BANYAKNYA wilayah Afghanistan yang berhasil dikuasai oleh kelompok Taliban menunjukkan bahwa Pemerintah Afghanistan tengah mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai serangan dari kelompok Taliban pasca proses penarikan seluruh pasukan AS dan sekutu dari wilayah Afghanistan.
Kelompok Taliban sebelumnya sempat mengklaim telah menguasai sekitar 250 dari 398 distrik atau sekitar 85 persen dari seluruh wilayah Afghanistan pada 9 Juli 2021. Selain itu, Taliban juga telah menguasai titik- titik strategis seperti wilayah yang berbatasan dengan Iran, Tajikistan dan Turkmenistan.
Di sisi lain, Taliban terus meningkatkan serangan untuk menguasai wilayah lainnya sebelum menuju ke Kabul untuk mengambil alih pusat Pemerintahan Afghanistan. Dalam hal ini, upaya Taliban untuk merebut berbagai wilayah di Afghanistan didorong oleh adanya perbedaan pandangan antara Taliban yang menginginkan pembentukan negara berdasarkan syariat Islam dengan Pemerintah Afghanistan yang menginginkan negara berdasarkan demokrasi parlementer.
Taliban sebelumnya resmi berkuasa di Afghanistan mulai tahun 1996 hingga tahun 2001 setelah menggulingkan Pemerintahan Mujahiddin yang didukung AS.
Namun, setelah adanya serangan terhadap World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di AS, Pemerintah AS di bawah Pemerintahan Mantan Presiden George W. Bush (20 Januari 2001 sampai 20 Januari 2009) bersama negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), seperti Inggris, Prancis, Belanda dan Australia memberikan dukungan terhadap Aliansi Utara Afghanistan dan memulai kampanye Perang Melawan Terorisme dengan kode Operasi Kebebasan Abadi (Operation Enduring Freedom) di Afganistan.
Hal ini ditujukan untuk menggulingkan kekuasaan Taliban yang dituduh melindungi Al-Qaeda, serta untuk menangkap Osama bin Laden sebagai pimpinan Al-Qaeda selaku aktor utama penyerangan WTC tersebut. Melalui operasi tersebut, AS bersama dengan sekutu berhasil menggulingkan kekuasaan Taliban pada 17 Desember 2001, serta mendorong sebagian besar anggota Al-Qaeda dan Taliban untuk melarikan diri ke Pakistan dan juga mundur ke daerah pedesaan maupun pegunungan terpencil di Afghanistan.
Selanjutnya, militer AS di bawah Pemerintahan Mantan Presiden Barack Obama (20 Januari 2009 – 20 Januari 2017) berhasil membunuh pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pada 2 Mei 2011 di kompleks perumahan Abbottabad, Pakistan.
Keberhasilan Taliban dalam merebut sebagian besar wilayah Afghanistan diduga dipengaruhi oleh adanya ketergantungan Pemerintah Afghanistan terhadap bantuan militer asing dalam meredusir ancaman Taliban dan menciptakan stabilitas keamanan di Afghanistan. Kondisi tersebut terlihat sejak proses penarikan pasukan AS dan pasukan negara-negara anggota NATO secara bertahap, dimana pasca penarikan pasukan tersebut, Taliban dapat dengan mudah mengambil alih berbagai pos pengamanan dan juga wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Pemerintah Afghanistan.
Selain itu, keberhasilan Taliban tersebut juga dipicu oleh penurunan moril pasukan Afghanistan dalam menghadapi kelompok Taliban, dimana jatuhnya pos-pos pengamanan ke tangan Taliban menjadi salah satu ukuran melemahnya pasukan Pemerintah Afghanistan.
Upaya Taliban dalam merebut kembali berbagai wilayah Afghanistan mulai terlihat sejak tenggat waktu penarikan seluruh pasukan AS dari Afghanistan yang ditunjukkan dengan peningkatan intensitas serangan kelompok Taliban di berbagai wilayah Afghanistan.
Dalam hal ini, Penarikan seluruh pasukan AS dari Afghanistan didasari dari adanya perjanjian antara AS sewaktu dibawah Pemerintahan mantan Presiden Donald Trump (20 Januari 2017 – 20 Januari 2021) dengan Taliban pada 29 Februari 2020 di Doha, Qatar.
Dalam perjanjian tersebut, AS berkewajiban untuk menarik mundur pasukannya secara bertahap, melepaskan tawanan perang dan menghapus anggota Taliban dari daftar sanksi AS. Di lain pihak, Taliban berkewajiban untuk tidak bekerja sama dengan kelompok manapun yang dapat mengancam keamanan AS beserta sekutunya, serta tidak akan memfasilitasi dan membiarkan terjadinya perekrutan, pelatihan dan penggalangan dana oleh kelompok manapun sesuai dengan perjanjian damai.
Taliban juga tidak akan memberi visa, paspor, dan izin perjalanan kepada semua kelompok yang mengancam keamanan AS dan sekutunya untuk memasuki Afghanistan. Namun, konflik yang terus berlangsung di Afghanistan dinilai dapat menjadi pendorong bagi para milisi dari berbagai kelompok ekstremis, khususnya Al- Qaeda dan juga ISIS untuk turut serta dalam upaya memukul mundur pasukan keamanan Pemerintah Afghanistan yang dapat berujung pada pengambilalihan pemerintahan untuk mendirikan negara Islam sesuai dengan kepercayaan dari kelompok-kelompok tersebut.
Adanya aktivitas kelompok ekstremis di Afghanistan mulai terlihat dengan adanya serangan BOM mematikan yang menargetkan sekolah di Kabul, Afghanistan pada 8 Mei 2021, dimana serangan tersebut menewaskan lebih dari 80 orang dan sekitar 150 terluka, kebanyakan dari mereka adalah gadis-gadis usia sekolah menengah.
Namun, tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut, termasuk kelompok Taliban.
Di lain pihak, militer Rusia pada 28 Juli 2021 mengeluarkan peringatan tentang perpindahan kelompok teroris dari Suriah, Libya dan beberapa negara lainnya ke Afghanistan, dimana secara khusus menyatakan kekhawatirannya atas kekuatan yang berkembang dari elemen-elemen ISIS di Afghanistan utara.
Kondisi tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Rusia untuk meningkatkan kehadiran militernya di dekat perbatasan Tajikistan- Afghanistan dalam rangka melakukan latihan militer bersama dengan pasukan Tajikistan dan Uzbekistan pada 5 s.d. 10 Agustus 2021 untuk menghadapi ancaman perluasan konflik di Afghanistan.
Langkah Rusia tersebut merupakan upaya untuk mengamankan wilayah Tajikistan, dimana negara tersebut merupakan negara pecahan Uni Soviet dan juga merupakan sekutu Rusia di Asia Tengah yang tergabung kedalam Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (Collective Security Treaty Organization/CSTO).
CSTO merupakan pakta pertahanan bagi negara-negara pecahan Uni Soviet di Eurasia, dengan anggapan bahwa agresi terhadap satu anggota akan dianggap sebagai agresi terhadap semua anggota pakta pertahanan tersebut.
Berbagai kemenangan yang diperoleh Taliban akan semakin membukakan peluang bagi kelompok tersebut untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Potensi kemenangan Taliban tersebut dinilai dapat meningkatkan kemungkinan perluasan pengaruh Taliban di kawasan Asia Tengah, khususnya di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Hal ini tidak terlepas dari adanya dugaan bahwa Taliban akan memanfaatkan kemenangannya di Afghanistan untuk ikut campur dalam urusan beberapa negara tetangga.
Dugaan tersebut didasari dari banyaknya afiliasi dari kelompok Taliban di berbagai negara untuk membentuk pemerintahan sesuai dengan syariat Islam, seperti Islamic Jihad Union (IJU), Tahriki Taliban Pakistan (TTP), Haqqani network, dan Emirat Kaukasus.
Selain itu, berbagai kemenangan Taliban di Afghanistan juga dinilai akan kembali meningkatkan jumlah pengungsi global asal Afghanistan, setelah sebelumnya Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) telah berhasil merepatriasi pengungsi asal Afghanistan sekitar 5,3 juta pengungsi asal Afghanistan untuk kembali ke negaranya sejak tahun 2002. Berdasarkan data UNHCR, jumlah pengungsi asal Afghanistan pada tahun 2020 mencapai sekitar 2,2 juta jiwa, dimana sebanyak 7.583 orang masih berada di wilayah Indonesia.
Dalam menyikapi konflik di Afghanistan, Pemerintah Indonesia melalui K/L terkait dinilai perlu untuk mencermati perkembangan situasi keamanan di Afghanistan, beserta pengaruhnya terhadap stabilitas keamanan di Kawasan Asia Tengah guna mengamankan kepentingan Indonesia di kawasan tersebut. Selain itu, juga diperlukan adanya peningkatan pengawasan terhadap kedatangan para imigran asing, khususnya imigran yang berasal dari negara-negara konflik untuk mengantisipasi adanya kemungkinan masuknya teroris asing ataupun Foreign Terrorist Fighter (FTF) ke wilayah Indonesia guna menjaga stabilitas keamanan di dalam negeri.
Peningkatan pengawasan tersebut juga ditujukan untuk membatasi kedatangan para pengungsi ilegal ke Indonesia, dimana Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967.
Penulis adalah Deputi Kontra Intelijen Badan Intelijen Negara (BIN). Artikel ini dimuat pertama kali di Majalah Profesional Intelpam Denipeni, Edisi ke-59 September 2021.