I
“Om, kami serumah positif. Kena..†Begitu keponakan saya memberi kabar lewat WA. Belum sempat saya jawab, ia sudah mengirimkan informasi lanjutan: “Istri dan dua krucilku, juga kedua orangtua, serta mbak.â€
Saya bayangkan, dua bocah laki-laki lucu-lucu yang usianya belum genap lima tahun. Yang satu baru empat tahun, satunya dua tahun, tergolek tak berdaya.
Berita itu saya terima suatu malam beberapa hari lalu. Sebelumnya, seorang kawan mem-posting di WA Grup, mengabarkan bahwa tiga teman terkena Covid-19 dan memohon doa. Sebelumnya lagi, di WA Grup yang lain, teman yang berbeda mengabarkan berita yang sama bahwa ada kawan yang mohon bantuan doa agar segera sembuh dari Covid-19. Sebelumnya lagi, berita yang sama berebut masuk ke telepon.
Lalu, adik di desa memberi tahu, tetangga depan rumah—seluruhnya, 13 orang—positif. Semalam, istri mengatakan bahwa di kompleks kami tinggal ada sejumlah warga yang positif. Dua hari lalu, seorang kerabat dekat di Surabaya, seorang dokter ahli jantung, juga meninggal karena Covid-19.
Hari berikutnya, seorang warga kompleks tempat kami tinggal, meninggal karena kecelakaan tunggal di jalan tol saat bersama istrinya mencari oksigen. Suami istri ini, juga terkena Covid-19.
Setiap saat, telepon tang-tung-tang-tung memberi tanda adanya kabar yang masuk. Dan, kabar yang disampaikan tak jauh-jauh dari Covid-19: entah itu ada kawan yang positif, entah ada kawan yang mengabarkan kawannya membutuhkan donor plasma konvalesen, entah memberi tahu obat yang mujarab, entah menginformasikan perlunya memakai masker rangkap, entah mengeluhkan sulit mencari oksigen,sulitnya mencari rumah sakit, entah mengirim gambar antrean orang yang mau vaksin.
Dan, kabar tentang meninggalnya seorang kawan. Begitulah.
Sudah begitu banyak tenaga kesehatan meninggal. Menurut data yang dihimpun Persatuan Rumah Sakit Indonesia dan sejumlah asosiasi profesi kesehatan mencatat, hingga 28 Juni 2021 ada 1.031 tenaga kesehatan yang telah meninggal karena Covid-19.
Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr M Adib Khumaidi SpOT, hingga akhir Juni lalu, total dokter yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 401 orang. Dan, hingga hari Sabtu (10/7), tercatat 2.491.006 orang positif, 65.457 orang meninggal dan, 2.052.109 sehat kembali.
Virus korona menyerang 220 negara di seluruh dunia dan 186.945.989 orang menjadi korban; 4.037.437 orang meninggal dunia, 170.984.178 orang dinyatakan sembuh. (worldmeters).
IIHanya saja, mengapa masih saja ada orang yang tidak peduli pada keadaan negeri ini. Mengapa masih ada orang yang tidak mau menaati protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Mengapa masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa virus korona itu ada? Mengapa masih ada saja orang yang menggunakan dalil-dalil agama untuk mencari pembenaran diri dan menganggap sepi aturan pemerintah? Mengapa masih saja ada orang yang menebar ketakutan, kebohongan ke tengah masyarakat terkait dengan Covid-19?
Mengapa masih saja ada orang yang mencari popularitas di tengah pandemi ini? Mengapa masih banyak pula yang mencari keuntungan dari penderitaan orang lain? Mengapa ada yang menjadikan kecemasa publik sebagai komoditas politik?
Mengapa ada pula elite politik yang lebih suka mencari-cari kesalahan pemerintah ketimbang ikut menyingsingkan lengan baju untuk bersama-sama menyelamatkan negeri?
Mencari kesalahan pihak lain, memang paling mudah. Apalagi di “zaman yang tidak normal†ini. Orang cenderung tidak melihat balok di matanya sendiri, tetapi lebih melihat selumbar di mata orang lain.
