Berita

Universitas Stanford di California/Net

Dunia

Ratusan Profesor Stanford Desak Pemerintah Amerika Hentikan Program Memburu Mata-mata China di Universitas

RABU, 15 SEPTEMBER 2021 | 06:40 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Khawatir terjadi teror dan sikap rasial kepada para ilmuwan, sekelompok profesor Universitas Stanford mendesak Departemen Kehakiman AS untuk berhenti memburu mata-mata China di universitas-universitas Amerika.

Meskipun mengakui bahwa penting bagi AS untuk mengatasi masalah pencurian kekayaan intelektual dan spionase ekonomi, namun program tersebut telah menyimpang secara signifikan dari misi yang diklaimnya.

Lewat sebuah surat yang ditandatangani 177 anggota fakultas Stanford, mereka mendesak agar progam yang diluncurkan Pemerintahan Trump itu  segera dihilangkan.


"Ini merusak daya saing penelitian dan teknologi Amerika Serikat. Ini menjadi bias, yang pada akhirnya malah meningkatkan kekhawatiran tentang isu  rasial," kata surat itu.

Program tersebut terkesan sangat diskriminatif. Para profesor juga berpendapat bahwa ketika satu anggota fakultas diselidiki, banyak pendidik lain merasa terancam meskipun tidak memiliki riwayat kesalahan.

Menanggapi tuntutan tersebut, juru bicara Departemen Kehakiman Wyn Hornbuckle membela keputusan pemerintah.

"Pemerintah berdedikasi untuk melawan upaya pemerintah (China) yang melanggar hukum dan keamanan nasional Amerika, termasuk juga membahayakan ekonomi kita," katanya, seraya mengakui bahwa setiap keputusan tentu akan ada dampaknya, dalam hal ini kemungkinan ada  ancaman kejahatan rasial terhadap orang Asia-Amerika.  

Departemen Kehakiman telah menerbitkan rincian setidaknya 27 kasus yang terkait dengan keputusan pemerintah. Mereka yang diselidiki, beberapa mengakuan bersalah, beberapa kasus dibatalkan karena tidak ada bukti, dan beberapa  penyelidikan masih berlangsung.

Profesor di Institut Teknologi Massachusetts dan Universitas Harvard termasuk di antara mereka yang didakwa, seperti lima ilmuwan China yang mengunjungi para sarjana tahun lalu. Tuduhan terhadapnya kemudian dibatalkan pada bulan Juli.

Pada Kamis (9/9), seorang hakim federal di Tennessee akhirnya membebaskan seorang profesor yang dituduh menyembunyikan hubungan China dalam aplikasi hibah penelitian NASA-nya, karena jaksa gagal memberikan bukti bahwa dia bermaksud menipu pemerintah.

Peter Michelson, dekan senior Stanford untuk ilmu alam, salah satu penandatangan surat itu, mengatakan bahwa perburuan itu melahirkan ketidaknyamanan bagi yang lainnya.

"Saya pikir apa yang dilakukan FBI dalam banyak kasus adalah untuk menakut-nakuti orang; menyelidiki dan menginterogasi mereka yang belum tentu bersalah. Dan itu berbahaya bagi negara," katanya.
Penandatangan lain, fisikawan Stanford Steven Kivelson, mengatakan dia bergabung dalam penandatangan itu karena dia melihat rekan-rekannya yang berasal dari China menderita akibat inisiatif tersebut, dan menjadi sasaran kebencian di lingkungannya.

Mantan Sekretaris Energi AS dan pemenang hadiah Nobel, Steven Chu, seorang profesor di Stanford mengatakan, alih-alih membantu melindungi keunggulan teknologi AS, program ini berisiko merusak keunggulan Amerika dalam sains.

"Kami mendapatkan otak selama setengah abad," katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara. "Kamu benar-benar ingin membuang ini?" tanyanya heran.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kades Diminta Tetap Tenang Sikapi Penyesuaian Dana Desa

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:10

Demokrat Bongkar Operasi Fitnah SBY Tentang Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:08

KPK Dalami Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Anggaran Mantan Kajari HSU

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:01

INDEF: MBG sebuah Revolusi Haluan Ekonomi dari Infrastruktur ke Manusia

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:48

Pesan Tahun Baru Kanselir Friedrich Merz: Jerman Siap Bangkit Hadapi Perang dan Krisis Global

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:40

Prabowo Dijadwalkan Kunjungi Aceh Tamiang 1 Januari 2026

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:38

Emas Antam Mandek di Akhir Tahun, Termurah Rp1,3 Juta

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:26

Harga Minyak Datar saat Tensi Timteng Naik

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:21

Keuangan Solid, Rukun Raharja (RAJA) Putuskan Bagi Dividen Rp105,68 Miliar

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:16

Wacana Pilkada Lewat DPRD Salah Sasaran dan Ancam Hak Rakyat

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:02

Selengkapnya