Joko Widodo dan Prabowo Subianto/Net
Gelagat politik Joko Widodo menjelang Pilpres 2024 kentara berlainan dengan pimpinan partai yang menjadi pengusung utamanya menjadi presiden, yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Sosok Megawati memang menjadi penentu dalam mengusung calon presiden (capres) di 2024 nanti. Namun sayangnya, belakangan hari muncul dinamika di internal partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Para kader seolah terpecah, setelah nama Ganjar Pranowo melejit di sejumlah lembaga survei. Ada pihak yang keberatan dengan hasil survei tersebut, dan malah memunculkan nama Puan Maharani sebagai capres potensial dari PDIP karena memiliki trah Ir. Soekarno, Presiden RI pertama dan seorang proklamator.
Namun dipastikan, hingga saat ini belum ada keputusan mengenai siapa sosok yang pantas menjadi capres dari PDIP. Karena Megawati belum bicara nama-nama yang akan dimajukan.
Akan tetapi, perbedaan sikap sempat ditunjukkan Jokowi saat Megawati mendapat jabatan Guru Besar Tidak Tetap dari Universitas Pertahanan (Unhan) pada 11 Juli lalu.
Salah satu momen terpenting Ketum PDIP tersebut justru tidak dihadiri Jokowi yang merupakan seorang Presiden RI yang juga kader partai banteng. Alih-alih, Jokowi justru meninjau gelaran vaksinasi massal dengan Ganjar Pranowo, selaku Gubernur Jawa Tengah, di Semarang.
Di samping itu, muncul beragam spekulasi mengenai skenario Pilpres 2024 yang akan dibangun PDIP bersama dengan Partai Gerindra.
Di mana, ada yang menduga-duga koalisi dua partai itu akan menyandingkan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, untuk maju sebagai pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, ada skenario lain yang masih terbuka bagi PDIP dan Gerindra untuk bisa kembali mengusung Jokowi.
Dengan berpatokan pada bunyi Pasal 7 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Ray Rangkuti melihat adanya peluang bagi Jokowi untuk menjadi Cawapres.
Pasal 7 UUD 1945 tersebut berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan".
Ray Rangkuti menilai, Pasal 7 UUD 1945 tersebut hanya menegaskan adanya larangan bagi seseorang yang sudah menduduki jabatan yang sama selama dua kali untuk mencalonkan diri untuk ketiga kalinya dalam jabatan yang sama.
"Jangan-jangan Prabowo dipasangkan dengan Pak Jokowi sebagai Wapres. Karena di konstitusi tidak dilarang," ujar Ray Rangkuti saat menjadi narasumber dalam diskusi series Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk 'PDIP dan 25 Tahun Tragedi Kudatuli' yang diselenggarakan
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (29/7).
Namun begitu, Pengamat Politik jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini meyakini bahwa PDIP tidak akan ikut koalisi jika Prabowo berduet dengan Jokowi di Pilpres 2024.
Pasalnya ia melihat PDIP hanya membuat skenario Pilpres 2024 untuk Puan Maharani.
"Tetapi PDIP enggak akan ikut selain (mencalonkan) Puan Maharani, PDIP enggak akan ikut," tandas Ray Rangkuti.