjang. Secara pribadi, Putin juga terpengaruh oleh beberapa aktor politik Rusia, salah satunya adalah mantan Walikota Saint Petersburg yang juga gurunya, yaitu Anatoly Sobchak.
Dalam
The New Tsar: The Rise and Reign of Vladimir Putin karya Steven Lee Myers (2015), Putin mengakui Sobchak sebagai master atau guru dalam politiknya. Seperti diketahui, Sobchak merupakan salah satu orang berjasa bagi Putin ketika dia memulai karir politiknya.
Kekuatan Putin juga lahir dari adanya mayoritas dukungan dari warga Rusia. Mereka menilai bahwa Putin berhasil meningkatkan kondisi ekonomi, politik, dan kebudayaan Rusia. Tidak hanya itu, Putin juga berhasil memperkuat posisi Rusia di mata Internasional.
Kaitannya dengan konflik terbaru dengan Ukraina, kepemimpinan Putin memainkan peran penting dalam keputusan invasi Rusia ke Ukraina. Merujuk pada beberapa penelitian, romantisme Putin sudah muncul ketika ia menyaksikan secara langsung runtuhnya Uni Soviet. Putin menganggap bahwa kehancuran Uni Soviet adalah kekalahan personal bagi dirinya.
Kuatnya karakter Putin semakin menajamkan tekad Moskow untuk memperkuat pengaruhnya di Kawasan, termasuk dengan melakukan invasi ke Ukraina. Ukraina, bagi Putin, merupakan wilayah strategis untuk membangun kekuatan ekonomi dan pertahanan. Putin juga tidak ingin sejarah kelam ekspansi Bangsa Mongol pada abad ke-13 ke Rusia kembali terulang. Putin menyadari bahwa kondisi geografis Moskow dengan tidak adanya pengunungan dan padang pasir, serta minimnya sungai menjadikan kota tersebut lemah secara geografis pertahanan.
Dalam kesarjanaan hubungan internasional, konflik internasional muncul tidak hanya diakibatkan oleh interaksi antarnegara dan para pemimpin negara, melainkan juga dari ketakutan kolektif atas kelompok lainnya di masa depan.
Lake dan Rothchild dalam
Containing Fear: The Origins and Management of Ethnic Conflict (1996) menjelaskan, bahwa memori ketakutan dan kecemasan atas peristiwa politik masa lalu berperan besar dalam memunculkan konflik di masa depan dan berdampak pada terbentuknya citra musuh sebagai bagian dari identitas kolektif.
Dalam konteks ini, Putin menafsirkan relasi Rusia dan Ukraina sesuai dengan pengalaman dan sejarah pribadi Putin untuk kemudian menutupi kecemasannya atas kehadiran NATO di perbatasan.
Merujuk pada publikasi artikel Putin dan beberapa pernyataan resmi Kremlin, penulis menyatakan bahwa terdapat dua hal yang melatarbelakangi keputusan Rusia untuk menginvasi Ukraina, yaitu romantisme Putin atas kejayaan bangsa Rusia masa lalu dan penggambaran citra Barat sebagai musuh dan penjajah.
Hal ini terlihat dari artikel Putin yang berjudul
On the Historical Unity of Russians and Ukrainians yang terbit pada Juli 2021.
Setidaknya terdapat tiga poin penting yang Putin sampaikan dalam artikel tersebut. Pertama, Sang Presiden mengungkapan bahwa Rusia dan Ukraina adalah bangsa yang satu, dengan akar sejarah, budaya, dan agama yang sama. Kedua, Putin mengkritik adanya intervensi Barat di Ukraina, di mana negara tersebut hanya menjadi medan kepentingan geopolitik Barat, termasuk propaganda penghapusan pengaruh Rusia di Ukraina.
Ketiga, Putin mengklaim bahwa mayoritas warga Ukraina ingin kembali ke Rusia. Putin menganggap bahwa masyarakat di wilayah Krimea, Donetsk dan Luhansk tidak membutuhkan Kiev, sebagaimana warga Donbas menolak pemerintah pusat Ukraina.
Upaya Resolusi Konflik terhadap Konflik Rusia-Ukraina
Terlepas dari kompleksitas konflik Rusia-Ukraina, dunia internasional kini berharap bahwa kedua negara dapat mengakhiri konflik melalui meja perundingan dan upaya-upaya diplomatik lainnya. Terbaru, presiden Zelensky bersedia untuk melakukan dialog damai dengan Rusia dan menawarkan beberapa opsi tempat untuk berunding yang dinilai lebih netral dibandingkan opsi yang ditawarkan oleh Rusia. Akan tetapi, hingga kini agenda perundingan tersebut belum disepakati oleh kedua pihak.
Mempertimbangkan akar permasalahan yang ada, penting untuk melihat urgensi perdamaian bagi kedua pihak. Penyelesaian konflik dapat dilaksanakan ketika para pemimpin berkenan untuk merubah citra bermusuhan antarpihak, serta adanya pengakuan dan penghargaan terhadap identitas masing-masing kelompok. Terpenting bagi Rusia maupun Ukraina adalah menghentikan perang.
Ukraina dalam situasi ini harus menahan hasratnya untuk bergabung dengan Barat dan NATO untuk menghindari invasi Rusia semakin meluas. Pemerintahan Putin harus juga memperhatikan dampak buruk yang akan semakin meluas jika konflik terus terjadi, termasuk krisis kemanusiaan di Eropa Timur.
Dari pihak lain, AS dan NATO -sebagai penolakan utama dari Rusia- juga harus menghormati upaya-upaya diplomatik antara Rusia dan Ukraina dan memilih untuk tidak mengintervensi keduanya.
Konflik identitas dan kepentingan antar kelompok adalah struktur yang kompleks, dengan komponen yang menakankan pada tradisi komunitarian dan sejarah yang panjang.
Penyelesaian konflik pada dasarnya bukanlah upaya penghilangan identitas. Resolusi konflik harus hadir sebagai langkah untuk mengakomodasi identitas kelompok sebagaimana adanya. Dalam konteks krisis yang terjadi di Ukraina, memposisikan faktor psikologis kedua pemimpin dalam bingkai kepentingan kedua negara adalah hal yang patut diperhatikan untuk kemudian menghasilkan solusi atas krisis ini.
*Pengurus Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII