Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso/Ist
Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap Oktober, merupakan pengingat bahaya komunisme yang melakukan kudeta pada 30 September.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam gerakan itu menculik tujuh jenderal dan beberapa lainnya. Gerakan itu, untuk mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme.
“Peristiwa tersebut tercatat jadi sejarah kelam Indonesia modern. Komunisme memang tak tampak lagi, namun sebagai ideologi ia tak kasat mata. Jadi, bangsa ini harus terus waspada,†ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dalam keterangannya, Jumat (1/10).
Chriswanto juga mengingatkan, bukan hanya komunisme tapi liberalisme bahkan gerakan fundamentalisme berbasis agama tertentu, bisa membahayakan ideologi negara tersebut.
“Akibatnya, Pancasila memang masih jadi dasar negara, namun perilaku pejabat publik dan rakyatnya tak lagi Pancasilais,†kata Chriswanto.
Menurutnya beberapa waktu lalu, ia dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj bertemu dan bersepakat untuk membendung pengaruh liberalisme dan fundamentalisme, di lingkungan ormas masing-masing.
“Ormas-ormas Islam berhadapan dengan dua kutub persoalan, yakni liberalisme yang di antaranya mendorong kebebasan individu, sementara di sisi lain terdapat fundamentalisme yang membuat seseorang tidak toleran terhadap perbedaan,†ujarnya.
Liberalisme menurut KH Chriswanto, memiliki kandungan positif. Seperti mendorong seseorang untuk memperoleh haknya dalam kesejahteraan dengan berkompetisi. Namun bila tak diatur, liberalisme sangat memungkinkan yang kuat akan menggusur yang lemah dalam berbisnis.
Selain itu, kata dia, liberalisme mendorong sifat seperti konsumerisme, yang bila tak dikendalikan berbuah pemborosan dan melakukan segala cara untuk meraih barang yang diinginkan.
“Artinya, komunisme, liberalisme, sosialisme, dan fundamentalisme bukanlah ideologi asli suku-suku di Indonesia. Ideologi-ideologi itu diimpor di sinilah Pancasila dan rakyat Indonesia diuji,†imbuhnya.
Bila liberalisme membuat seseorang tak peduli sehingga semangat gotong-royong meluntur. Sementara fundamentalisme mendorong lunturnya sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keyakinan lain. Akibatnya, kedamaian dan ketenteraman bisa terusik.
Ia mengingatkan kembali peran ormas Islam untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa, sebagaimana yang terdapat dalam butir-butir Pancasila.
“Pancasila digagas para pendiri bangsa sebagai kompromi, jalan tengah, dan mengambil intisari dari berbagai ideologi. Bahkan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia terhimpun di dalamnya. Inilah yang membuat bangsa Indonesia terus bersatu,†ujar Chriswanto.