Politisi Demokrat Rachland Nashidik/Net
Maklumat Kapolri yang memuat tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan FPI disorot publik.
Maklumat bernomor Mak 1/I/2021 yang ditandatangani Kapolri Jenderal Idham Azis ini dinilai ada upaya untuk mengamputasi kebebasan berpendapat.
Seperti disampaikan politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik yang mengaku baru mendengar ada maklumat pimpinan kepolisian yang diduga membatasi kebebasan berpendapat itu.
"Sejak melek politik, sebagai aktivis mahasiswa di masa Soeharto, baru kini saya mendengar 'Maklumat Kapolri'. Apakah isinya membatasi dengan sanksi hak asasi atas informasi?" kata Rachland Nashidik di akun Twitternya, Sabtu dinihari (2/1).
Adapun salah satu poin yang termuat dalam maklumat tersebut yakni masyarakat diminta tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.
Bila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat tersebut, maka Polri wajib menindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ataupun diskresi kepolisian.
"Setahu saya, pembatasan hak harus melalui UU. Itu pun hanya boleh sepanjang tak menabrak konstitusi," kritik Rachland.
Tak hanya Rachland, maklumat tersebut juga turut direspons komunitas persn nasional yang disinyalir membahayakan kehidupan pers. Bahkan maklumat yang dibuat sebagai respons larangan kegiatan FPI ini dikhawatirkan mengabaikan hak masyarakat yang dilindungi konstitusi.
Tokoh pers nasional yang juga Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang mengkritisi istilah 'diskresi kepolisian' dalam maklumat itu.
Istilah ini memiliki kelemahan karena diskresi adalah pengambilan keputusan berdasarkan penilaian subyektif.
“Padahal dalam konteks penegakan hukum, keputusan bersalah atau tidak, harus berdasarkan keputusan pengadilan. Selama belum menjadi keputusan pengadilan, maka berlaku azas praduga tidak bersalah,†jelas Ilham Bintang.