KAMPANYE penggunaan galon air minum sekali pakai telah memicu protes di kalangan produsen maupun asosiasi produsen AMDK (Air Minum Dalam Kemasan). Apalagi, kampanye yang ditumpangkan dalam iklan dari salah satu merk AMDK itu diikuti dengan adanya rencana kebijakan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang mewajibkan pelabelan galon.
Diktum dari rencana kebijakan yang diperkenalkan oleh salah satu otoritas penjaga kesehatan publik itu adalah; produsen AMDK yang menggunakan galon sekali pakai, dalam hal ini berbahan plastik jenis PET (Polyethylene Terephthalate) wajib melabeli galonnya “bebas BPAâ€, sedangkan yang memakai galon isi ulang wajib memberi label “mengandung BPAâ€.
Dalam pernyataan publiknya di situs pom.go.id, BPOM menjelaskan bahwa BPA (Bisfenol A) adalah senyawa kimia pembentuk plastik polikarbonat (PC) yang merugikan kesehatan apabila dikonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Sesuai ketentuan BPOM tahun 2019, batas migrasi maksimal BPA adalah 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).
Polemik mengenai kandungan BPA dalam kemasan makanan dan minuman sebetulnya sudah mencuat secara global. Komisi Eropa melarang pemanfaatan BPA pada pembungkus makanan sejak 2018. Sebelum itu, Perancis sejak 2015 terlebih dulu memperkenalkan pembatasan BPA yang paling ketat: melarang pemanfaatan kandungan kimia untuk kemasan makanan dan minuman.
Meski demikian, FDA (Food & Drug Administration) masih mentolerir penggunaan BPA kecuali pada botol susu bayi, sippy cup, dan kemasan formula. BPOM-nya Amerika Serikat itu pun masih menyatakan aman pemanfaatan BPA untuk kemasan barang lainnya dengan kadar yang secara umum berlaku pada industri di sana.
Tak seperti polemik kebijakan serupa di Eropa dan Amerika lain yang lebih transparan meskipun kadang diliputi nuansa keras, polemik mengenai BPA di Indonesia terkesan kurang partisipatif sehingga memunculkan gejolak protes dan keberatan dari beragam pemangku kepentingan.
Rencana kebijakan BPOM itu, menurut liputan Kontan.co.id (25/12/2021), tidak disetujui bukan saja oleh asosiasi produsen AMDK yang beranggotan produsen dari berbagai kelas usaha, tetapi juga kementerian atau lembaga yang membidangi soal isu-isu di luar kesehatan publik, seperti Kementerian Perindustrian.
Isu Kesehatan dan LingkunganAsosiasi produsen AMDK masih menyoal apakah PET memang 100% bersih dari risiko kesehatan. Hal tersebut selaras dengan riset, misalnya, dari Depaolini dan kawan-kawan (2020), yang menyebutkan tetap diperlukannya prosedur tertentu untuk menjaga agar risiko kesehatan dari Acetaldehyde (AA) atau ethanal yang terkandung dalam PET tetap kecil.
Caranya adalah dengan memastikan agar residu AA yang terlepas ke air dipatok serendah mungkin. Selain itu, kontrol kualitas bahan polimer dan pembatasan jarak pengangkutannya juga perlu diterapkan secara tertib.
Berkaitan dengan tersebut, pemanfaatan PET untuk galon AMDK semestinya diatur secara lebih detail dengan petunjuk teknis yang tersosialisasikan dengan baik kepada produsen botol berbahan PET maupun AMDK.
Selain pertanyaan atas ‘klaim kebenaran’ menyangkut risiko kesehatan PET, rencana kebijakan BPOM juga memunculkan berbagai keberatan dari aspek lingkungan, perekonomian dan persaingan usaha. Karena terkait erat dengan urusan publik lainnya, rencana kebijakan pelabelan galon itu semestinya diharmonisikan dan disinkronisasikan dengan kebijakan dan regulasi seluruh kementerian dan lembaga lain yang terkait.
Dalam perspektif lingkungan, kebijakan yang secara tidak langsung meng-endorse pemakaian galon sekali pakai itu akan memunculkan pertanyaan tentang kesiapan seluruh pemangku kepentingan dalam mengelola sampah plastik PET.
Jika para pemangku kepentingan belum memiliki sistem dan kapasitas yang mencukupi untuk mengelola dan mendaur ulang limbah plastik yang dihasilkan, maka rencana kebijakan tersebut berpotensi mengganggu peta jalan pengurangan limbah plastik yang telah disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama dengan beberapa institusi pemerintah lainnya.
Sebagaimana telah didiseminasikan di berbagai kesempatan oleh KLHK, pemerintah tampaknya serius menjalankan komitmen untuk mengurangi sampah plastik dengan tarjet pengurangan secara nasional hingga 30% pada tahun 2030. Suatu kebijakan yang mendorong bertambahnya sampah plastik tanpa antisipasi pengelolaan yang baik tentu dapat menganggu road map tersebut.
