DALAM kurun waktu setahun terakhir muncul wacana perubahan UU Pemilu yang bertujuan untuk 2 hal. Pertama untuk mengintegrasikan UU Pemilu dan UU Pilkada yang saat ini masih diatur dalam dua UU yang berbeda.
Kedua untuk menindaklanjuti putusan MK yang mengatur makna keserentakan Pemilu dan Pilkada.
Dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) muncul usulan konstruksi keserentakan yang mengarah pada pembagian Pemilu menjadi dua.
Arahnya, pertama Pemilu Nasional dengan menyatukan Pemilu DPR RI, DPD RI dan Pilpres. Kedua, Pemilu lokal yaitu Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan Pilkada Gubernur, Walikota, dan Bupati di tahun yang berbeda.
Draft UU juga mengusulkan: Pemilu lokal pertama diselenggarakan pada Tahun 2022, Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada Tahun 2024.
Usulan skema keserentakan ini perlu dikritisi relevansinya mengingat kajian dan penilaian terhadap Undang-Undang yang saat ini masih berlaku dan bahkan belum diimplementasikan untuk pemilu serentak nasional dan lokal tahun 2024 masih sangat minim.
Makna keserentakan dalam putusan MK No. 55-PUU/XVII/2019 dijelaskan dapat dilaksanakan dengan 6 varian.
Enam varian itu antara lain dengan membagi antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal, atau tetap seperti yang dilaksanakan pada Pemilu tahun 2019 dimana Pemilu legislatif di tingkat nasional dan lokal dilakukan secara serentak dalam satu hari bersamaan dengan pemilu Presiden.
Selain itu Pemilu kepala daerah dilakukan secara serentak setelahnya sebagaimana yang berlaku dalam UU Pemilu dan UU Pilkada saat ini.
Artinya, UU yang saat ini berlaku sudah dalam kategori variasi keserentakan yang dimaksud dalam putusan MK.
Dalam konteks praktik-praktik penyelenggaraan Pemilu, tidak ada konsep yang paling baku yang menjadi rujukan dalam mengatur penjadwalan keserentakan Pemilu, selama prinsip-prinsip keserentakan telah disepakati dan dipahami oleh sebuah negara demokrasi.
Dengan demikian, DPR perlu menjelaskan kepada publik latar belakang dan urgensi perubahan UU Pemilu. Konsekwensi perubahan Undang-Undang yang terburu-buru apalagi ingin memajukan Pilkada tanpa ada kesiapan yang matang akan memunculkan persoalan yang berulang.
Persoalannya yaitu Undang-Undang selalu berubah-ubah setiap ada perhelatan Pemilu lima tahunan. Adanya perdebatan panjang antar fraksi dan tidak menemui kata sepakat secara mufakat terhadap isu-isu krusial.
Beberapa itu diantaranya: sistem Pemilu, sistem konversi suara, ambang batas parlemen maupun pencalonan presiden, daerah pemilihan, dan lain-lain, yang sebenarnya sudah cukup jelas dalam Undang-Undang saat ini.
Disamping itu, perubahan terus menerus tanpa menuntaskan amanat Undang-Undang yang berlaku menjadi preseden buruk. Sebabnya terjadi tarik menarik kepentingan politik melalui perubahan Undang-Undang lebih diutamakan dibanding mengkonsolidasikan dan memperkuat substansi penyelenggaraan Pemilu.
Caranya mempertahankan konsistensi dan ketaatan terhadap aturan perundang-undangan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu dari aspek teknis dan sumberdaya penyelenggara Pemilu.
Pada prinsipnya, konsep keserentakan dengan melaksanakan Pilkada nasional dan lokal di tahun yang sama sebagaimana yang berlaku saat ini di UU Penyelenggaraan Pemilu 7/2017 dan UU Pilkada 16/2016 mengandung dua keuntungan sekaligus.
Beberapa keuntungan itu, pertama adalah kontestasi dan pertentangan dan konflik politik pemilu hanya terjadi dalam satu tahun pemilu saja, yakni di tahun 2024.
Kedua, efisiensi waktu dan penghematan anggaran menjadi signifikan karena hanya mengeluarkan anggaran dalam satu tahun Pemilu.
Pengelolaan dan pengaturan sumber daya manusia dalam lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu menjadi lebih maksimal dengan persiapan, perencanaan dan pengelolaan siklus Pemilu yang cukup berlaku satu kali selama lima tahun.
Beberapa kekurangan yang ditemukan dalam pelaksanaan Pemilu dengan 5 kotak sebagaimana yang telah terjadi di tahun 2019 sebenarnya lebih disebabkan pada aspek teknis penyelenggaraan tempat pemungutan suara yang dapat diselesaikan melalui revisi peraturan KPU.
Dengan waktu yang terbatas dan “ambisi†mengintegrasikan pengaturan Pemilu secara lebih lengkap, detail dan mencakup seluruh aspek dalam waktu yang sangat singkat.
Misi pengintegrasian Pemilu sarat kepentingan sesaat karena mengandung risiko banyaknya aturan yang tidak tercakup. Hal itu akibat dari keterbatasan kajian dan waktu pembahasan.
Apalagi, rendahnya kualitas Undang-Undang yang kemudian dapat memicu gugatan Peninjauan Kembali di Mahkamah Konstitusi yang menguras energi dan waktu.
Sementara Pemilu membutuhkan keseriusan dan proses persiapan anggaran yang cukup panjang.
Disamping itu, dalam kondisi pandemi dan kerawanan bencana saat ini, penting bagi para pengambil kebijakan untuk lebih memprioritaskan kebijakan penanganan Covid-19.
Selain itu pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi dan pemulihan akibat bencana yang melanda beberapa daerah di Indonesia.
Revisi Undang-Undang Pemilu yang belum menjadi prioritas publik sebaiknya tidak dipaksakan dan lebih memprioritaskan implementasi Undang-Undang yang saat ini berlaku dengan meningkatkan kualitas aturan dan teknis pelaksanaan yang dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
Dahliah UmarPenulis merupakan Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid)