I
BU Tri Rismaharini Menteri Sosial dan Bu Merliyati Simanjuntak istri Bupati Sumba Timur, belum lama ini menjadi sorotan publik, sorotan media. Foto mereka viral di media sosial. Banyak orang berdecak kagum.
Masyarakat mengagumi Bu Risma dan Bu Merli. Tentu, selain Presiden Jokowi yang kehadirannya di wilayah bencana sangat melegakan masyarakat. Mereka merasa disapa,
dikaruhke sebagai anak-anak bangsa yang tengah nestapa.
Bu Risma membonceng motor seorang polisi untuk menembus desa-desa terisolir di Nusa Tenggara Timur (NTT) karena aksesnya terputus akibat banjir bandang, tanah longsor.
Bukan kali ini saja, ketika masih menjabat sebagai Walikota Surabaya hal seperti itu kerap kali dilakukan. Misalnya, setelah serangan bom bunuh diri tahun 2018 di Surabaya, Bu Risma memastikan keamanan warganya dengan berpatroli keliling dari satu gereja ke geraja lain menggunakan sepeda motor.
Bulan Juli 2020, Bu Risma keliling Surabaya dibonceng sepeda motor untuk mengingatkan masyarakat agar memakai masker di tengah pandemi virus corona. Ketika itu, Bu Risma juga Risma lewat pengeras suara mengingatkan masyarakat.
Selain keliling jalan raya, Bu Risma juga blusukan ke permukiman warga. Ia memperingatkan warganya untuk tidak keluar rumah jika tidak mendesak. Ia juga membagikan masker saat menemui warganya yang tidak mengenakannya.
Januari lalu, ketika menengok korban tanah longsong di Desa Cihanjuang, Sumedang, Jawa Barat, Bu Risma turun dari mobil dan membonceng motor di tengah guyuran hujan. Hal itu dilakukan karena jalan tidak bisa ditembus mobil.
Bu Merliyati berjalan kaki menerobos banjir dan lumpur sambil
menyunggi sekardus mi instan. Tangan kanannya pun membopong sekardus mi instan. Wilayah NTT disapu siklon Seroja.
Kedua ibu itu tidak sedang mencari perhatian. Tidak sedang ingin disorot. Tidak pula sedang mencari tepuk tangan. Tidak sedang mencari pengaruh. Tidak sedang mencari pendukung atau mencari popularitas. Tidak!
Mereka bukan tipe politikus yang mengunjungi daerah bencana dan membopong anak yang terluka. Hanya dengan gendongan dua hingga lima menit, media telah membentuk citra pemimpin yang peduli korban.
Bukan, bukan seperti itu! Mereka bukan sedang bersimulasi seakan nyata, tetapi memang nyata. Dan, mereka bukan politisi. Mereka adalah pemimpin yang melayani.
Hati mereka tergerak oleh rasa
compassion, belarasa atau welas asih yang tinggi, melihat kondisi masyarakat korban bencana. Sikap
compassion adalah “kesadaran simpatik akan penderitaan orang lain dan hasrat untuk meringankan penderitaan tersebut†(
Webster Dictionary).
Itu berarti, sikap welas asih itu muncul sebagai tanggapan terhadap penderitaan orang lain yang kemudian memotivasi dan mendorong untuk menolongnya. Penderitaan orang lain adalah teriakan minta tolong yang mendorong seseorang bertindak untuk membantu meringankan beban penderitaannya.
Tentu, sikap welas asih—kasih sayang terhadap sesama—itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki sifat altruistik bukan egoistik. Orang egoistik hanya akan mementingkan diri sendiri, atau keluarganya, atau kelompoknya atau golongannya saja.
Tetapi, orang yang memiliki sifat altruistik akan terdorong untuk bersimpati dan kemudian membantu untuk meringkan beban penderitaan orang lain.
Rasa welas asih itulah yang mendorong mereka dengan cepat, mereka menanggalkan semua atribut, membuang segala macam gengsi sebagai menteri dan sebagai istri bupati.
Mereka memilih jalan sederhana: membantu orang-orang yang memang harus dibantu. Jalan itu sebenarnya bisa diikuti oleh setiap orang. Yang dibutuhkan adalah kemauan, kerelaan berkorban, dan ketulusan hati.
IISebagai pemimpin, keduanya terpanggil untuk melayani sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing. Tidak dibuat-buat. Bukan rekayasa. Bukan settingan. Bukan terskenario.
Apa yang mereka lakukan menunjukkan komitmennya yang tinggi pada posisi yang diembannya: yang satu sebagai menteri dan satunya istri bupati.
Mereka tidak malu melakukan itu. Mereka tidak peduli komentar orang lain, yang mungkin atau malahan pasti ada yang miring, bernada mencemooh. Karena dipandangnya sebagai mencari sensasi.
Kalau yang mereka lakukan hanya untuk mencari sensasi, semuanya menjadi tidak berharga. Sia-sia. Bu Risma dan Bu Merliyati, paham akan hal itu.
Maka tanpa lagak, tanpa gaya, mereka mekakukannya dengan penuh cinta, sepenuh hati, total, berbelas kasih. Karena yang mereka lakukan adalah bagi masyarakat yang menderita.
Mereka tidak hanya sekadar berwacana, seperti banyak orang yang mengagungkan wacana. Tetapi, mewujud-nyatakan kepeduliannya. Mereka bekerja. Dan, kerja itu bukan sekadar karena tugas atau sebagai konsekuensi dari jabatan atau status. Tetapi karena panggilan hati dan jiwa. Bekerja memang harus dengan hati.
Bekerja merupakan panggilan pertama manusia. Bekerja merupakan ekspresi diri sebagai eksistensi manusia. Maka ada istilah
homo faber, manusia mahkluk yang bekerja. Nilai utama dari pekerjaan itu datang dari manusia sendiri yang menciptakannya dan yang menerima keuntungannya.
Pekerjaan memang untuk manusia, dan bukan manusia untuk pekerjaan. Tiap orang harus dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu sarana-sarana untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia.
Itulah sebabnya, bekerja adalah ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja hidup manusia memperoleh arti. Di sini menjadi nyata bahwa kerja sungguh bisa mempunyai aspek religius, selain aspek pribadi dan sosial.
IIIKata kuncinya adalah sukacita. Mereka dengan sukacita melayani masyarakat. Bukan sukacita dengan gigi yang geregetan. Tetapi, sungguh suatu sukacita yang tulus. Sukacita lahiriah adalah perwujudan sukacita di dalam batin yang mereka rasakan ketika melayani masyarakat.
Itulah jalan sederhana yang mereka pilih dan lakukan. Tetapi, banyak orang yang tidak melihat jalan sederhana itu.