Isu Ekonomi dan Problem Ego SektoralDi samping isu kesehatan dan lingkungan, rencana kebijakan BPOM itu juga terkait dengan keberlangsungan industri AMDK seluruh Indonesia yang memiliki puluhan ribu tenaga kerja. Adanya kesan bahwa rencana aturan mengenai galon tersebut cenderung diskriminatif bagi sebagian kelompok usaha AMDK, tentu dapat menimbulkan persepsi tentang menurunnya kenyamanan iklim berusaha di Indonesia.
Reperkusinya, reputasi pemerintah di mata investor yang dalam beberapa tahun belakangan dibanguh dengan upaya memperbaiki ekosistem bisnis, juga bakal terganggu.
Bagi perusahaan AMDK kelas menengah dan kecil, tentu tidak mudah beradaptasi secepat kilat dengan rencana kebijakan pelabelan galon yang secara tidak langsung meng-endorse pemakaian galon sekali pakai. Apabila pemakaian galon sekali pakai dianggap sebagai praktek baru yang harus diterapkan dalam industri AMDK, perusahaan kelas besar pun sewajarnya memerlukan transisi untuk ‘mencangkokkan’ hal tersebut dalam proses bisnis mereka.
Regulasi yang memiliki implikasi bisnis seharusnya memiliki perspektif yang luas, yang melampaui, meskipun tetap memperhatikan, pertimbangan kesehatan masyarakat. Apalagi, jika pertimbangan kesehatan masyarakat yang dijadikan argumen utama pun masih menyisakan ruang perdebatan saintifik.
Kebijakan berimplikasi bisnis yang dibuat tanpa mendengarkan keberatan dan aspirasi dari sebagian besar pemain bisnis dan unsur-unsur internal lain dalam pemerintah, dapat diduga akan mudah menjadi ‘sansak’ kritik dan sorotan negatif dari publik.
Pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai terobosan untuk mengurangi inefisiensi dalam perijinan bisnis dan mengurangi hambatan investasi di berbagai sektor usaha untuk memperbaiki kekompetitifan Indonesia. Salah satunya, yang paling monumental, dengan melalui UU Cipta Kerja.
Terlepas dari diwajibkannya pemerintah untuk melakukan revisi atas UU Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi, kebijakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki ekosistem bisnis itu seharusnya menjiwai seluruh produk peraturan baru yang dihasilkan oleh institusi pemerintah.
Apabila institusi pemerintah masih memelihara ego sektoral dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memiliki multi-implikasi tanpa menyerap masukan dari institusi sejawat lainnya, tentu berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan peringkat ease of doing business dari urutan 73 ke 40 dunia akan sulit dicapai.
Pekerjaan Rumah JokowiTahun 2022 adalah tahun dimana Indonesia memegang tampuk kepemimpinan KTT G-20. Salah satu prioritas utama Indonesia dalam G-20 yang kerap ditekankan oleh Presiden Joko Widodo adalah Ekonomi Hijau dan Transisi Energi (Green Economy & Energy Transition).
Indonesia memiliki modal yang kuat dalam mengangkat agenda itu, salah satunya dengan keberadaan roadmap pengurangan sampah plastik yang mewajibkan tiap-tiap perusahaan memiliki perencanaan yang kongkrit untuk mereduksi output limbah plastik. Peta jalan itu dapat menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengarusutamakan ekonomi sirkular atau ekonomi berkelanjutan.
Implementasi dari peta jalan tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar dan harus digarap bersama-sama oleh segenap kementerian dan lembaga. Dukungan publik dan sektor bisnis hanya akan kuat jika kabinet Jokowi-Ma’ruf padu dalam gerak langkah menjalankan transformasi hijau tersebut.
Patut disayangkan bahwa rencana pelabelan galon yang secara tidak langsung meng-endorse pemakaian galon sekali pakai itu menunjukkan adanya gerakan kekurangpaduan di dalam barisan pemerintah. Masih adanya sikap dan tindakan tertentu yang dapat dibaca sebagai pelestarian ego sektoral tentu kontraproduktif dengan upaya Jokowi untuk menunjukkan kesiapan Indonesia menyongsong transformasi hijau.
Presiden tentu berkepentingan untuk menjaga keseimbangan pembangunan di bidang kesehatan, lingkungan, dan ekonomi, sekaligus melanjutkan berbagai komitmen yang telah dicanangkan. Terkait dengan rencana pelabelan galon itu, kabinet seyogyanya melakukan evaluasi dengan mendengarkan masukan berbagai pemangku kepentingan.
Dua bulan ke depan, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memasuki separuh periode kepemimpinan. Sebelum mencapai setengah periode berikutnya, problem-problem yang menghambat berbagai agenda prioritas pemerintah seharusnya dapat diselesaikan. Sekaranglah momen yang pas bagi pemerintah untuk menyelaraskan kembali langkah kaki para anggota barisan.
Penulis adalah dosen FEB Universitas Padjadjaran