Bukankah semestinya dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini orang semakin menyadari kerapuhannya. Tidak ada seorang pun, baik itu dokter, perawat, tenaga kesehatan yang lain, karyawan pabrik, karyawan supermarket, penyedia dan pengelola transportasi, pejabat, elite partai politik, para penegak hukum, wartawan, petugas kebersihan, sukarelawan maupun para tokoh, pemimpin agama, dan siapa pun juga, bisa mencapai keselamatan sendiri.
Kita semua bagaikan berada di perahu yang sama, yang rapuh, yang kehilangan arah, dan yang sedang diterpa ombak serta badai. Karena itu, semua penumpang dipanggil untuk bersama-sama mendayung, membuang keluar air yang masuk ke perahu, dan mengarahkan arah perahu ke tujuan yang benar. Solidaritas bersama akan menyelamatkan tidak hanya perahu, tetapi juga para penumpangnya.
Solidaritas adalah kebenaran moral dan tindakan sosial yang semakin dibutuhkan dewasa ini. Mereka yang memiliki jiwa solidaritas, menyisihkan segala macam perbedaan: entah itu perbedaan agama, etnis, suku, warna kulit, politik maupun ideologi.
Sebab, solidaritas adalah tindakan profetis di tengah tanda-tanda zaman semakin marak, tumbuh dan tersebarnya kepentingan dan cinta diri dalam diri umat manusia.
Lahirnya solidaritas adalah pertanda ditegakannya kasih, kepedulian, compassion, bela rasa terhadap sesama. Orang yang memiliki sikap solider, berarti tidak mengingkari realita derita sesama yang ada di sekitarnya. Sebab, solidaritas itu mengajarkan untuk tidak mengabaikan orang lain, untuk memedulikan, untuk memperhatikan orang lain, siapa pun mereka.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki dalam dirinya sifat dan sikap solider terhadap orang lain, berarti orang itu sudah kehilangan rasa tanggung jawab dalam dirinya; tidak ada lagi kasih, peduli pada sesama. Orang seperti itu sudah kehilangan hati.
IIIWalau ada orang yang kehilangan hati dan lebih memikirkan diri sendiri, namun tetap saja masih banyak orang di masa sulit ini yang rela untuk berbagi dan melayani.
“Dalam kekurangan, kami membantu warga di erte kami yang menderita covid,†kata adik di desa, seorang pensiunan guru.
Cerita serupa juga, tumbuhnya rasa persaudaraan senasib sepenanggungan, dikisahkan oleh sejumlah kawan dari pelbagai pelosok negeri ini. Di Surabaya yang memberikan makan secara gratis kepada siapa saja, sehari dua kali, pun pula dikirim secara gratis. Misalnya.
Di Semarang juga ada. Di kompleks kami pun, para ibu secara bergiliran mengirimkan makanan bagi warga yang menderita Covid-19.
Apa yang mereka lakukan barangkali sederhana. Tetapi, yang kelihatan sederhana itu, telah memberi isi dan makna hidupnya. Sebab, kata orang Jawa,
urip iki mung mampir ngombe,, karena itu musti diberi isi dan makna, sehingga pancaran hidupnya penuh sifat ilahi. Realitas hidup manusia memang realitas hidup bersama dengan yang lain.
Maka, hidup manusia senantiasa ada dalam suatu kenyataan relasional, terbuka pada sesama, saling menolong sesama penumpang perahu yang sama. Manusia yang rendah hati memerlukan orang lain. Manusia yang rendah hati menyadari kerapuhannya. Karena kerapuhannya, manusia tak mampu berdiri sendiri.
Dalam kerapuhan itu, teringat saya akan doa yang dikirimkan sahabat saya, Bung Paul. Sepotong doa yang sangat mewakili gejolak hati saat ini: “
De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!†Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan! Tuhan, dengarlah suaraku! Kapan pandemi berakhir…