I
AKSI menendang dan membuang sesajen yang dilakukan seorang pria di daerah bencana letusan Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur, mengingatkan kenangan lama.
Sekitar 45 tahun lalu (tidak tahu sekarang), orang-orang di desa yang mempunyai hajatan akan menaruh sajen (sesaji) di tempat-tempat tertentu. Misalnya, perempatan jalan, jembatan, dan bawah pohon besar. Para petani yang akan memulai menanam dan memanen padi, biasanya juga membuat sesaji.
Sesaji—biasanya berupa antara lain, tumpeng kecil, bubur merah, bubur putih, pisang kepok, bunga mawar, kenanga, dan kantil—diletakkan pada sebuah ancak kecil. Ancak adalah talam yang dibuat dari anyaman bambu (ada juga yang paduan antara bambu dan batang daun pisang).
Bagi masyarakat Jawa, sesaji adalah hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari, terkait pemahaman atau pandangan masyarakat tentang dunia ini. Masyarakat Hindu Bali juga membuat sesaji,
sajen<.i>
Sebagai contoh. Dalam upacara ruwatan, sajen<.i> merupakan syarat yang penting. Ruwat dalam bahasa Jawa sama dengan kata luwar, berarti lepas atau terlepas. Maka, diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan dari hukuman atau kutukan dewa yang menimbulkan bahaya, malapetaka atau keadaan yang menyedihkan.
Ngruwat dapat juga berarti dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula, tetapi juga menolak bencana yang diyakini akan menimpa pada diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib membahayakan.
Pada saat upacara ruwatan dilakukan dengan pagelaran wayang purwa dengan cerita khusus Murwakala, cerita riwayat kehidupan Dewa Kala. Menurut pakem Murwakala jenis barang sajen<.i> itu jumlahnya tidak kurang dari 38 macam. Tidak boleh terlupakan satupun. Artinya jumlah sajen harus 38 macam.
Jelaslah kiranya, sesajen memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya. Tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah.
Kata Suwardi Endraswara (2018), Agama Jawa menggariskan fungsi sesaji sebagai: pertama, langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan adikodrati, agar tidak mengganggu; kedua, pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut merasakan hikmah sesaji; dan ketiga, perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang Gawe Urip, Yang Memberi Kehidupan. Ini berarti sesaji merupakan bentuk ucapan terima kasih.
Tentu, ada yang tidak sependapat dengan hal itu. Biasa, dalam segala hal selalu begitu. Tetapi, kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen<.i> perlu dipelajari bukan disalahkan. Sebab, sesajen adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur kita.
II
Kata Suwardi Endraswara, sesaji merupakan refleksi dari naluri keagamaan orang Jawa. Manusia hidup saling berdampingan di alam semesta ini. Salah satu kewajiban dan tujuan utama manusia hidup di Bumi adalah untuk saling menghormati, saling menghargai, saling ber-welas asih dan mengasihi antarsesama makhluk hidup.
Filsafat hidup Jawa, menanamkan suatu kesadaran kosmologis yakni bahwa manusia harus menghargai, menghormati, dan memperlakukan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak hidup dengan cara adil, welas asih serta bijaksana.
Koentjaraningrat (dalam Muhammad Afdillah, 2010) mencatat bahwa kepercayaan Agama Jawi (Agama Jawa) asli mencakup kepercayaan terhadap ruh leluhur, lelembut, setan, denawa, memedi, widadari, dan tuyul.
Adapun ajaran tentang kosmogoni (kang dumadi), kosmologi (bawanagung), eskatologi (akhiring zaman), dan ratu adil berasal dari ajaran Hindu-Buddha. Sedangkan konsep tentang kematian dan hidup sesudah mati (akhirat) dipengaruhi oleh ajaran Islam. Karena itu, menurut Niels Mulder (1992), Agama Jawi lebih menekankan pada kebaikan kehidupan manusia di dunia dengan berbagai dimensinya daripada ajaran eskatologi itu sendiri.
Karena itu, ada pula yang berpendapat bahwa sesaji atau sajen sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menyelaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun mahkluk ciptaan Tuhan.
III
Maka, kata Romo Budi Subanar, sajen<.i> lebih ditempatkan sebagai sarana yang membawa orang pada kemampuan melakukan transendensi baik horizontal–terkait dengan relasi sosial–maupun vertikal. Transendensi memberi pemahaman berupa kesadaran manusia akan Tuhan.
Berangkat dari pemahaman itu, diharapkan manusia dapat selalu membangun hubungan yang erat dengan Tuhan, juga mahkluk ciptaan-Nya. Hal ini akan berdampak pada nilai-nilai ketuhanan menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dengan demikian, dimensi transendensi menjadi puncak dari kesadaran manusia. Puncak inilah yang akan menyelarasakan kesadaran manusia dengan perilakunya. Dimensi transendensi memberikan arahan nilai religiousitas sehingga manusia dapat terhubung dengan Tuhan, selanjutnya akan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam wuud liberasi dan humanisasi.
Dari sini muncul ungkapan kurang sajen, cah kurang sajen, atau wong kurang sajen. Karena kurang sajen, maka tidak harmonis lagi, tidak selaras lagi dengan lingkungan, dan juga perilakunya tidak selaras dengan norma-norma yang ada dan berlaku umum di masyarakat.
Ungkapan kurang sajen ditujukan pada seseorang (mungkin juga kelompok orang) yang berkelakuan aneh (lebih berkonotasi negatif) yang kurang genep (genap) menurut ukuran manusia normal dan waras.
Tetapi, di kemudian hari ungkapan kurang sajen itu juga ditujukan kepada seseorang yang tindakan maupun ucapannya tidak sejalan dengan paugeran umum yang berlaku di masyarakat.
Dahulu, bila dalam sebuah hajatan ada yang kesurupan, maka orang akan mengatakan, hajatan itu “kurang sajen.†Sekarang, manifestasi dari kurang sajen itu macam-macam.
Misalnya, terwujud dalam diri mereka yang banyak ngomong, ngomyang enggak jelas hasilnya, merasa paling pinter sendiri, yang lain bodoh, tolol, dan dungu; mereka yang suka menuding orang lain khafir; mereka yang suka menyebarkan berita bohong, fitnah, ujaran kebencian, sikap tidak toleran; yang mengumbar sikap-sikap ekstremisme dan fanatisme.
Mereka yang korup, mementingkan kantongnya sendiri dibandingkan kesejahteraan rakyat, juga masuk dalam kategori orang kurang sajen. Sebab, kini sajen tidak lagi berujud nasi tumpeng, bubur merah-putih, bunga mawar, kenanga, kantil, dan pisang kepok. Tetapi dalam bentuk uang pelicin, uang suap, uang tutup mulut, gratifikasi, upeti, pemerasan, kontrak proyek, penggelapan, sogokan, dan lain sejenisnya.
Maka, melihat para pembuat hiruk-pikuk, kebisingan, kegaduhan, celotehan, dan para koruptor di negeri ini, orang yang masih waras hanya akan mengatakan, “Dasar kurang sajen!â€