Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Politik Kebaya Dan Perempuan

SABTU, 10 APRIL 2021 | 23:20 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

I

Setiap negara mempunyai identitas yang dapat menunjukkan ciri suatu negara. Salah satu yang menjadi ciri suatu negara adalah busana, yang disebut sebagai busana nasional.

Misalnya,  Sari di India, Kimono di Jepang, Terno di Filipina, Satu Sut di Malaysia, Chang Ot di Korea, dan kebaya di Indonesia. Nama-nama busana tersebut merujuk pada model busana yang dikenakan kaum perempuan.


Eksistensi kebaya tidak terlindas perubahan zaman. Sebab, kebaya memiliki kemampuan untuk bersinggungan, bercampur, berasimilasi, kolaborasi dengan keinginan selera masyarakat.

Para perancang busana, terus mengembangkan inovasi dan kreativitasnya dalam desain kebaya sehingga menjadi sangat beragam. Misalnya,  desainnya, bahannya, bahkan merambah ke pemakaian pasangannya. Pasangan kebaya tidak hanya sebatas kain panjang dan sarung saja tetapi dapat juga berupa rok, kain panjang, celana bahkan celana jeans.

Kini, kata Widjajanti M Santoso dari LIPI, selain berfungsi sebagai busana nasional, kebaya tetap juga sebagai busana tradisional.
Karena itu, ada beragam kebaya: Kebaya Jawa, Kebaya Bali, Kebaya Melayu dari Medan, kebaya Tasik, Kebaya Palembang, Kebaya Panjang (Labuh) Riau, Kebaya Minangkabau, Kebaya Manampal Ambon, Kebaya Betawi, Kebaya Madura, Kebaya Pagatan, Kebaya Kutai, Kebaya Minahasa, dan Kebaya Sunda.  

Dengan demikian, identitas perempuan melalui kebaya dalam masyarakat urban masa kini mengartikulasikan identitas yang multikultural.

II

Sejarah mencatat, perempuan Indonesia menciptakan rasa kebangsaan dengan kebaya selain hal itu menunjukkan keberagaman, dan ekspresi anti Barat. Di era revolusi, kebaya merupakan lambang identitas pribumi.

Dan, oleh Bung Karno dinyatakan sebagai pakaian nasional. Bung Karno menganggap kebaya sebagai busana yang paling ideal mencerminkan karakter dan keanggunan sosok perempuan Indonesia.

Kemerdekaan membutuhkan simbol, termasuk dalam hal berpakaian. Kebaya dengan berbagai coraknya menjadi identitas politik bangsa merdeka.

Hal itu ditunjukkan oleh Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri yang setia berkebaya terutama pada acara-acara resmi kenegaraan. Para Ibu Negara, mulai dari Fatmawati juga selalu mengenakan kebaya dalam setiap kunjungan kenegaraan sebagai baju nasional atau baju kebesaran bangsa Indonesia, Tien Soeharto, Hasri Ainun Habibie, Sinta Nuriyah Wahid, Ani Yudhoyono, hingga Iriana Jokowi sekarang ini.

Semua Ibu Negara memiliki ciri khasnya masing-masing. Satu hal yang sama adalah penggunaan kebaya sebagai busana nasional.

Dengan demikian, kebaya juga menjadi bagian yang formal. Kebaya juga  berkaitan dengan politik. Ini terlihat dari tokoh perempuan politik ketika berfoto resmi (formal) mengenakan kebaya.

Pendek kata, kebaya menunjukkan perubahan sosial pada masyarakat dari setiap zaman: Orde Lama, Orde Baru, dan Zaman Reformasi hingga sekarang ini.

Lies Marcoes Natsir (rumahkitab.com) menulis pada era Orde Lama, kebaya dikenakan para aktivis Gerwani, Aisyiyah, Muslimat NU, dan golongan nasionalis seperti PNI. Ragam kebaya beraneka rupa, juga corak dan potongannya.

Pembeda lainnya adalah penggunaan kerudung menjuntai. Kerudung pada dasarnya tidak secara ketat digunakan sebagai identitas primordial (agama), melainkan usia.

Dalam perkembangan kemudian, kerudung digunakan sebagai identitas kelompok sayap politik atau golongan muslimah. Namun, dalam hal tata busana, mereka tetap menggunakan model kebaya kutu baru yang membiarkan belahan dada bagian atas terbuka tempat hiasan gandulan leontin bertengger, dan kadang kala masih terlihat bayangan kutang yang dipakaiserta stagen.

