GUSTI Dipo—begitu saya biasa menyapanya—sudah saya kenal sejak akhir tahun 70-an di Yogya. Beberapa waktu lalu, sahabat dari Solo ini mengirim pesan pendek lewat Whatsapp tentang wayang (wayang kulit) setelah membaca tulisan saya, Hikayat Sengkuni dan Kresna.
Dalam pesan pendeknya itu, Gusti Dipo menulis demikian. Pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito pernah mengajukan pertanyaan: dalam pertunjukan wayang, siapa yang paling berperan, apakah wayang (lakon) atau dalang atau bléncong?
Pesan pendek itu mengingatkan saya akan kisah Gatolotjo dalam Serat Suluk Gatolotjo yang aslinya berjudul Balsafah Gatolotjo (pada tahun 1980-an, buku ini pernah dilarang).
Gatolotjo juga mengajukan pertanyaan hampir-hampir sama. Sebenarnya bukan pertanyaan tetapi teka-teki ketika berada di pondok Cepekan.
Gatolotjo berkata, dalang, wayang dan kelir (layar), serta bléncong mana yang paling tua? Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri. Menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi. Ia mengatakan yang paling tua tidak lain adalah wayangnya.
Namun bagi Gatolotjo kesemua jawaban tersebut belumlah tepat. Menurut Gatolotjo, bléncong lah yang paling tua. Dalam sebuah pentas wayang purwa (wayang kulit) walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap tentunya pentas belum bisa dimulai (kecuali pentasnya siang hari). Baru setelah bléncong dinyalakan, pentas dimulai.
Bléncong adalah lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjukan wayang purwa. Lampu ini terbuat dari logam, biasanya terbuat dari perunggu, bentuknya menyerupai burung dengan dengan sayap-sayap mengepak dan ekornya terangkat dan digantung persis di depan layar di atas dalang.
Bléncong adalah sumber cahaya; cahaya yang menghidupkan wayang; cahaya sumber kehidupan.
Ketika pentas selesai, kelir (layar) digulung, wayang dimasukkan ke dalam kotak, gamelan diringkesi, dipak, dalang pisah wayang, bléncong juga pisah dengan wayang. Semua tidak ada artinya, bila bléncong sudah mati.
Tetapi, orang tetap menganggap dan mengakui bahwa dalang adalah tokoh sentral dalam pergelaran wayang. Ia juga pemain. Artis. Pemilik kuasa, terutama dalam pertunjukan wayang kulit. Apalagi dalam pentas dalang jemblung, kesenian tradisional Banyumas.
Menurut yang paham, kata jemblung merupakan singkatan dari kata dalam bahasa Jawa jenjem-jenjeme (tentram-tentramnya) wong gemblung (orang gila). Rasa tentram yang dirasakan orang gila.
Orang juga menyebut dalang jemblung sebagai seni teater tutur Banyumasan, yang dimainkan oleh satu orang dalang atau lebih, bisa sampai empat.
Mereka, para dalang, bercerita dan berdialog layaknya pertunjukan wayang kulit atau ketoprak (sesuai dengan lakon tertentu), suara gamelan ataupun musik pengiring lain secara sederhana dilantunkan dengan mulut (meniru suara gamelan). Di dalam mulut ada “gamelan.â€
Kesenian Jemblung benar-benar memfokuskan pada seni suara berupa cerita dan dialog tanpa gerakan tubuh. Gerakan aktif hanya pada mimik muka (ekspresi wajah), sehingga kesenian ini dilakukan dengan posisi duduk.
Sesekali pemain berdialog melucu yang keluar dari alur cerita. Keadaan ini biasanya dilakukan ketika mereka akan mengambil sesaji dan memakannya.
Dalang—entah itu wayang kulit atau wayang beber, wayang wahyu, wayang klithik, wayang golek, atau wayang gedhog, dan juga dalang jemblung—termasuk kaum intelektual tradisional.
Sebagai seniman, dalang adalah manusia literer yang sekaligus filsuf. Sebagai intelektual tradisional, para dalang wayang kulit juga termasuk bagian dari kelompok sosial yang berkuasa, karena mereka memiliki (menguasai) massa penggemar.
Dialah—dalang—penentu apakah tokoh-tokoh wayang yang dimainkan bertabiat baik atau jahat. Dialah otak di balik suatu peristiwa. Dialah yang bikin cerita. Dialah arsitek sebuah kejadian.
Dialah yang menentukan siapa yang menang dalam perang tanding, misalnya, antara Sentiaki melawan Dursasana atau antara Gatotkaca melawan Adipati Karna, atau kapan gara-gara dimainkan dan sebagainya.
Dalang adalah otak dari sebuah peristiwa, sebuah “hajatanâ€. Tetapi, dalang tidak selalu berarti negatif, tergantung apa yang dilakukan, rancangannya. Dalam bahasa Latin orang yang memerankan diri sebagai dalang, sebagai arsitek, sebagai otak dalam sebuah peristiwa disebut sebagai,
auctor intellectualis.
Menurut seorang ahli bahasa dari Prancis Emile Benveniste (1902-1976), kata auctor (yang dalam bahasa Inggris menjadi author) diambil dari bahasa Latin augeÅ (augere, kata kerja). Dalam kamus bahasa Latin-Indonesia (K Prent c.m, J Adisubrata, dan WJS Poerwadarminta; 1969) kata augere mempunyai banyak arti, antara lain meningkatkan, memperbesar, menumbuhkan, memperbanyak, memperkuat, memperteguh, memupuk, dan memperkembangkan. Dalam bahasa Inggris menjadi to augment, yang berarti memperbesar, memperbanyak, dan menambah.
Sedangkan kata auctor, dalam kamus yang sama, berarti perencana, perancang, cikal-bakal, pencipta, penemu, pendiri, penegak, pembangun, pembina, dan pembuat. Selain itu juga berarti, penasihat, pendorong, penyebab, penggerak, pencetus, dalang, penganjur, pendekar, gembong, dan pelopor. Sementara arti kata intellectualis (adiectivum, kata sifat) adalah mengakalbudi, mengintelek.
Dalam rumusan K Bertens
auctor intellectualis berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa (Kompas, 1 Mei 2000).
Sebagai contoh, siapa yang menjadi otak serangkaian pemberontakan di Majapahit pada waktu itu? Para tokoh yang ikut mendirikan Majapahit bersama Raden Wijaya—Ranggalawe (1295) dan Lembo Sora (1300)—pun angkat senjata. Setelah Raden Wijaya meninggal dan digantikan Jayanagara, tiga pemberontakan terjadi:Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319).
Para ahli sejarah mengatakan dalam Serat Pararaton dan Kidung Sorandaka disebutkantokoh Mahapati Dyah Halayudha sebagai biang kerok pecahnya pemberontakan. Menurut Pararaton semua pemberontakan itu akibat fitnah dan adu domba Mahapati. Mahapati Dyah Halayudha disebut sebagai
auctor intellectualis.
Pada tahun 1948, pecah pemberontakan PKI di Madiun. Dan, Musso disebut sebagai dalang,
auctor intellectualis-nya. Andi Abdoel Azis, mantan perwira KNIL, dicatat sebagai dalang pemberontakan Andi Aziz (1950) di Sulawesi Selatan. Raymond Pierre Paul Westerling disebut sebagai dalang pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (1950).
Masih banyak pemberontakan lain atau huru-hara yang pernah terjadi di negeri ini. Pemberontakan 30 September 1965, misalnya, siapa dalangnya? Ada yang menyebut satu. Artinya aktor tunggal. Tetapi, ada yang menyebut lima. Dengan kata lain, ada banyak teori tentang peristiwa 30 September 1965, yang bulan lalu diramaikan lagi.
Pendek kata, selalu ada tokoh di balik sebuah gerakan. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan dalam sebuah wawancara (tersebar di media sosial) “…ini pasti ada dalangnya…â€, ketika bicara soal demonstrasi anarkis beberapa hari lalu. Sebelumnya, Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X mengatakan bahwa demonstrasi anarkis itu, “by designed.†Pen-designed itulah auctor intellectualis-nya, perancangnya, arsiteknya, dalangnya, atau gembongnya.
Sampai di sini: ada dalangnya dan by designed. Tentu, orang akan bertanya, akankah dalang, perancang,
auctor intellectualis itu terungkap? Atau pertanyaannya lain: adakah keberanian untuk mengungkap siapa yang telah menjadi dalang demonstrasi anarkis selama ini, kalau memang diyakini ada dalangnya?
Bukankah tidak ada satupun gerakan massa—dan apalagi itu anarkis—yang muncul begitu saja, ibarat kata muncul dari dalam bumi? Tidak ada pula tindakan anarkis, yang dilakukan banyak orang, dan di mana-mana yang jatuh dari langit. Bukankah, ada asap ada api? Tetapi, selama ini yang disebut “dalang†nyaris tidak pernah diungkapkan.
Orang mengatakan, becik ketitik ala ketara, perbuatan baik dan buruk pasti akan terlihat nantinya. Begitu kata peribahasa. Sebab,
lupus pilum mutat, non mentem, serigala mengganti bulunya, bukan wataknya (sehingga ada serigala berbulu domba dan serigala berbulu ayam sekalipun; tetapi wataknya tetaplah serigala, karena memang dia serigala). Atau vulpem pilum mutat, non mores, seekor rubah mungkin mengubah bulunya, tetapi bukan tipuannya.
Mengapa serigala tetaplah serigala walau berganti bulu, rubah tetap rubah meski juga berganti bulu? Kata orang-orang tua yang bijak, ciri wanci lali ginawa mati, watak buruk seseorang tidak akan hilang sampai mati. Dan, orang tahu semua itu.
Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Perbuatan yang tidak benar pada akhirnya akan terbongkar juga.
Karena itu, "sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti“, orang yang melakukan perbuatan buruk meskipun kuat, digdaya, dan berkuasa, pasti akan kalah dengan orang yang berbuat baik. Itu sebuah sikap penghibur diri, yang mengharapkan adanya sikap ksatria dari seorang
auctor intellectuallis mengaku bersalah.
Sebab, ketika pentas wayang sudah selesai—seluruh cerita dibeberkan, kekuatan kejahatan dengan tokoh-tokohnya yang juga jahat berhasil disingkirkan, ditumpas, kelir (layar) digulung, wayang dimasukkan ke dalam kotak, gamelan diringkesi, dalang pisah dengan wayang, bléncong juga pisah dengan wayang—dalang, sang auctor intellectualis, akan seperti “dalang jemblung†yang ngomong sendiri, nembang sendiri, menyuarakan gamelan sendiri dari mulutnya.
Semua tidak ada artinya, bila bléncong sudah mati. Tetapi, kebenaran meski sering dikorbankan tidak akan pernah mati. Dalang tetaplah dalang, sama dengan serigala tetaplah serigala walau berganti-ganti mantel yang dipakainya.