Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Tanda-tanda Zaman

MINGGU, 01 AGUSTUS 2021 | 23:43 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

I

“Halo sobat BMKG, berikut disampaikan tayangan update prakiraan cuaca esok hari….” Sapaan seperti itu setiap pagi saya terima lewat WA, yang dikirim oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG), Dwikorita Karnawati.

Prakiraan (perkiraan) cuaca, dalam bahasa sehari-hari disebut ramalan cuaca. Para ahli mengatakan, cuaca adalah satu faktor alam yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.

Dengan ilmu dan teknologi, manusia berusaha memperkirakan keadaan cuaca; dengan ilmu dan teknologi memperkiraan keadaan atmosfer Bumi pada masa datang untuk suatu tempat tertentu.

Maka prakiraan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan rasional—bukan hitungan ngawur-ngawuran—tetapi perhitungan berdasarkan data yang tersedia kemudian dianalisis. Misalnya, prakiraan cuaca. Kondisi cuaca harian dipengaruhi oleh kondisi iklim regional maupun iklim global.

Kondisi cuaca sangat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satu sektor yang sangat bergantung pada kondisi cuaca adalah sektor transportasi. Cuaca buruk sangat mengganggu keamanan transportasi. Banyak kecelakaan kapal laut terjadi akibat ombak besar akibat hujan dan badai.

Ada yang pernah melakukan penelitian bahwa sekitar 12 persen dari kecelakaan pesawat disebabkan oleh kondisi cuaca. Maka itu, kerap kali pesawat batal terbang karena kondisi cuaca tidak mendukung atau berbahaya.

II


Para petani dan nelayan pun sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal untuk membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.

Nenek-moyang kita pun, dahulu pandai membaca “tanda-tanda alam”. Mereka memiliki “Ilmu Titen.” Ilmu ini berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.

Kata titen (bahasa Jawa, titi) berarti tanda. Tetapi, ada pula yang mengartikan sebagai “ngati-ati” atau berhati-hati. Dalam pandangan masyarakat Jawa, sikap kehati-hatian ini memiliki arti peringatan sekaligus nasihat untuk lebih peka terhadap apapun.

Dengan “Ilmu Titen” mereka mengamati, menganalisis, dan menyimpulkan suatu kejadian berdasarkan tanda-tanda tertentu yang menyertai. Sehingga manusia akan “niteni” atau menandainya sebagai satu kejadian yang akan terjadi.

Masyarakat zaman dulu mengamati setiap tanda-tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, musim. Maka kemudian disusun Pranata Mangsa, Ketentuan Musim.

Petani dapat memahami mangsa berdasarkan kejadian atau situasi alam yang dialami, yang terkait dengan usaha taninya. Para petani dan nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.

III


Telah lama manusia mampu membaca tanda-tanda alam. Menurut sejarah, sekitar tahun 650 SM bangsa Babilonia, sudah memiliki kemampuan untuk membuat prakiraan cuaca.

Bahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru pun ada tertulis, “Pada petang hari, karena langit merah, kamu berkata: hari akan cerah; dan pada pagi hari karena langit merah dan redup, kamu berkata: hari buruk….”

Tetapi, apakah manusia juga mampu membaca “Tanda-tanda Zaman?” (Meminjam istilah yang digunakan oleh Romo Dick Hartoko SJ—sudah almarhum—pengasuh Majalah Kebudayaan BASIS, untuk menamai rubriknya).

Dahulu, Raden Ngabehi Ranggawarsita lewat Serat Kalatida, mengungkapkan tanda-tanda zaman yang ditangkapnya. Ranggawarsita menulis amenangi zaman edan, mengalami hidup di zaman edan, karena dunia zaman itu dikuasai oleh nafsu ketamakan dalam berbagai bentuk.

Sebenarnya, zaman edan yang digambarkan Ranggawarsita itu, masih tetap berlangsung. Di tengah derita karena pandemi, masih saja ada orang yang mencari keuntungan diri.

Entah itu mengkorupsi dana bantuan sosial maupun dalam bentuk-bentuk lainnya. Tak peduli kepada sesama, tidak mau divaksin, menyebarkan kabar bohong tentang vaksin.

Kalangan antivaksin di Indonesia dikelilingi oleh teori konspirasi “elite global” dan berita palsu, bohong, sehingga banyak kalangan yang menganggap virus ini hanya permainan para konspirator dunia.

Beragam aktivitas dilakukan guna menyebarluaskan gerakan antivaksin tersebut, mulai dari pembuatan grup di Facebook, perang buzzer di Twitter, sampai feeds di Instagram, termasuk juga memalsukan surat hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

Tetapi, ada juga tanda-tanda zaman yang positif: ada banyak orang yang secara suka rela memberikan bantuan kepada orang lain yang menjadi korban pandemi Covid-19 dalam segala macam bentuk dan rupanya. Yang mempunyai banyak, memberikan banyak, yang memiliki sedikit memberikan sedikit, yang memiliki tenaga memberikan tenaga, termasuk juga memberikan perhatian, menyediakan tempat untuk isoman, dan lain sebagainya.

Memang tidak mudah menangkap tanda-tanda zaman. Meskipun tanda-tanda zaman dalam hidup kita senyatanya muncul setiap hari, di mana kita tinggal, di sekitar kita, di tengah masyarakat kita, tempat kita sekarang ini berjuang bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19.

Sebab, untuk mampu menangkap tanda-tanda zaman dibutuhkan kepekaan hati. Mereka yang memiliki kepekaan hati bisa melihat dan menjadikan krisis sebagai katalisator untuk perubahan besar, baik itu pribadi maupun struktural.

Maka harapannya, pandemi Covid-19 ini menjadi tanda bagi kita semua untuk mampu, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian yang merupakan tanda-tanda zaman negatif), di tengah penderitaan banyak orang, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik.

Dan, semoga pula pandemi ini merupakan tanda yang jelas bagi mereka yang selama ini lebih mementingkan kelompok dan golongannya, menjadi manusia yang memiliki sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya.

Dengan demikian, pandemi Covid-19 ini justru bisa menjadi pembangkit dan penggerak bangsa, dan penyemangat bangsa untuk memasuki hidup baru, zaman baru, yang diharapkan lebih baik dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, hubungan antaranak bangsa yang berbeda-beda, dan hubungan dengan alam.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Ukraina Lancarkan Serangan Drone di Beberapa Wilayah Rusia

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:03

Bonus Olimpiade Ditahan, Polisi Prancis Ancam Ganggu Prosesi Estafet Obor

Rabu, 01 Mei 2024 | 16:02

Antisipasi Main Judi Online, HP Prajurit Marinir Disidak Staf Intelijen

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:37

Ikut Aturan Pemerintah, Alibaba akan Dirikan Pusat Data di Vietnam

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:29

KI DKI Ajak Pekerja Manfaatkan Hak Akses Informasi Publik

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:27

Negara Pro Rakyat Harus Hapus Sistem Kontrak dan Outsourcing

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:17

Bandara Solo Berpeluang Kembali Berstatus Internasional

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:09

Polisi New York Terobos Barikade Mahasiswa Pro-Palestina di Universitas Columbia

Rabu, 01 Mei 2024 | 15:02

Taruna Lintas Instansi Ikuti Latsitardarnus 2024 dengan KRI BAC-593

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:55

Peta Koalisi Pilpres Diramalkan Tak Awet hingga Pilkada 2024

Rabu, 01 Mei 2024 | 14:50

Selengkapnya