Berita

Soeyanto Soe/RMOL

Publika

Keputusan Yang Mengembalikan Akal Sehat

JUMAT, 29 JANUARI 2021 | 08:48 WIB

ADA beberapa kasus sengketa pilkada tahun 2020 yang layak diamati dan dibahas secara nasional karena begitu unik dan mencengangkan. Salah satunya adalah Pilwakot Bandarlampung. Puncaknya ketika Mahkamah Agung (MA) menganulir keputusan KPU Kota Bandarlampung yang mendiskualifikasi paslon 03 (Eva-Deddy).

Diskualifikasi ini diambil akibat ulah Bawaslu Provinsi yang secara serampangan, meski pemungutan suara telah usai, meminta KPU Kota Bandarlampung membatalkan pencalonan Eva-Deddy karena menganggap program-program pemerintah Kota Bandarlampung menguntungkan paslon 03.

Kedekatan hubungan antara Walikota (Herman) sebagai suami Eva menjadi dasar Bawaslu Provinsi Lampung dalam mendukung gugatan paslon 02 (Yusuf-Tulus). Kehilangan akal karena bukti-bukti yang lemah, membuat Bawaslu Provinsi Lampung merambah dengan berupaya mengadili wilayah persepsi pemilih.


Hubungan suami-istri, program-program pembangunan Pemkot, maupun kegiatan-kegiatan PKK yang dikomandani Eva bertahun-tahun dianggap memberi "dukungan" mutlak bagi Eva untuk menang total. Selisih suara yang mencapai sekitar 37 persen dicap sebagai hasil panenan kedekatan Eva dengan Herman.

Pendiskualifikasian yang dilakukan Bawaslu Provinsi tidak berdasarkan fakta obyektif tetapi penghakiman pada persepsi yang penuh multi-tafsir.

Tidakkah kita sadari bahwa kontestasi pemilihan langsung itu sebenarnya adalah pertarungan persepsi. How to win the voters' mind.

Jika persepsi pemilih diadili, di mana lagi letak ruang pertarungannya?

Bawaslu atau siapapun stakeholders yang terlibat dalam kegiatan pemilu boleh melakukan tafsir apapun terkait ketentuan-ketentuan aturan dan hukum tetapi tidak boleh mengadili persepsi pemilih. Persepsi positif pemilihlah yang dibentuk, dikejar, dan diperjuangan oleh Tim Sukses agar kandidatnya mendapat dukungan dan suara.

Proses perjuangan dalam membentuk persepsi positif inilah yang menjadi lahan penyelenggara untuk menyiapkan koridor-koridornya. Di sinilah wewenang Bawaslu: memantau koridor-koridor itu. Bukan malah setelah kontestan berpayah-payah melewati berbagai koridor dan mencapai kemenangan di garis finish kemudian didiskualifikasi. Apalagi alasannya hanya karena para supporter pemenang lebih berisik. Sorak-sorai pendukung itu adalah bagian dari upaya pemenangan.
 
Lantas setelah melihat ada salah satu paslon yang terseok-seok, sepi pendukung, Bawaslu menganggap kekalahan itu karena paslon pemenang lebih perkasa sehingga tidak adil bagi paslon yang lain. Dinilai memakai dopping atau apapun, yang penting sang perkasa ini harus dibatalkan kepesertaannya. Sibuk dan heran ada kemenangan mutlak tetapi lupa memeriksa mengapa kandidat-kandidat yang kalah sampai kedodoran.

Padahal jika ditelisik, Yusuf Kohar dari paslon 02 berstatus petahana karena tidak menyatakan mengundurkan diri sebagai Wakil Walikota Bandarlampung saat melakukan pendaftaran di KPU. Sedikit atau banyak, tentu Yusuf Kohar juga mendapat imbas dari kebijakan-kebijakan Pemkot Bandarlampung.

Akibat kerangka pikir Bawaslu Provinsi Lampung yang carut-marut akhirnya lembaga ini masuk dalam kubangan lumpur. Ditertawakan publik dan sebagian menilai mengapa lembaga yang mulia ini menjadi picisan. Menjadi sebuah lembaga yang tidak menunjukkan kompetensi sama sekali.

Akal sehat yang ditendang jauh oleh Bawaslu akhirnya diikuti pula oleh berbagai pihak yang bermimpi ingin menikmati manisnya sebuah pilkada meski tanpa bersusah-payah. Pendukung-pendukung paslon yang kalah, yang tadinya loyo, kembali mencicit. Para kuasa hukum seperti mendapat angin segar. Pengepul remah-remah politik semakin bersemangat untuk mengipas-ngipasi para donatur untuk menggelembungkan semangat oligarki-nya.

Para donatur ini terkesiap lantas semakin lincah menari melihat peluang. Apalagi mereka pikir kekuatan politik nasional pendulumnya bisa berubah dalam satu-dua tahun ke depan. Paslon yang kalah suara sumringah. Semua bersorak hore seakan mampu merebut kekuasaan dengan gampang. Lupa diri bahwa kekalahan suara paslon mereka begitu telak nan memalukan, sekitar 38 persen. Amboi.

Di ruang lain, birokrasi pun terbelah. Yang akal sehatnya sudah sepinggang menjadi ikut menebar senyum bahagia. Mulai bergeser-geser siapa tahu peluang ini menjadi nyata. Terbetik isu kalau sengketa penetapan diskualifikasi ke MA telah dikawal oleh kekuatan finansial tak berseri. Minimal sudah terlihat didukung oleh kuasa hukum super gagah bereputasi nasional. Kurang apalagi? Mari bergembira!

Namun apa daya. Dua hari lalu ternyata MA bersuara lain. Diikuti oleh MK sehari setelahnya, dua lembaga tinggi negara ini mengokohkan paslon 03 sebagai pihak yang harus dijaga kehormatannya sebagai pemenang pilkada. Menghormati perjuangannya dan menghormati mayoritas warga Kota Bandarlampung yang telah memantapkan hak pilihnya.
 
Banyak pengamat mengatakan bahwa keputusan MA adalah keputusan yang adil. Tentu pandangan ini tidak tepat. Keputusan yang adil adalah jika pihak yang bersengketa memiliki posisi yang berimbang. Ada dispute area yang harus diperjuangkan. Sementara kasus ini tidak. Ada ketimpangan yang begitu luas seperti bumi dan langit. Ini adalah pentas teater yang minim sikap mawas diri.
 
Maka keputusan MA bukanlah keputusan yang adil tetapi sebuah palu yang diketokkan untuk menyadarkan akal sehat kita semua. MA melalui keputusannya menunjukkan bahwa gugatan-gugatan hukum yang seolah-olah sah dalam peristiwa pemilu tidak boleh mengabaikan pihak-pihak yang telah berjuang keras untuk mendapatkan dukungan suara rakyat.

Yang tak kalah penting MA juga secara tidak langsung mengingatkan kita semua untuk menjaga amanat konstitusi dalam pemilu. Terutama agar segala pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh negara untuk penyelenggaraan pemilu, yang jumlahnya relatif sangat besar, tidak diperlakukan secara gampangan dan murahan.
Politik memang kadang mengabaikan etika tetapi politik harus tetap mengedepankan kewarasan.

Dari kasus pilkada Kota Bandarlampung ini, adalah wajar bila rakyat Indonesia meminta agar negara secara serius mengaudit lembaga semacam Bawaslu. Bila terjadi keputusan-keputusan yang ajaib, sudah semestinya sebuah lembaga diperiksa pertanggungjawaban keuangannya, pertanggungjawaban kinerja anggota-anggotanya, dan pertanggungjawaban atas komitmen sumpah jabatannya. Akal sehat yang telah dibentangkan oleh MA semestinya membidik semua ini hingga tuntas.

Soeyanto Soe
Pemerhati ruang publik

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Laksdya Erwin Tinjau Distribusi Bantuan di Aceh Tamiang

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:55

Jembatan Merah Putih

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:40

Kongres Perempuan 1928 Landasan Spirit Menuju Keadilan Gender

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:13

Menko AHY Lepas Bantuan Kemanusiaan Lewat KRI Semarang-594

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:55

Membeli Damai dan Menjual Perang

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:32

Komdigi Gandeng TNI Pulihkan Infrastruktur Komunikasi di Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:08

Rocky Gerung: Kita Minta Presiden Prabowo Menjadi Leader, Bukan Dealer

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:45

DPRD Minta Pemkot Bogor Komitmen Tingkatkan Mutu Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:27

Kebijakan Mualem Pakai Hati Nurani Banjir Pujian Warganet

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:09

Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bikin Pemerintahan Stabil

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya