Berita

Ilustrasi/Net

Nusantara

Fakta-fakta Di Balik Kerajaan Sunda: Pajajaran Bukan Kerajaan

SELASA, 16 MARET 2021 | 10:57 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Sejarah mencatat, dua kerajaan besar pernah berdiri di Jawa Barat setelah zaman Tarumanagara. Yakni Kerajaan Galuh dan Sunda. Dua kerajaan ini memiliki akar kuat sebagai identitas sejarah dan budaya dari masyarakat Sunda.

Seperti dituturkan Gurubesar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Prof Nina Herlina Lubis, jika berbicara mengenai kerajaan Sunda, maka tidak bisa dipisahkan dari nama kerajaan Galuh.

Sebab, antara kerajaan Sunda dan Galuh pernah bersatu dengan nama kerajaan Sunda dan pusat kekuasaannya berada di wilayah Galuh, Kabupaten Ciamis.

Prof Nina menjelaskan, penyatuan kerajaan Sunda dan Galuh terjadi pada masa Sanjaya, raja Sunda setelah Maharaja Trarusbawa.

"Dalam sumber primer Prasasti Canggal disebutkan, Sanjaya merebut takhta kerajaan Galuh dari Rahyang Purbasora sekitar sebelum tahun 732 Masehi,” ungkapnya seperti dikutip Kantor Berita RMOLJabar dari laman Unpad, Selasa (16/3).

Berbeda dengan Kerajaan di Jawa Tengah dan Timur

Sejarawan Unpad ini menjelaskan, berdasarkan tinggalan sejarah, ibukota atau pusat kekuasaan kerajaan Galuh berpindah-pindah. Bermula di daerah di dekat Banjar saat ini, lalu berpindah wilayah yang saat ini menjadi perbatasan Ciamis-Banjar, serta kembali pindah ke daerah Kawali.

“Di Kawali itulah kita menemukan sumber yang bisa dipercaya tentang Galuh, yaitu 6 prasasti yang menyebutkan berbagai peristiwa tentang kerajaan Galuh,” papar Prof Nina.

Memiliki ibukota kerajaan yang berpindah menyebabkan adanya perbedaan karakteristik kerajaan Sunda dengan kerajaan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Kerajaan Sunda cenderung memiliki tinggalan sejarah berupa bangunan candi yang lebih sedikit dibanding di wilayah tengah dan timur. Ini disebabkan, masyarakat Sunda pada saat ini bukan sebagai masyarakat menetap.

Hal ini sedikir menjelaskan mengapa ibukota kerajaan Galuh dan Sunda berpindah-pindah.

“Karena berpindah-pindah jadi tidak punya waktu membangun candi besar. Di Jateng dan Jatim masyarakatnya petani sawah, sehingga cukup punya waktu membangun bangunan monumental,” tuturnya.

Pajajaran Bukan Nama Kerajaan

Harus diakui, kalau Kerajaan yang paling dikenal masyarakat Sunda adalah Pajajaran. Namun, Pajajaran ternyata bukanlah nama sebuah kerajaan. Sebab, nama kerajaan yang sebenarnya adalah Kerajaan Sunda.

Prof Nina menjelaskan, Pajajaran adalah ibukota atau pusat kekuasaan kerajaan Sunda selama masa Sri Baduga Maharaja, atau Prabu Siliwangi, yaitu Pakwan Pajajaran. Pakwan Pajajaran terletak di wilayah yang jadi Kota Bogor saat ini.

“Ada teori yang dikemukakan Robert von Heine-Geldern, kerajaan di Asia Tenggara umumnya disebut dengan nama ibukotanya,” jelas Nina.

Dalam kepercayaan mereka, ibukota kerajaan diyakini sebagai pusat mikrokosmos. Cukup dengan menyebut nama mikrokosmos, berarti sudah menyebut seluruh wilayah kerajaan.

“Itu sebabnya yang beken sekarang itu Pajajaran, padahal yang betul kerajaan Sunda. Itulah kita harus berpegang pada sumber primer,” ujar Prof Nina.

Toleransi

Sumber primer diyakini para ahli sebagai bukti otentik yang bisa menjadi referensi suatu sejarah. Hal ini juga bisa menjadi rujukan dari beragam perdebatan yang muncul dari proses interpretasi sejarah.

Kerajaan Sunda sendiri tidak lepas dari adanya perdebatan. Salah satunya mengenai kepercayaan Prabu Siliwangi.

Nina menjelaskan, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis yang didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja.

Dalam prasasti itu, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja, ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521. Jenazahnya kemudian diperabukan.

“Kenapa diperabukan, karena dia beragama Hindu,” ujarnya.

Berbekal informasi dari sumber primer, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu. Meskipun ada bukti sekunder yang menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam.

Menjelang akhir usianya, mulai banyak pendatang yang menetap di Tatar Sunda. Para pendatang tidak hanya beragama Hindu, tetapi ada pula yang beragama Buddha dan Islam.

Prof Nina memaparkan, beragamnya kebudayaan dan agama di tatar Sunda membuktikan bahwa kerajaan Sunda memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan, penyebaran Islam di tatar Sunda sudah berlangsung sejak abad ke-14.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

UPDATE

Pengukuhan Petugas Haji

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:04

Chili Siap Jadi Mitra Ekonomi Strategis Indonesia di Amerika Selatan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:02

Basri Baco: Sekolah Gratis Bisa Jadi Kado Indah Heru Budi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:42

Pemprov DKI Tak Ingin Polusi Udara Buruk 2023 Terulang

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:24

Catat, Ganjil Genap di Jakarta Ditiadakan 9-10 Mei

Sabtu, 04 Mei 2024 | 03:22

BMKG Prediksi Juni Puncak Musim Kemarau di Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:27

Patuhi Telegram Kabareskrim, Rio Reifan Tak akan Direhabilitasi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:05

Airlangga dan Menteri Ekonomi Jepang Sepakat Jalankan 3 Proyek Prioritas Transisi Energi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 02:00

Zaki Tolak Bocorkan soal Koalisi Pilkada Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:35

Bertemu Wakil PM Belanda, Airlangga Bicara soal Kerja Sama Giant Sea Wall

Sabtu, 04 Mei 2024 | 01:22

Selengkapnya