Berita

Mayjen TNI (Purn) Prijanto/Net

Publika

Boleh Kaget Tapi Jangan Masa Bodoh (5): Memimpikan Amandemen Ke-5

SELASA, 06 JULI 2021 | 08:12 WIB | OLEH: PRIJANTO

PADA 7 Januari 2021, Ultah ke-3 Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), diadakan curah pendapat antara beberapa tokoh intelektual. Seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddieqie, Prof. Dr. Zaenal, Prof. Dr. Budihardjo, Dr. Ubedilah Badrun, dengan Purnawirawan TNI-Polri yakni Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo, Laksamana TNI (Purn) Selamet Subiyanto, Marsekal Muda TNI (Purn) Amirullah Amin, dan Irjen (Purn) Taufiequrachman Ruky.

Dari organisasi, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (Ketua Persatuan Purnawirawan TNI-AD), Mayjen TNI (Purn) Soekarno (Sekjen Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri).

Sedangkan dari GKI, saya bersama beberapa teman aktivis pejuang antara lain Hariman Siregar, B. Wiwoho, Bakri Abdulah, Ibnu Tadji, dr. Zulkifli S. Ekomei, Edwin Sukowati, dan Nur Ridwan.

Penulis membuka acara, mengajak, dan mengingatkan bahwa perjuangan kita dulu dipelopori kaum intelektual, Budi Utomo. Dalam situasi seperti saat ini, diharapkan kaum intelektual tampil kembali memeloporinya. Tidak ada komentar dan yang membantahnya.

Satu yang pasti, semua menyampaikan pendapat dan solusi bagaimana agar Indonesia tetap bersatu untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.

Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, membagikan buku “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945”, hasil Forum Bersama Purnawirawan TNI-Polri dan Organisasi Mitra Seperjuangan. Dikatakannya, hasil amandemen UUD 1945 telah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, sehingga perlu diadakan Kaji Ulang terhadap hasil amandemen.

Ujung-ujungnya, konstitusi kita harus UUD 1945 asli disertai adendum. Pemikiran ini sama dengan yang disampaikan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Ketua PPAD.

Di samping itu, ada info-info menarik yakni seputar pembicaraan   antarelite politik dengan beberapa pakar atau tokoh intelektual di MPR. Wacana pokoknya, mencermati kehidupan bernegara saat ini, munculah wacana untuk melakukan amandemen ke-5 terhadap konstitusi kita.

Rangkuman info pembicaraan antara lain, ada kelompok yang ingin mengembalikan kedudukan dan peran MPR. Ada yang ingin jabatan Presiden tiga periode. Ada pula yang ingin kembali ke UUD 1945 asli untuk disempurnakan dengan adendum. Namun, ada kelompok yang berpendapat lebih baik MPR membuat GBHN saja, sedang keinginan yang lain tunda dulu.

Wacana amandemen ke-5 untuk membuat GBHN lebih menguat. Bagi kelompok lain, konon bersedia menerima dengan harapan, langkah amandemen ke-5 membuat GBHN bisa sebagai tahapan membangun kesadaran semua pihak dan batu loncatan, untuk melakukan perubahan konstitusi.

Dengan adanya MPR membuat GBHN, berarti niat untuk dikembalikannya kedudukan, peran, fungsi dan tugas MPR ibaratnya tinggal selangkah lagi.

Penulis berpendapat, GBHN memang diperlukan. Tetapi persoalan bangsa Indonesia saat ini bukan karena tidak punya GBHN. Persoalan utamanya adalah retaknya Persatuan Indonesia, yang nyaris terbelah.

Untuk apa ada GBHN tetapi kehidupan sosial budaya rusak, konflik sosial sepanjang tahun di semua strata kehidupan sehingga persatuan retak akibat adanya Pilpres dan Pilkada langsung? Disintegrasi bangsa di ujung tanduk.

Baca: https://kronologi.id/2021/02/11/obrolan-punakawan-6-mengapa-hanya-gbhn- seharusnya/

Pada acara tersebut, Irjen Taufiequrachman Ruky mantan Ketua KPK,  menyampaikan pemikirannya, menyambung pemikiran Dr. Ubedilah Badrun. Dr. Badrun menguraikan situasi negara dengan judul “Senjakala Persatuan Indonesia” karena adanya Sistem Politik yang tidak efektif. Akibatnya, terjadi performa buruk antara lain korupsi, ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum.

Taufiequrachman Ruky sependapat dengan Dr. Badrun bahwa Persatuan Indonesia dalam ‘Senjakala’, yang merupakan ‘outcome’ dari proses politik dan sewaktu-waktu bisa pecah. Undang Undang dan Undang Undang Dasar kita saat ini tidak mungkin bisa memperbaikinya. Untuk itu Taifiequrachman Ruky mengusulkan perlunya amandemen ke-5 terhadap konstitusi.

Amandemen ke-5 yang diusulkan hanya berisi dua pasal saja. Pertama, membatalkan amandemen ke-1, 2, 3, dan amandemen ke-4. Walau tidak secara eksplisit, berarti hukum dasar tertulis kita kembali UUD 1945 (asli). Kedua, memperbaiki sistem Ketatanegaraan, sistem Pemilu, sistem Hukum, sistem Hubungan Antar Lembaga, dll, kata Taufieq Ruky.

Memasuki tahun 2021, gaung amandemen ke-5 MPR menyusun GBHN meredup. Patut diduga, dan konon, ada elite dan tokoh politik atau kekuatan tertentu yang tidak setuju adanya GBHN. Tampaknya ada ketersinggungan di seputar elite politik atas wacana ini.

Bisa jadi demikian, karena ada kelompok yang  patut diduga, lebih suka dan menikmati jika sistem pembangunan Indonesia dari visi dan misi Presiden terpilih.

Pada pertengahan tahun 2021, tiba-tiba masyarakat dikejutkan kembali berita Amandemen ke-5 untuk masa jabatan Presiden 3 periode. Betapa tidak terkejut, karena pemberitaannya santer. Bahkan lembaga survei pun sudah ada yang ikut campur ‘mengolahnya’.

Orang mencari-cari, ini pesanan siapa? Berbagai komentar pro dan kontra pun mencuat. Anehnya, suara-suara yang muncul ada yang serius, dan ada yang malu-malu kucing. Satu hal yang pasti, ada ketidakkonsistenan kita terhadap amanah konstitusi.

Melihat pemberitaan di media, wacana Amandemen ke-5 tentang jabatan presiden 3 periode memang semrawut, tidak mendengar adanya kajian dan secuil alasan yang objektif dan logis. Semua asal ucap, penuh teka-teki. Untungnya, yah sekali lagi untungnya, Presiden Jokowi dalam pemberitaan di media, terkait jabatan Presiden 3 periode beliau menyatakan tidak tertarik.

Suatu pernyataan bagus, walau tanpa alasan akademisnya. Ketidaktertarikan beliau, tampaknya sejalan dengan hasil jajak pendapat yang disajikan di medsos, bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak menghendaki mimpi tersebut.

Memimpikan amandemen ke-5 belum ada larangan. Mimpi adalah kembangnya tidur sore. Silakan memimpikan amandemen ke-5, apa saja judulnya, sebelum dilarang.

Cuma, apakah amandemen ke-5 yang akan dilakukan MPR saat ini memiliki landasan hukum? Bab XVI Pasal 37 konstitusi kita sebagai landasan hukumnya? Bila saya bilang penggunaan Bab XVI Pasal 37 tidaklah objektif dan logis, pembaca tentu terkejut dan mengatakan saya gila.

Namun, hal ini akan kita kupas bersama pada artikel selanjutanya. Selamat memimpikan amandemen ke-5.

Mayjen TNI (Purn) Prijanto

Wakil Gubernur DKI Jakarta, 2007-2012

Populer

Pesawat Nepal Jatuh, Hanya Satu Orang yang Selamat

Rabu, 24 Juli 2024 | 15:16

Walikota Semarang dan 3 Lainnya Dikabarkan Berstatus Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:43

KPK Juga Tetapkan Suami Walikota Semarang dan Ketua Gapensi Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 16:57

Walikota Semarang dan Suami Terlibat 3 Kasus Korupsi

Rabu, 17 Juli 2024 | 17:47

KPK Bakal Audit Semua Rumah Sakit Telusuri Dugaan Fraud BPJS Kesehatan

Rabu, 24 Juli 2024 | 18:51

Kantor Rahim di Depok Ternyata Rumah Tinggal, Begini Kondisinya

Rabu, 17 Juli 2024 | 11:05

Duet Airin-Rano Karno Tak Terbendung di Pilkada Banten

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:23

UPDATE

Sabotase Kereta Cepat Jelang Pembukaan Olimpiade Paris, PM Prancis: Ini Dilakukan Terencana

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:47

Banyak Hadiah Menarik Pertamina di Booth dalam Event GIIAS 2024

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:37

Kabar Deklarasi Anies-Zaki, Golkar: Hoax!

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:15

Ekonomi Lesu, Laba Industri China Justru Naik 3,6 Persen

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:07

Putri Suku Oburauw Catar Akpol: Saya Busur Panah untuk Adik-adik

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:58

Kuasa Hukum Dini: Hakim Persidangan Greg Tannur Berat Sebelah

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:35

Dimyati Masih Ngarep Golkar dan PDIP Gabung

Sabtu, 27 Juli 2024 | 16:10

Menyusul TNI, Polri Rotasi 6 Kapolda Jelang Pilkada

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:32

Masih Cair, Peluang Jusuf Hamka di Pilkada Jakarta Masih Terbuka

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:31

4 Pangdam Dirotasi Jelang Pilkada, Ajudan Jokowi jadi Pangdam Brawijaya

Sabtu, 27 Juli 2024 | 15:13

Selengkapnya