I
AKU wong cilik. Begitu orang menyebutku. Dulu Bung Karno menyebutku sebagai “marhaen". Ya, marhaen.
Yang aku tahu, marhaen adalah seorang petani yang ditemui Bung Karno di selatan Kota Bandung pada tahun 1920-an. Si petani itu memiliki asset produksi, yakni sebidang tanah kecil dan cangkul. Hanya itu! Itu sama denganku.
Istilah marhaen itu pertama kali dikemukakan Bung Karno pada pidato pembelaannya berjudul 'Indonesia Menggugat' di Pengadilan Kolonial di Bandung tahun 1930. Yang disebut marhaen oleh Bung Karno adalah semua golongan kromo (kecil), baik petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, dan sebagainya.
Kaum marhaen, ketika itu, dimelaratkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme. Mereka itu—imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme—telah mematikan perdagangan, pelayaran, dan pertukangan di nusantara bagi kepentingan penjajah.
Di zaman sekarang ini, wong cilik hanya dianggap sebagai “manusia†ketika ada pilihan lurah, pilkada, dan pemilu. Setelah hajatan selesai, kembali dilupakan. Aku hanya disapa pada saat menjelang pesta. Setelah pesta berlalu, aku dibiarkan saja. Orang bilang, habis manis sepah dibuang.
Begitukah nasib wong cilik? Wong cilik selalu menjadi korban politik, perpolitikan segala macam tingkat. Bahkan, aku disapa oleh pejabat saja ditafsir secara politik. Aku diberi santunan pun dianalisis secara politik.
IIPadahal, aku sebenarnya sangat mencintai politik. Tetapi bagiku, politik itu bukan sekadar pertarungan memperebutkan kekuasaan, memperebutkan rezeki yang muncul dari kekuasaan.
Bagiku, politik juga bukan sekadar menyingkirkan pihak lain yang dianggap bukan “kelompoknyaâ€, “golongannyaâ€, “lebih populerâ€, atau bukan “kita†tapi “merekaâ€.
Aku mencintai politik yang adiluhung. Yakni, politik yang memperjuangkan kesejahteraan umum. Politik yang memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bersama; bukan kesejahteraan sendiri, bukan pula hanya kesejahteraan kelompok atau golongan atau partai. Bukan!
Tentu, untuk memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan bersama itu diperlukan kecerdikan memahami arti kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu sekaligus mempesona dan menggetarkan. Bila tidak cerdik dalam memahami arti kekuasaan maka orang akan mudah tergelincir.
Sebab, ketika orang menginginkan kekuasaan, sifat alamiah manusia—ganas, jahat—akan muncul. Kekuasaan memang dapat membuat tertutupnya mata dan hati manusia. Demi kekuasaan, apa pun dilakukan. Sifat dasar manusia yang jahat pun menjadi lebih dominan. Apalagi kalau kegagalan yang dialami di ujung jalan pengejaran kekuasaan, maka manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lain.
Memang, manusia bisa bijaksana, maka disebut
homo sapiens; juga bisa sangat soleh dan beriman maka ada istilah
homo religious; filosof Perancis Gabriel Marcel (1889-1973) menyebut manusia sebagai
homo viator, manusia peziarah; John Huizinga (1872-1945) sejarawan dari Belanda berpendapat “manusia adalah mahkluk yang bermainâ€,
homo ludens. Dan, katanya,
homo ludens adalah sumber peradaban manusia.
Kata orang bijak, dengan bekerja, manusia semakin menjadi dirinya. Maka ada istilah
homo faber, manusia makhluk yang bekerja. Ada pula
homo economicus, manusia ekonomi menurut Adam Smith (1723-1790), karena manusia jauh lebih berminat akan apa saja yang secara langsung menyangkut dirinya, kepentingan dan kebutuhannya sendiri.
Namun, ada pula manusia yang karena punya kuasa, punya kekayaan, punya kelebihan—pandai, misalnya—lantas menjadi
homo arrogans atau
homo tumidus atau
homo superbus, atau
homo vanus, yakni arogan, congkak, sombong, dan penuh kesombongan.
Maka itu lantas muncul
homo animal, homo homini lupus, manusia serigala bagi sesamanya, bahkan
homo brutalis manusia sedemikian keji terhadap sesama. Padahal semestinya,
homini humilis animalis, manusia binatang yang rendah hati.
Karena itu menjadi
homo sperans, manusia penuh harapan, sangat penting dan semestinyalah manusia menjadi keselamatan bagi sesamanya,
homo homini salus.
IIIBegitulah manusia, kata orang-orang pinter. Tetapi, dalam hal praktik pengejaran kekuasaan, ceritanya lain lagi.
Dalam kisah pewayangan ada banyak contoh. Misalnya, kisah Rahwana, Raja Alengkadiraja, dalam kisah epik Ramayana. Kekuasaan dan kedigdayaan raja bermuka sepuluh itu digunakan untuk ambisi pribadinya, untuk memuaskan hawa nafsunya; nafsu kekuasaan, nafsu kenikmatan raganya.
Di tangan Rahwana, kedigdayaan dan kekuasaan tidak mendatangkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian bagi pihak lain, bagi wong-wong cilik.
Tetapi, sebaliknya, menjadi sesuatu yang membahayakan bagi orang lain, pihak lain. Bahkan, mematikan. Karena ia biasa menggunakan segala macam cara—kalau perlu dengan teror dan intrik—guna memenuhi ambisi kekuasaannya.
Pada saat itulah, kekuasaan kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan dalam kekuasaan, tidak ada lagi. Tidak ada lagi belas kasih, belarasa, saling hormat-menghormati, saling menghargai. Yang diutamakan adalah kepentingan diri!
Syahwat kekuasaan seperti itu telah mengubah demokrasi, yang sebenarnya didasari pada penghargaan terhadap keunikan setiap orang dan komunitas, menjadi sekadar fungsi legalisasi semangat menang sendiri dengan cara-cara tidak sehat. Naluri Machiavellian dihidup-hidupi.
Nafsu kekuasaan seperti itu sebagai pertanda datangnya kiamat kecil. Yakni, ketika kekuatan jahat berkuasa; ketika anak-anak kegelapan menancapkan kuku kekuasaannya. Padahal, dalam permenunganku sebagai wong cilik—boleh kan merenung?—yang cupet pikiran ini, kekuasaan itu bukan sesuatu yang pada dirinya busuk, yang kotor. Kekuasaan hanya alat. Sekali lagi: kekuasaan hanya alat!
Alat itu akan berfaedah atau tidak berfaedah, sangat tergantung pada yang menggunakan alat itu. Apakah alat itu akan menghancurkan atau membangun, sekali lagi tergantung siapa pengguna alat itu.
Bila kinerja kekuasaan tidak lagi dimaksudkan untuk terciptanya kesejahteraan bersama, maka saat itulah politik menjadi kotor. Busuk!
Pada saat itu, politik laksana rimba belantara, alas
gung liwang-liwung, yang hanya memberi kehidupan pada yang kuat; yang kuatlah yang akan menang. Di saat itulah, tujuan mulia, suci politik—mewujudkan kesejahteraan bersama—tidak terwujud.
Ah, ini hanya “renungan kecil†wong cilik…yang merasakan bahwa sekarang ini semua masalah adalah masalah politik,
homo politicus…politik telah menjadi suprastruktur kehidupan.