Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla/Net
PILPRES AS telah diketahui hasilnya. Biden menumbangkan Trump. Kemenangan Biden bisa menjadi inspirasi bagi aktor-aktor pemburu kuasa sejagat. Terutama yang merasa memiliki kemiripan.
Tidak berlebihan jika bekas Wapres JK merasa memiliki kemiripan dengan Biden. Sama-sama pernah menjadi Wapres dua kali. Biden pernah menjadi Wapres pada 2009-2013 dan 2013-2017. Sementara JK pada 2004-2009 dan 2014-2019.
Selain itu, dua-duanya pun sudah masuk usia lanjut. Biden 77 tahun. JK 78 tahun.
Merasa memiliki kemiripan, wajar jika JK berhasrat ingin mengikuti jejak Biden. Bekas wapres naik kelas menjadi presiden.
Bisa jadi, hasrat tersebutlah yang mendorong JK mengumbar pernyataan-pernyataan bohong saat diwawancara Karni Ilyas dalam kanal youtube Karni Ilyas Club.
Kebohongan untuk membuka jalan menuju panggung politik lagi. Di Indonesia, bila ingin jadi bahan omongan publik (viral), gampang. Buatlah pernyataan-pernyataan bombastis, kontradiktif dan bila perlu dicampur hoax.
Setidaknya ada dua statemen yang perlu dikalrifikasi. Pertama, katanya keputusan Blok Masela on shore merugikan negara Rp75 triliun.
Kedua, katanya ada 11 Dirjen yang menolak DR. Rizal Ramli menjadi Menteri Keuangan. Katanya RR dianggap tidak memiliki kapabilitas dan bicara isi kebun binatang.
Terhadap statemen pertama. Bukankah keputusan Blok Masela adalah keputusan presiden. RR hanya menteri yang memberi perspektif. Keputusan ada di tangan Presiden. Dan saat itu JK adalah wapresnya. Artinya, wapres menyangsikan keputusan Presiden. Apakah pantas?
Presiden dalam memutuskan Blok Masela pasti sudah melalui pertimbangan matang. Tidak mungkin Presiden sengaja membawa negara dalam kerugian hingga Rp 75 triliun.
Tudingan JK bahwa keputusan Blok Masela merugikan negara Rp 75 triliun itu sama saja menyangsikan kapasitas Presiden dalam membuat keputusan.
Kalau benar terjadi kerugian sebagaimana yang ditudingkan JK, maka KPK harus cepat bergerak meminta pertanggungjawaban Presiden.
Dan kalau pun Blok Masela hingga sekarang tidak berjalan, itu adalah tanggung jawab menteri penerus RR. Atau bahkan tanggung jawab Presiden yang mereshuffle RR sehingga Blok Masela tidak bisa dieksekusi sebagaimana mestinya.
Namun publik tahu betul JK sedang berbohong. Dia bilang harga proyek offshore Masela 14 miliar dolar AS. Nyatanya jejak digital saat awal polemik Masela muncul menyebut nilai proyek offshore Masela tembus 30 miliar dolar AS.
Kedua, 11 Dirjen mendatangi JK menolak RR jadi Menkeu. Mendatangi JK atau didatangkan JK? Jika "mendatangi" maka patut dipertanyakan sebegitu beranikah 11 Dirjen ingin mencampuri hak prerogatif seorang presiden? Hanya Dirjen bodoh yang ingin bunuh diri massal.
Jika "didatangkan", tampaknya inilah yang paling masuk akal. Settingannya, 11 Dirjen itu "massa bayaran". Mereka berkonspirasi membuat drama menolak RR. Remot kontrol ada di orang yang punya cerita. 11 Dirjen dapat imbalan karir aman. Apakah begitu?
Selain itu, RR dituduh bicara isi kebun binatang. Padahal publik mengenal RR selalu bicara sistematis, terukur dan mencerahkan. Sangat jauh dari tuduhan bicara isi kebun binatang. Berjuta kali RR tampil di TV tak sekalipun bicara isi kebun binatang. Jelas JK atau pelapornya yang mengarang cerita bohong.
Bisa disimpulkan statemen JK penuh kebohongan. Kebohongan lainnya, misalnya, JK menyebut RR tidak dihitung SBY karena tidak pernah dipanggil ke Cikeas untuk ikut fit and propertest menteri pada 2004. Faktanya, kehadiran RR di Cikeas diberitakan media online dan banyak teve.
Karni Ilyas Club dimanfaatkan untuk meraih keviralan. Jalur yang bisa mengantarkan kembali ke predikat sebagai Peng-Peng. Pengusaha rangkap jabatan sebagai penguasa, atau penguasa rangkap jabatan sebagai pengusaha.
Wajar JK dianggap bermimpi ingin seperti Biden. Bekas Wapres naik kelas menjadi Presiden. Libido kuasa mencuat kembali. Apalagi melihat kaki-kaki bisnis keluarga mulai tak berdaya. Butuh beking politik. Bank Bukopin terpaksa diserahkan ke Kookmin Bank.
Ingin bisnis lancar, kuasailah politik!! Peng-Peng biasanya berpikir cermat. Pemilu 2024 sudah di depan mata. Tiga tahun cukup sebagai persiapan.
Penulis adalah aktivis Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima)