Pakar Hukum Tatanegara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid/Net
Suara-suara penolakan terhadap usulan penundaan Pemilu Serentak 2024 semakin banyak disampaikan publik. Usulan ini dianggap melanggar konstitusi.
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, ikut memaparkan pandangannya terkait penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan pejabat publik.
Fahri menuturkan, usulan yang disampaikan sejumlah ketua umum partai politik tersebut tak hanya bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi juga tidak bermuatan maslahat, karena implikasinya pada tatanan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden, menteri, anggota DPR, DPD, hingga DPRD dan serta jabatan-jabatan publik lainnya.
"Usulan penundaan Pemilu merupakan
constitution disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Fahri kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (28/2).
Fahri menegaskan, secara teoritik maupun konstitusional, usulan penundaan pemilu tidak berangkat dari
reasoning yang memadai. Sebab hal itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.
Menurutnya, dalam sebuah negara demokrasi konstitusional setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara adalah sesuatu yang generik, tetapi harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan negara.
"Dan idealnya harus berangkat dari spirit sebagai negarawan sejati. Secara filosofis, adagium hukum yang menegaskan bahwa
ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat disitu ada hukum," tuturnya.
Keberadaan hukum di masyarakat, lanjut Fahri, merupakan instrumen penting untuk menciptakan ketertiba. Karena dalam suatu lingkungan sosial ada potensi hubungan relasi antarsesama manusia sering menimbulkan konflik kepentingan antarmasyarakat tersebut.
"Oleh sebab itu, sebagai alat untuk menjaga dan menjamin adanya ketertiban sosial, maka ketaatan terhadap hukum (konstitusi) wajib untuk dilaksanakan," imbuhnya.
Secara doktrinal, Fahri menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional yang menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang supreme, serta wajib untuk dilaksanakan dan bukan untuk diperdebatkan yang pada akhirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri.
Maka dari itu Fahri menyatakan bahwa norma Pasal 22E ayat (1) yang secara terang mengatur bahwa "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali", adalah perwujudan hak asasi politik warga negara.
Begitupun dengan bunyi Pasal 22E ayat (2) yang mengatur bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah".
"Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran pemilu yang
legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional," tuturnya.
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik.