Berita

Miratul Mukminin atau Gus Amik/Net

Dahlan Iskan

Gus Amik

SELASA, 15 DESEMBER 2020 | 04:59 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

SAYA berduka lagi. Kali ini karena Covid-19. Korbannya Gus Amik, kakak sepupu saya. Yang sudah seperti saudara kandung.

Gus Amik 10 tahun lebih muda dari saya, tapi saya harus memanggilnya ”Mas” –karena lebih tua di susunan keluarga besar.

Belakangan ia lebih banyak di Surabaya. Tapi, sudah tiga minggu saya tidak bertemu. Ia terlalu sibuk sebagai ketua tim pemenangan calon wali kota Surabaya.


Itulah yang membuatnya teledor. Mungkin juga bukan teledor. Tapi, karena punya rasa tanggung jawab pada tugasnya. Waktu calon wali kotanya terkena Covid, Gus Amik selamat. Baru dua bulan kemudian justru ia yang mendapat giliran.

Waktu ia terkena Covid, pilkada kurang satu minggu lagi. Keluarganya tidak boleh tahu kalau ia terkena Covid.

Teman-temannya juga tidak diberi tahu. Dianggap sensitif. Itu bisa jadi isu politik. Pilwali sudah begitu dekat.

Gus Amik terus menyembunyikan sakitnya. Termasuk kepada saya. Juga kepada istrinya. Tapi, akhirnya ia tidak kuat. Ia pergi sendiri ke rumah sakit. Diam-diam.

Dari ruang opname itulah Gus Amik baru mengontak saya. Ia minta tidak usah disebarluaskan.

Tapi, keadaannya kian buruk. Dua hari sebelum pilwali ia koma. Sejak itu ia tidak pernah siuman lagi. Ia tidak tahu bahwa calon wali kotanya sudah kalah.

Ia terus koma. Sampai akhirnya meninggal dunia kemarin malam –setelah dua minggu di rumah sakit.

Istrinya juga terkena virus itu. Tapi tanpa gejala apa-apa. Hanya perlu isolasi. Salah seorang anaknya juga terkena Covid. Juga tanpa gejala. Demikian juga kakaknya.

Jenazah Gus Amik dimakamkan di sebelah makam ayah saya –di kompleks Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan. Itu berarti juga di sebelah makam ibunya. Hanya makam bapaknya yang tidak di situ –karena meninggal dunia di Makkah.

Kini kami kembali mengalami kesulitan regenerasi di PSM. Rupanya, itulah kesulitan yang tiada habisnya.

Sewaktu generasi pendiri habis dibunuh PKI di tahun 1948, kepemimpinan di pesantren kami vakum lama sekali. Generasi kedua masih kecil-kecil. Kelak, ketika KH Moh. Tarmuji dewasa, barulah PSM kembali punya pemimpin. Itulah ayahanda Gus Amik.

Ketika Kiai Tarmuji meninggal dunia, Gus Amik masih terlalu muda. Belum disiapkan jadi kiai. Terjadi lagi kekosongan kepemimpinan. Lama sekali. Setelah dewasa, barulah Gus Amik yang menjadi kiai pesantren.

Kini Gus Amik meninggal. Di usia 59 tahun. Dua anak laki-lakinya belum disiapkan menjadi kiai. Bisa jadi, lagi-lagi, terjadi kekosongan kepemimpinan. Lama lagi.

Memang tidak masalah. Kami-kami, para sepupu, bisa mengatasi persoalan sehari-hari. Toh semua madrasah kami –110 madrasah di lebih 15 kabupaten– sudah berjalan sendiri. Kami pun bisa sabar menunggu sampai salah seorang dari dua anaknya itu siap menjadi kiai.

Sebenarnya menjadi kiai di PSM di zaman ini tidak lagi sesulit dulu. Tidak lagi harus merangkap sebagai mursyid Tarekat Syatariyah.

Kami sepakat mursyid terakhir Syatariyah adalah yang dibunuh PKI itu. Ia tidak pernah mewasilahkan kemursyidannya kepada siapa pun.

Kiai PSM sekarang lebih banyak mengurusi birokrasi pendidikan. Amalan-amalan mujahadah ala Syatariyah bisa dilakukan bersama. Dengan imam yang digilir. Di antara yang senior.

Gus Amik sendiri lebih banyak mewarisi sisi politik ayahnya. Sang ayah termasuk gelombang pertama kiai yang masuk Golkar. Sampai menjadi anggota DPR. Sampai menjadi ketua DPP Golkar.

Gus Amik juga aktif di Golkar. Tingkat daerah. Sampai menjadi anggota DPRD Jatim dan kemudian menjadi bupati Magetan. Ia maju lagi, tapi kalah.

Gus Amik –Ir KH Miratul Mukminin– sebenarnya tahu persis bahwa ia punya komorbid. Bahkan, tidak hanya satu: darah tinggi, liver, ginjal. Bapak-ibunya juga meninggal karena liver. Ia juga sudah merasa suatu saat akan meninggal karena liver.

Tidak ia sangka ternyata karena Covid. Tidak ada gunanya menyalah-nyalahkannya lagi. Sudah meninggal.

Memang telat sekali ia masuk rumah sakit. Keesokan harinya sudah harus dipasangi ventilator. Lalu, ia dibius –agar tidak terganggu oleh pemasangan ventilator itu. Pembiusan diteruskan –jangan sampai ketika sadar mencabut ventilator itu.

Hari keempat, ketika pembiusan tidak diperpanjang, Gus Amik tidak juga siuman. Mungkin baru besoknya. Ternyata tidak juga. Tidak pernah siuman lagi.

Mas Amik ternyata meninggal dalam komanya itu. Berarti, di video call itulah kali terakhir saya melihatnya.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Pramono Putus Rantai Kemiskinan Lewat Pemutihan Ijazah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:44

Jangan Dibenturkan, Mendes Yandri: BUM Desa dan Kopdes Harus Saling Membesarkan

Senin, 22 Desember 2025 | 17:42

ASPEK Datangi Satgas PKH Kejagung, Teriakkan Ancaman Bencana di Kepri

Senin, 22 Desember 2025 | 17:38

Menlu Sugiono Hadiri Pertemuan Khusus ASEAN Bahas Konflik Thailand-Kamboja

Senin, 22 Desember 2025 | 17:26

Sejak Lama PKB Usul Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:24

Ketua KPK: Memberantas Korupsi Tidak Pernah Mudah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:10

Ekspansi Pemukiman Israel Meluas di Tepi Barat

Senin, 22 Desember 2025 | 17:09

Menkop Dorong Koperasi Peternak Pangalengan Berbasis Teknologi Terintegrasi

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

PKS Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

Selengkapnya