Pada era Orde Baru, kebaya diambil alihÄ· dan direbut oleh politik Orde Baru sebagai simbol kelas menengah atau keluarga pegawai. Kebaya dengan warna tertentu digunakan sebagai seragam organisasi-organisasi perempuan mesin politik Orde Baru, seperti PKK dan Dharma Wanita.

Saat itulah perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan Indonesia mengalami reduksi hingga tingkat paling rendah. Perjuangan dahsyat Kartini dalam melawan patriarki dan sistem feodal Jawa yang menindas kaum perempuan disederhanakan menjadi Kebaya Kartini.

Perayaan Kartini dimeriahkan berbagai lomba yang menegaskan peran domestik perempuan tidak jauh dari masak macak manak. Kelompok-kelompok perempuan progresif atau dari kalangan feminis saat itu menolak kebaya dengan seluruh tafsir negara. Dengan sendirinya, kebaya pun ditolak dan dianggap sebagai bentuk pembodohan perempuan dan penindasan.

Era reformasi, telah pula mempengaruhi kreativitas para perancang busana. Para perancang busana—termasuk kebaya—memunculkan model-model baru (Triyanto: 2010). Model kebaya berubah sesuai tuntutan dan perkembangan zaman. Dahulu kebaya tradisional selalu berkonotasi nilai-nilai kefemininan, lembut penuh keelokan citra perempuan dan dalam fungsinya selalu menghiasi diacara serimonial dewasa.

Kini tidak lagi demikian. Kebaya bukan hanya dipakai untuk orang dewasa, tua, dengan kesan feminin, di acara serimonial. Tetapi kebaya mampu menembus batas usia, waktu pemakaian, dan kesan yang berbeda.

Maka penampilan kebaya yang pada awalnya lembut, feminin telah berubah menjadi kebaya yang memberikan kesan maskulin, santai, lincah, mengikuti tren zaman.

III


Tidak bisa dipungkiri bahwa kebaya adalah hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Itulah budaya, seperti yang didefinisikan oleh  Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi.

Sebagai hasil budaya bangsa, kebaya menjadi cultural display, pajangan budaya—meminjam istilah Desmond Morris dalam Bernard (2009)—bangsa  Indonesia. Sebagai pajangan budaya, kebaya menunjukkan identitas nasional dan kultural seseorang (Nita Trismaya: 2018).

Kalau dahulu, zaman pergerakan dan setelah kemerdekaan, budaya tradisional, antara lain kebaya menjadi salah satu media perlawanan orang Indonesia terhadap budaya Barat yang dikhawatirkan menjadi penyebab terkikisnya budaya asli Indonesia. Maka, kini pun kebaya berada di garda depan untuk membendung serbuan budaya—misalnya, pakaian, tentu yang tidak sesuai dengan budaya bangsa—asing.

Kata Lies Marcoes, sejumlah aktivis perempuan kembali mengusung kebaya sebagai identitas politik mereka: tak hanya identitas kebangsaan, melainkan juga simbol perlawanan terhadap upaya penyeragaman perempuan melalui cara berpakaian yang di dalamnya mengandung stigma moral. Kebaya, agaknya tetap menyimpan simbol yang relevan sesuai kehendak zamannya.

Itu berarti, berkebaya bagi perempuan Indonesia tidak saja untuk mengartikulasikan dirinya melalui pakaian, namun memiliki pemahaman yang luas, mulai dari identitas sampai wujud cinta bangsa, dan tentu rasa nasionalisme.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Komisi V DPR: Jika Pemerintah Kewalahan, Bencana Sumatera harus Dinaikkan jadi Bencana Nasional

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:14

Woman Empower Award 2025 Dorong Perempuan Mandiri dan UMKM Berkembang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:07

Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi di Akhir Pekan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:58

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:44

DPR: Jika Terbukti Ada Penerbangan Gelap, Bandara IMIP Harus Ditutup!

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:24

Banjir Aceh, Untungnya Masih Ada Harapan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:14

Dana Asing Masuk RI Rp14,08 Triliun di Awal Desember 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:08

Mulai Turun, Intip Harga Emas Antam Hari Ini

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:03

Netflix Beli Studio dan Layanan Streaming Warner Bros 72 Miliar Dolar AS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:43

Paramount Umumkan Tanggal Rilis Film Live-Action Kura-kura Ninja Terbaru

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:35

Selengkapnya