Presiden Soekarno memberi komando pembentukan Barisan Soekarno. Tujuannya mengimbangi gerakan mahasiswa yang dimotori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Konsolidasi berlangsung cepat di kalangan pendukung Soekarno.
Pada 17 Januari 1966, Menteri Penerangan Achmadi berhasil mewujudkan perintah Soekarno itu. Cikal bakal Barisan Soekarno segera terbentuk. Mereka pun mulai bergerak, antara lain dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang menyerang KAMI dan bahkan memprovokasi sejumlah benturan fisik.
Pada awal Februari 1966, Pangdam Jaya Amirmahmud melakukan akrobatik politik yang menyenangkan Presiden Soekarno. Pada Selasa, 1 Februari 1966 itu di lapangan Banteng digelar rapat umum yang menelurkan suatu ikrar dari 120 organisasi politik dan organisasi massa se Jakarta Raya.
Dalam ikrar itu mereka yang menyatakan sanggup untuk melaksanakan komando Presiden, sesuai amanat Presiden 15 Januari mengenai pembentukan Barisan Soekarno.
Keesokan harinya, 2 Februari 1966, Amirmahmud menghadap Soekarno di Istana Negara menyampaikan ikrar itu. Usai menghadap, kepada pers, Amirmahmud dengan bersemangat menyampaikan pernyataan 120 orpol dan ormas itu otomatis menjadi Barisan Soekarno.
Berdasarkan catatan Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke istana dan bekerja untuk membentuk Barisan Soekarno.
Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei yang dikenal sebagai ‘raja’ para copet Jakarta sebagai Komandan.
“Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik,†kata AH Nasution, yang ditulis Rum Aly, dalam buku berjudul
Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970 (2006).
Nasution mengungkapkan yang tak dapat diabaikan, bahwa para Panglima di Jawa pada saat itu, baik di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga secara pribadi kuat mendukung Soekarno.
Isu pembentukan Barisan Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan dapat membingungkan. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya.
Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya.
Sementara itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.
Waperdam I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga dia menekankan aspek fisik.
Kemudian, 15 Februari 1966, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I Soebandrio mengadakan, pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu, Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana Merdeka.
Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. “Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga,†kata Soebandrio.
Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut membentuk Barisan Soekarno itu, "biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet."
Barisan dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung.
Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung di Jalan Lembong.
Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa, Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Julius tewas di depan kampusnya di Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.
Setelah terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan massa Barisan Soekarno dari Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Februari hingga awal Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‘jalan tengah’ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia pada 7 Maret 1966.
Gagasan ini sebenarnya berasal dari ide pembentukan
National Union of Student (NUS) yang dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari 1966 setelah mendengarkan saran dan laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang Sosial Politik, Ruslan Abdulgani.
Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dan Ruslan Abdulgani, muncul penolakan yang keras dari aktivis mahasiswa Bandung.
Dalam sebuah pernyataan 2 Februari 1966,mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet dan berbagai lembaga negara.
Mereka curiga bahwa pembentukan NUS dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsur-unsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Mahasiswa-mahasiswa Bandung saat itu beranggapan bahwa Front Marhaenis adalah partner terdekat PKI di zaman pra G30S.
Aksi mahasiswa pun semakin berani. Dalam suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor, kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan "Gerwani Agung". Kejadian itu memuat Soekarno amat marah. Sementara di Bandung, pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan “Soekarno, No".
Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan “Gedung Komidi Stambulâ€. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir “MPRS… Yes, yes, yes†yang menggambarkan MPRS itu berisi dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan “yes†kepada Soekarno.
Soekarno yang marah, bersama Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi Neo Kolonialisme dan Imperialis (Nekolim). Namun pasca G30S, tudingan Nekolim semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mahasiswa yang dituding.