Di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19, ternyata terbuka sejumlah peluang baru bagi para pelaku usaha. Khususnya mereka yang bergelut di bidang industri teknologi dan keuangan agar tetap bertahan dan berkembang di masa pandemi.
Salah satunya adalah industri komputasi awan atau cloud computing yang dinilai punya peluang besar untuk bertumbuh di tengah situasi sulit.
Menurut Direktur Utama PT Taspen, ANS Kosasih, Covid-19 telah memaksa orang bahkan generasi kolonial alias para orang tua dipaksa untuk melek digital.
Ditutukan Kosasih, waktu PT Taspen melakukan investasi teknologi sempat diprotes banyak pihak, karena konsumen PT Taspen mayoritas orang tua atau lanjut usia yang gagap teknologi alias gaptek.
"Tapi memang perubahan ini bukan karena CEO-nya hebat, tapi karena Covid-19. Covid-19 membuat kita harus berubah dan mempermudah mengalihkannya ke teknologi digital," jelas Kosasih dalam webinar bertajuk "Cloud System pada Industri Keuangan Nonbank Sebagai Upaya Digitalisasi dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional", Rabu (28/7).
"Tadinya ada begitu banyak keberatan dari para pensiunan, dari peserta kita. Sekarang mereka minta kalau bisa digital saja daripada kontak fisik, meski menyenangkan tapi akibatnya fatal," sambungnya.
Oleh sebab itu, pihaknya mengubah cara berbisnis dan proses klaim PT Taspen dengan teknologi untuk para konsumennya seperti aplikasi mobile PT Taspen.
"Kalau kita buka Taspen Mobile kita bikin autentifikasinya itu
facial dan
voice recognition. Jadi biar enggak salah terima, tidak terjadi penipuan, dan disalahgunakan kita pakai itu
facial recognition. Dan ini tidak bisa ditipu karena
facial recognition bentuknya bukan video tapi live dan mereka diminta melakukan gerakan sesuai instruksi dari aplikasi misalnya tersenyum, gerakkan mata. Kalau salah, uangnya tidak terkirim," paparnya.
Ditambahkan Kosasih, banyak pensiunan yang sebelumnya gaptek sekarang sudah mulai bisa lakukan transaksi berbasis teknologi. Kalau tidak bisa, mereka bisa minta ke anak atau cucunya.
"Apakah masih ada yang tidak bisa teknologi? Ada, tapi jumlahnya kurang dari 2 persen saja," tambah Kosasih.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur IT PT Adira Dinamika Multi Finance, Dodi Yuliarso menjelaskan, potensi pertumbuhan industri cloud computing memang sangatlah besar.
Terbukti perusahaan cloud computing global telah masuk dan memasarkan produknya di Indonesia. Sebut saja Alibaba Cloud, Google Cloud, Amazon dan Microsoft Azure.
"Indonesia sebetulnya potensi pertumbuhan cloud sangat tinggi, memang kita terbentur regulasi sehingga adopsinya masih belum tumbuh signifikan tapi akan tumbuh cepat. Cloud company-nya juga waktu itu belum banyak tapi sekarang sudah banyak. Ini akan menarik dua tahun ke depan," ucapnya.
Lebih lanjut, ia memberikan sedikit tips dalam memilih perusahaan cloud di masa pandemi saat ini. Pertama, pilih perusahaan yang aspek security-nya sudah teruji dan mumpuni. Kemudian, pilih perusahaan yang benar-benar memiliki jam terbang tinggi di industri cloud computing.
"Untuk memilih salah satu perusahaan cloud adalah dari aspek security, karena di masa pandemi ini
cyber crime semakin meningkat jadi kita harus sangat-sangat selektif memilih
company cloud tersebut. Plus perusahaannya harus benar-benar yang punya pengalaman, expert dan teknologi yang mumpuni," terang Dodi.
Industri komputasi awan perlahan namun pasti mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia kendati sedikit tertinggal.
Hal itu setidaknya terlihat dari hasil studi yang dikembangkan oleh Asia Cloud Computing Association (ACCA), di mana pada 2020 Indonesia berada di posisi 12 dari 14 negara Asia Pasifik yang masuk dalam penelitian terkait kesiapan pengembangan industri cloud computing di negaranya.
“ACCA punya indeks yang diberi nama Cloud Readiness Index (CRI), dan Indonesia pada tahun 2020 masih diberikan skor sebesar 55,0. Memang ada kenaikan disbanding skor pada tahun 2018 yang masih 47,0, namun yang perlu dicatat bahwa (skor) negara-negara lain juga berkembang, bahkan lebih cepat dari kita,†kata Direktur Pengaturan Bank Umum Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Eddy Manindo Harahap, belum lama ini.
Posisi pertama dalam indeks CRI ditempati Hong Kong dengan skor sebesar 81,9 lalu diikuti Singapura di peringkat kedua dengan skor 81,5 dan Selandia Baru di peringkat tiga dengan skor 77,1.
Sementara Indonesia berada di peringkat 12, tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia yang berada di peringkat 8 dengan skor 68,5; Thailand di peringkat 9 dengan skor 60,2; dan Filipina yang tepat berada di atas Indonesia dengan skor 55,3.
“Artinya meskipun ada peningkatan dari tahun 2018, adalah tugas kita semua, mulai dari regulator, pelaku usaha, industri pendukung, ekosistem cloud computing, semua pihak, untuk dapat bersama-sama bekerjasama mengembangkan industri ini ke depan,†tutur Eddy.
Ketertinggalan Indonesia dalam industri cloud computing setidaknya didapat dari dua poin utama yang masih menjadi kelemahan Indonesia. Pertama, kecepatan broadband di Indonesia yang masih berada di kisaran 16,7 mbps.
Sementara rata-rata kecepatan broadband di 14 negara Asia Pasifik yang masuk dalam penelitian ACCA mencapai 82,4 mbps.
“Selain itu kelemahan kita adalah dari segi regulasi yang dinilai oleh ACCA masih tidak mendukung karena ada banyak kasus regulasi kita yang masih saling tumpang tindih,†tutup Eddy.