Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf/Net
Pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo soal tingkat keterisian tempat tidur pasien Covid-19 di rumah sakit dinilai tak seperti yang dirasakan tenaga medis dan masyarakat.
Penilaian tersebut disampaikan Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, ketika mendengar pengakuan Presiden yang gemetar melihat bed occupancy rate (BoR) RS Khusus Covid-19 mencapai 90 persen terisi.
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini memandang sikap Jokowi tersebut terlambat. Karena menurutnya, kini kondisi RS sudah kolaps, dan pemerintah tidak bisa mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 akibat virus varian Delta dari India.
"Presiden baru gemeter hari ini. Rakyat, tenaga kesehatan, sudah 'mencret' dari kapan tahu hadapi Covid-19," ujar Gde Siriana kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (30/6).
Selain itu, Gde Siriana juga mengomentari langkah intervensi penanganan Covid-19 yang bakal diterapkan pemerintah, dan baru saja diumumkan Jokowi dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ke VIII Indonesia, di Kendari, Sulawesi Tenggara, sore tadi.
Jokowi menyampaikan, pemerintah bakal menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali.
Gde Siriana memandang, pemerintah cuma bermain istilah dalam penanganan Covid-19, bukan justru mengedepankan substansi dari pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat. Sehingga, langkah intervensi yang muncul dan silih berganti, ia anggap sebagai "Lip Service".
"Ada PSBB, PSBB Total, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat. Silakan kalian bermain-main dengan istilah, karena itulah keahlian kalian. Tapi tolong jelaskan, di istilah mana yang kalian jamin RS tidak kolaps?" tandasnya.