Berita

Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat melakukan pertemuan setelah gelaran pemilihan presiden 2019 silam/Net

Politik

Fear Scenario, Menjual Ketakutan Demi Muluskan Jokowi-Prabowo Sudah Tak Relevan

JUMAT, 25 JUNI 2021 | 21:40 WIB | LAPORAN: DIKI TRIANTO

Ide untuk menduetkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 adalah bentuk 'fear scenario' atau upaya menjual ketakutan dengan embel-embel isu pembelahan.

Demikian disampaikan Gurubesar Ekonomi IPB, Prof Didin S Damanhuri menyikapi isu yang kembali dipanaskan oleh penggagas relawan Jokowi-Prabowo, Muhammad Qodari belum lama ini.

Menurutnya, isu pembelahan yang menjadi tameng Qodari sejatinya tidak hanya terjadi baru-baru ini, namun sudah ada dalam politik Indonesia sejak tahun 1955, antara kelompok agamis dan nasionalis.

"Namun kategorisasi antara santri dan abangan yang lama diembuskan ternyata sudah hampir tidak relevan karena yang terjadi saat ini, partai nasionalis mendekati agamis, dan partai-partai agamis juga mendekati nasionalis,” kata Prof Didin S Damanhuri dalam webinar Narasi Institute, Jumat (25/6).

Merujuk hal itu, ia pun menyarankan agar ide fear scenario tak diteruskan. Sebab berdasarkan pengalaman, saat penguasa hendak memperpanjang kekuasaan melebihi aturan hasilnya tak akan baik.

“Akan ada agenda terburuk yang menimpa pemerintahan demokratis bila ingin memperpanjang kekuasaannya melebihi ketentutan, seperti saat Soekarno menjadi presiden seumur hidup dan saat Soeharto dibujuk untuk terus melanjutkan sampai 32 tahun,” lanjutnya.

Baginya, cara untuk mengakhiri pembelahan bukan dengan memasangkan Jokowi-Prabowo seperti usulan M Qodari, melainkan dengan mengurai eksistensi oligarki pengisap rakyat yang saat ini menguat.

“Kita harus akhiri pembelahan karena eksistensi oligarki, tidak ada yang happy baik parpol pendukung pemerintah maupun oposisi. Semua seharusnya bersatu melawan oligarki, itu cara tepat mengakhiri pembelahan” demikian Didin S Damanhuri.

Selain itu, alasan perpanjang tiga periode juga tidak tepat karena melawan agenda reformasi. Reformasi telah mengakhiri kecelakaan sejarah, dimana presiden dijatuhkan karena tidak adanya pembatasan periode.

Populer

Gempa Megathrust Bisa Bikin Jakarta Lumpuh, Begini Penjelasan BMKG

Jumat, 22 Maret 2024 | 06:27

Pj Gubernur Jawa Barat Dukung KKL II Pemuda Katolik

Kamis, 21 Maret 2024 | 08:22

KPK Diminta Segera Tangkap Direktur Eksekutif LPEI

Jumat, 22 Maret 2024 | 15:59

KPK Lelang 22 iPhone dan Samsung, Harga Mulai Rp575 Ribu

Senin, 25 Maret 2024 | 16:46

Connie Bakrie Resmi Dipolisikan

Sabtu, 23 Maret 2024 | 03:11

Bawaslu Bakal Ungkap Dugaan Pengerahan Bansos Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Rabu, 27 Maret 2024 | 18:34

Paspampres Buka Suara soal Marhan Harahap Meninggal saat akan Salat Jumat

Rabu, 20 Maret 2024 | 10:50

UPDATE

Penjualan Melorot, Laba Bersih AMMN Nyungsep 79,9 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:55

Korban Tewas Akibat Serangan Moskow Meningkat Hingga 143 Orang

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:39

Genjot Jumlah Wisman, Kemenparekraf Dorong Pengembangan Desa-desa Wisata

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:19

Pengamat: Prabowo Tidak Perlu Didesak Mundur

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:11

Rusia Ragu ISIS Pelaku Serangan Moskow, Kembali Sudutkan Ukraina

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:05

Golkar Terancam Jadi Partai Keluarga Bila Dipimpin Jokowi

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:00

Astronom Kerajaan Inggris Sarankan Pengiriman Robot ke Ruang Angkasa

Kamis, 28 Maret 2024 | 10:57

Rapat Paripurna ke-14, 272 Anggota DPR Bolos

Kamis, 28 Maret 2024 | 10:38

Genjot Wisman Jepang, Kemenparekraf Gandeng Garuda Indonesia

Kamis, 28 Maret 2024 | 10:35

Kepala Intelijen Rusia Lakukan Kunjungan ke Korea Utara

Kamis, 28 Maret 2024 | 10:29

Selengkapnya