Berita

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati/Ist

Publika

Minta Dibimbing IMF & World Bank, Sri Mulyani Mengaktualisasikan Kolonialisme...

SELASA, 20 APRIL 2021 | 00:36 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

DPR sejak bernama Volksraad merupakan lembaga kartu mati.

Tak memperluas hak bumiputera di dalamnya. Makanya sejak 1925 ditinggalkan.

Haji Agus Salim menyebutnya:
Komedi Omong.

Komedi Omong.

Sikap DPR yang tidak merespons pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang minta dibimbing oleh IMF & World Bank supaya membantu mengelola beban utang RI, bukan cuma membenarkan DPR kartu mati.

Tetapi juga ahistoris karena menutupi sejarah kelam perekonomian Indonesia saat berurusan dengan IMF & World Bank pada tahun 1998.

Saat itu Indonesia bukannya keluar dari krisis moneter, tapi malah terjerumus ke  jurang krisis, hingga memicu kerusuhan politik & keamanan.

Soeharto, 15 Januari 1998, menandatangani perjanjian dengan IMF. Disaksikan Michael Camdessus, yang berdiri puas sambil menyilangkan kedua tangan.

Sikap Sri Mulyani yang minta dibimbing oleh IMF & World Bank ternyata juga paralel dengan karakter penjilat para pejabat bumiputera di era kolonial, yang suka membungkuk dan mohon petunjuk di hadapan pembesar asing.

Di era Tanam Paksa mereka menjadi suksesor, dan menjilat Van Den Bosch. Menyapanya dengan sebutan Eyang Romo demi hadiah, pujian, dan naik pangkat.

Makanya dulu Belanda menghina kita “bangsa yang paling lunak di dunia” sehingga Gubernur Jenderal De Jonge yakin, bisa dijajah ratusan tahun.

Snouck Hurgronje juga dibantu para penjilat. Van Mook bikin Negara Boneka juga disokong elite penjilat yang meminta bimbingan.

Sikap Sri Mulyani ternyata sama saja. Fungsinya di kabinet selama ini ternyata mengaktualisasikan kolonialisme. Posisinya sebagai Sales Promotion Girl (SPG)-nya IMF & World Bank menegaskan perannya itu.

Negeri dan bangsa ini hari ini membutuhkan tokoh kognitariat (pekerja otak) dengan kemampuan problem solver dan keberanian membela rakyat. Soal-soal ekonomi adalah masalah fatal yang bisa menyeret ke dalam kehancuran multidimensi.

Para pendiri Republik dulu mengajarkan kita kemandirian. Menolak didikte asing.

Dan bangsa yang besar ialah bangsa yang mawas diri yang tidak mengulang kesalahan sejarah yang sama.

Seperti halnya pepatah Latin mengajarkan:
Historia Magistra Vitae, Nuntia Vetustatis.
Sejarah Adalah Guru Kehidupan, Dan Pesan Dari Masa Silam...

Adakah pemahaman sejarah di benak Sri Mulyani, Menkeu Terbalik yang lebih suka dipuji asing, meski kebijakannya mencekik rakyat sendiri?

Penulis Adalah Pemerhati Sejarah

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya