Berita

Ekonom senior, Prof. Didik J. Rachbini/Net

Politik

Warisan Utang Jokowi Kepada Presiden Berikutnya Bisa Lebih Rp 10 Ribu Triliun

APBN Berpotensi Memicu Krisis
KAMIS, 24 JUNI 2021 | 15:43 WIB | LAPORAN: RAIZA ANDINI

Ekonom senior, Prof. Didik J. Rachbini mengaku setuju dengan kehawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa Indonesia tidak akan mampu membayar utang yang kian menggunung.

Kemudian, ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini meminta kepada pemerintah agar tidak memberangus yang kritis, termsuk kepada BPK.

"Saya setuju BPK mengingatkan pemerintah karena tugasnya memang harus begitu. Jangan kemudian kritis malah dinafikan atau bahkan yang kritis diberangus, yang kritis seperti yang dilakukan sekarang terhadap aktivis," kata Didik kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (24/6).


Dia juga memberikan koreksi sedikit kepada BPK bahwa utang yang menjadi tanggung jawab pemerintah bukan hanya di APBN yang nilainya Rp 6.527 triliun, namun juga utang BUMN senilai Rp 2.143 triliun.

"Utang BUMN keuangan sebesar Rp 1.053,18 triliun dan BUMN non-keuangan sebesar Rp 1.089,96 triliun. Jadi total utang pemerintah pada masa Presiden Jokowi sekarang sebesar Rp 8.670 triliun," tegas Didik.

Rektor Universitas Paramadina itu menambahkan, di sisi lain saat ini BUMN juga diminta dan dibebani tugas untuk membangun infrastruktur dalam proyek pembangunan nasional.

"Kalau gagal bayar atau bangkrut harus ditanggung APBN, sehingga menjadi bagian dari utang pemerintah. Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih Rp 10 ribu triliun," ujar Didik mengingatkan.

Adapun konsekuensi yang didapat Indonesia dari tumpukan utang luar negeri ini, Didik mengatakan APBN akan terkena beban berat lantaran harus membayar utang yang sangat besar.

"APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi," katanya.

"Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena penanangan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis," ucap Didik melanjutkan.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya