Berita

Ilustrasi gedung MK/Net

Publika

Momentum MK Perbaiki Krisis Kepercayaan Masyarakat

SENIN, 18 JANUARI 2021 | 23:57 WIB

MAHKAMAH Konstitusi lahir sebagai respons dari kegalauan masyarakat Indonesia terhadap hukum pada masa orde baru yang carut-marut, bersifat represif, dan hanya dijadikan sebagai alat legitimasi bagi penguasa yang korup dan otoriter.

Hal tersebut sesuai dengan TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.

Kandungan dalam TAP MPR tersebut mendeskripsikan bahwa kondisi hukum pada saat itu sangat membuka peluang untuk praktik KKN, penyalahgunaan wewenang, yang berujung kepada penafsiran dan penggunaan hukum sesuai keinginan penguasa yang abai terhadap rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.

Oleh karena itu dibentuklah MK sebagai jurist yang dapat mengkoreksi dan menghancurkan produk hukum (breaking law) yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional warga negara.

Undang-undang sebagai sintesa dari rahim politik dapat menimbulkan skema oppressive atau despotic atau bahkan dapat tercipta produk legislative misbaksel.

Sehingga dibutuhkan peran sentral MK untuk dapat mendeterminasi dan menginfiltrasi substansi buruk yang ada dalam suatu undang-undang.

Desain kelembagaan MK yang dirancang oleh the second founding father sebagai constitutional court menempatkan Mahkamah sebagai the sole and the ultimate interpreting of constitusion (penafsir utama dan satu-satunya terhadap konstitusi).

Selain itu memberikan empat kewenangan serta satu kewajiban kepada MK yakni pengujian undang-undang atau judicial review, memutus perselisihan lembaga negara, memutus sengketa hasil Pemilu, memutus pembubaran partai politik serta Impeachment presiden dan wakil presiden.

Diantara sejumlah kewenangan konstitusional MK sebagaimana disebutkan dalam narasi pasal 24 C UUD 1945, mahkota utama kewenangan MK ialah memutus perkara pengujian undang undang atau Judicial review.

MK akhirnya kerap dikenal sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution), pengawal demokrasi (guardian of democracy), dan pelindung hak-hak konstitutional masyarakat (the protector of citizen’s constitutional rights).

Kewenangan MK dalam memutus perkara juga dibarengi dengan sifat putusan yang final and binding, artinya kewenangan luar biasa dan istimewa dari MK tidak dikoreksi oleh siapapun dan kapanpun.

Bahkan menurut Satjipto Rahardjo, hakim MK bagaikan manusia setengah dewa dan putusannya bagaikan idu geni (ludah api), ludah sembilan hakim konstitusi, dapat membuat dua ratusan juta masyarakat rakyat Indonesia harus patuh dan tunduk.

Putusan final dan mengikat berarti diatas MK hanya ada langit karena Mahkamah adalah lembaga penafsir pertama dan terakhir.  

Melihat besar dan istimewahnya kewenangan MK tersebut secara mutatis mutandis, harus disertai dengan pola pengawasan dan prinsip independensi kehakiman.

Prinsip integritas, imparsialitas dan independensi diperlukan, mengingat banyaknya mafia peradilan (juditial corruoption), serta banyaknya produk Undang-undang yang lahir dari rahim korupsi poitik di Indonesia yang berpotensi merenggut hak konstitutional warga negara.

MK secara kelembagaan dan Hakim Konstitusi secara individu wajib terlepas dari kepentingan apapun selain dari kepentingan penegakan hukum dan keadilan konstitutionalitas warga negara.

Terlebih historikal konteks MK itu sendiri ialah penyempurna konsep checks and balances antar cabang kekuasaan.

Dalam ketatanegaraan negara hukum modern diperlukan suatu lembaga yudisial yang independen sebagai korektor terhadap cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Efektifitas ihwal keberadaan MK hanya akan terwujud bilamana MK tidak diintervensi  dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga hukum dan keadilan.

Wibawa dan marwah MK pun perlu dijaga guna mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari mayarakat. Legitimasi masyarakat hanya akan didapatkan apabila MK membebaskan diri dari intervensi dan menjaga independensinya, sebagaimana telah diatur pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan terminologi “merdeka” sebagai jalan untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Namun, narasi ideal terkait kepercayaan masyarakat terhadap MK tersebut seakan ambruk dengan melihat beberapa kasus yang menimpa MK.

Bahkan dikatakan oleh Arief Hidayat, kepercayaan terhadap MK sempat merosot sampai pada titik terendah dari 80 persen turun hingga belasan persen yaitu pada akhir tahun 2013 hingga pertengahan 2014.

Hal itu tentu tidak terlepas dari kasus korupsi yang menimpa mantan Hakim MK Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Kemudian diperparah lagi manakala MK pada saat itu sedang dihadapkan dengan agenda besar bangsa Indonesia, yakin penyelesaian perkara PHPU Pileg dan Pipres 2014.

Selain itu, pelanggaran etik yang dilakukan beberapa kali oleh Hakim MK Arief Hidayat tentu juga akan sangat mempengaruhi merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK.

Pada masa ini, MK dihadapkan kepada beberapa peristiwa yang berpotensi akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap MK itu sendiri.

Pertama, pemberian gelar kehormatan kepada beberapa Hakim MK Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 118 dan  119/TK/TH 2020 tertanggal 6 November 2020 tanda kehormatan diberikan Presiden kepada 6 hakim Konstitusi, 3 diantaraya sebagai bintang mahaputera adipradana (Anwar usman, Arief Hidayat dan Aswanto) Kemudian bintang mahaputera utama (Wahiduddin Adams, Suhartoyo dan Manahan M.P. Sitompul).
 
Kedua, revisi UU MK, poin krusial yang dipermasalahkan dalam UU ini yaitu terkait masa jabatan hakim, serta batas usia hakim konstitusi yang didalihkan oleh Pemerintah dan DPR adalah untuk merawat independensi hakim.

Namun hal ini dipandang oleh beberapa kalangan akademisi dan praktisi secara ratio legis terlihat sangat tidak masuk akal. Karena, jika yang ingin dicapai adalah independensi hakim, maka yang diperkuat/diperketat adalah proses/pola  rekruitmen hakim itu sendiri.

Sejalan dengan pemikiran Alexander hamilton (Federalist paper), tingginya Independensi hakim (pengadilan) bergantung pada pola rekruitmen hakim (the mode of appointing the judges).

Beberapa peristiwa diatas, seketika dapat dikatakan sebagai hadiah dan jurus jitu pemerintah untuk mendekati Mahkamah Konstitusi.

Justifikasi tersebut dirasa logis untuk timbul kepermukaan, dikarenakan MK tengah menangani beberapa perkara besar dan krusial yakni pegujian UU Cipta Kerja (omnibus), UU Minerba, UU KPK serta beberapa UU lain yang sangat kontroversial.

Bahkan tak jarang menimbulkan banyaknya aksi masyarakat dan mahasiswa yang langsung turun ke jalan hingga sempat melakukan aksi anarkis sebagai bentuk penolakan terhadap beberapa UU yang sedang di Uji tersebut.
 
Kesempatan Emas Bagi Mahkamah Konstitusi

Momentum ini seharusnya dapat dijadikan sebagai kesempatan emas bagi Mahkamah Konstitusi untuk merebut kembali kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat.

Nasib seluruh bangsa Indonesia sekarang sedang dipertaruhkan dibawah kekuasaan absolut MK sebagai penguji dan pemutus UU kontroversial yang sedang diujikan sekarang.

Jika pada saat momentum 2013-2014 MK sudah sempat merusak kepercayaan masyarakat, maka momentum sekarang ini seharusnya dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk membuktikan bahwa MK sangatlah layak untuk diberikan kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat.

Masyrakat akhirnya kembali percaya MK sebagai lembaga peradilan yang independen, berwibawa, berintegritas untuk mewujudkan cita pembangunan hukum yang adil, bermanfaat, dan berkepastian bagi bangsa Indonesia.

Mengabulkan permintaan masyarakat terkait beberapa pengujian UU, pastinya akan mengembalikan nama baik MK dan akan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada MK.

Strategi-strategi yang dikeluarkan oleh eksekutif dan legislatif untuk mendekati MK secara otomatis akan gugur dan terbantahkan dengan cara MK memutus UU yang kontroversial dengan putusan yang berpihak kepada masyarakat atas dasar keadilan dan perlindungan hak konstitutional warga negara.

Anjas Rinaldi
Penulis adalah Mahasiswa Syariah Hukum UIN Jakarta dan Ketua MCC UIN Jakarta

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Tersangka KPK

Selasa, 16 April 2024 | 07:08

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Halal Bihalal Partai Golkar

Selasa, 16 April 2024 | 01:21

UPDATE

Mudahkan Milenial dan Gen Z Miliki Hunian di Bali, BTN Tawarkan Skema Khusus

Sabtu, 27 April 2024 | 01:36

Sikap Ksatria Prabowo Perlu Ditiru Para Elite Politik

Sabtu, 27 April 2024 | 01:11

Gus Fawait Resmi Didukung Gerindra Maju Bacabup Jember

Sabtu, 27 April 2024 | 00:59

Rekonsiliasi Prabowo-Megawati Bisa Dinginkan Suhu Politik

Sabtu, 27 April 2024 | 00:31

Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Baru Korupsi PT Timah, 3 Orang Langsung Ditahan

Jumat, 26 April 2024 | 23:55

Menlu RI Luncurkan Buku "Menghadirkan Negara Hingga Ujung Dunia" di HWPA Award 2023

Jumat, 26 April 2024 | 23:37

Indonesia Tim Pertama yang Jebol Gawang Korsel, Pimpinan Komisi X: Prestasi yang Patut Diapresiasi

Jumat, 26 April 2024 | 23:33

Konfrontasi Barat Semakin Masif, Rusia Ajak Sekutu Asia Sering-sering Latihan Militer

Jumat, 26 April 2024 | 23:21

Menlu RI: Jumlah Kasus WNI di Luar Negeri Melonjak 50 Persen Jadi 53.598

Jumat, 26 April 2024 | 23:06

Ubedilah: 26 Tahun Reformasi, Demokrasi Memburuk

Jumat, 26 April 2024 | 23:01

Selengkapnya