Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen/Net
Pemerintah tak perlu jorjoran dengan menghambur-hamburkan uang di masa sulit pandemik Covid-19 ini. Karena tak seorang pun yang tahu secara pasti kapan pandemik ini berakhir. Rakyat Indonesia harus diedukasi untuk mengetatkan ikat pinggang, bukan diajak bermanja-manja.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen, kepada wartawan di Jakarta (3/9).
"Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin semua rakyatnya makan, dengan memberikan bantuan sosial (bansos) yang continue, yang digelontorkan kepada semua rakyat tentu disertai pengawasan melekat. Agar semua rakyat Indonesia dari Merauke sampai Sabang dapat bansos, tanpa diskriminatif. Jangan sampai presiden terima informasi yang hanya 'ABS' (asal bapak senang) tok," ucap Silaen.
Pemerintah, menurut Silaen, harus mampu menjaga keseimbangan neraca belanja dengan penuh kehati-hatian, bukan justru seperti sinterklas yang hanya sekali dalam sebuah momentum.
Karena persoalan yang sedang dihadapi saat ini adalah musuh yang tak terlihat, tapi ganas. Jadi semua orang harus menghemat uang belanjanya untuk hal-hal penting (kebutuhan pokok), karena pandemik Covid-19 yang belum menemukan ujung.
Masih kata Silaen, pemerintah pusat sebagai penjaga fiskal negara harus mampu men-'trase' penerima bansos agar terjadi pemerataan ala 'sosialis', sesuai dengan pendekatan aturan yang ada. Jika belum ada harus dibuat aturannya, agar tidak terjadi polemik yang menguras pikiran.
"Pemerintah pusat tak perlu menekan terlalu berlebihan kepada instansi/lembaga/daerah, soal akan terjadinya resesi ekonomi, sebab dunia juga mengalaminya. Justru
pressure yang berlebihan dari pemerintah pusat kepada instansi, lembaga dan daerah-daerah akan menimbulkan semacam teror buat masyarakat umum," papar Silaen.
Ditambahkanya, resesi ekonomi akibat pandemik Covid-19 sama halnya yang dialami dunia. Artinya, hal tersebut tak bisa terhindarkan lagi. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengurangi risiko yang timbul, yang harus dikalkulasi secara detail. Bagaimana mengelola anggaran keuangan, baik antara pusat dan daerah, supaya semua skenario yang diambil pemerintah jangan sampai salah sasaran.
"Belanja barang dan jasa daerah yang didorong/dipaksakan secara berlebihan dan ada kesan terintimidasi akan menyebabkan terjadinya pemborosan/korupsi disana-sini dan di luar kendali, jadinya mubazir. Perlu kajian lebih lanjut," imbuh Silaen.
Tak hanya itu, Pemerintah pusat juga harus membagi anggaran yang ada secara cermat, detail ala 'sosialis'. Agar semua pelaku ekonomi di semua level dapat bagian, minimal untuk menyambung hidup.
Inilah yang dalam pandangan Silaen harus dilakukan pemerintah pusat agar semua 'happy' di masa musibah pandemik Covid-19 ini.
"Menghabiskan anggaran keuangan secara jorjoran tidak serta-merta bisa menghapus seketika dampak ekonomi akibat hantaman pandemik Covid-19. Pemerintah pusat harus berpikir ulang yakni bagaimana cara mengurangi atau mengatasi jurang resesi ekonomi secara tepat," kata mantan aktivis DPP KNPI itu.
Ditegaskannya, tak ada yang kebal terhadap hantaman virus pandemik Covid-19 ini, kaya-miskin kena dampak, hanya saja tak semua langsung 'melarat'. Orang kaya sempoyongan dan yang miskin terkapar, kira-kira begitu. Jadi pemerintah harus lebih berhati-hati dalam memilih dan menjalankan skema pemulihan ekonomi Indonesia.
"Presiden Jokowi harus mampu mengorkestra semua jajarannya menjadi ritme yang harmonis dari semua komponen yang ada. Tidak boleh ada pihak-pihak yang merasa paling benar dan paling berjasa di dalam pemulihan ekonomi Indonesia, semua rakyat diajak urun rembuk, secara
bottom-up," tandas alumni Lemhanas Pemuda I 2009 itu.