Berita

Mulyono/Net

Dahlan Iskan

Mulyono Merdeka!

RABU, 19 AGUSTUS 2020 | 05:31 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

JARANG pengusaha punya mimpi seperti ini: "Umur 45 tahun sudah harus tidak punya utang." Mimpi itu sedikit meleset. Tapi yang penting tercapai. Hanya meleset 2 tahun. Kini ia sudah tidak punya utang sama sekali.

Nama orang merdeka ini hanya satu kata: Mulyono. Ia orang Gemolong, Sragen, Jateng. Utang terakhirnya: Rp 40 miliar. Yakni utang ke BRI di daerahnya: Sragen.

Setelah tidak punya utang itu bisnis Mulyono kian cepat berkembang. "Setelah tidak punya utang pikiran lebih kreatif," ujar Mulyono.

Bisnis lamanya masih terus berkembang. Bisnis barunya terus saja lahir. Tanpa modal dari bank lagi. Yang terbaru adalah: Mulyono berternak belatung!


Binatang ulat kecil yang dulu dianggap menjijikkan itu justru ternyata menjadi sumber protein yang terbaik.

Sebelum berternak belatung itu Mulyono beternak lalat. Lalat Sungguhan. Lahan ternak lalatnya saja 6.000 m2. Masih pula akan terus diperluas.

Ternak lalat itu dia lakukan untuk mendapatkan telur lalat. Telur lalat itulah yang dia tebar di sampah yang dia kumpulkan dari pasar-pasar. Ia sangat senang mendapat sampah pasar buah. Buah busuk itu subur sekali untuk ditaburi telur lalat. Agar telur lalat itu menjadi belatung.

Sampai bisa ekspor. Cacing ternyata juga sumber protein yang luar biasa bagusnya.

Sebelum beternak cacing Mulyono berternak ikan. Berbagai macam ikan ia kolamkan: gurami, nila, lele, sampai ikan hias.

Sebelumnya lagi Mulyono giat mengembangkan pabrik pupuk organik. Pupuk kompos. Sampai saat ini Mulyono memiliki 9 pabrik pupuk kompos. Termasuk yang di Wonogiri dan Lampung. Ia tidak akan tertarik mendirikan pabrik pupuk kompos kalau tidak terancam dipermalukan.

Yakni ketika awalnya Mulyono jualan pupuk organik kecil-kecilan. Itulah pekerjaan pertama setelah lulus kuliah. Ketika ia masih sangat muda. Saat baru lulus dari UNS Solo. Di universitas itu Mulyono mengambil bidang studi MIPA Kimia.

Saat menjadi mahasiswa kimia itulah Mulyono mengetahui soal perlunya mengembangkan pupuk organik. Tapi ia belum punya modal. Yang ia punya adalah semangat. Mulyono pun kulakan pupuk ke pabrik. Untuk disalurkan ke para petani.

Lama-lama Mulyono punya banyak pelanggan. Sampai-sampai pabrik pupuk organik yang ada tidak bisa memenuhi permintaannya.

Mulyono sempat bingung. Ia sudah menerima pesanan. Tapi tidak bisa mendapatkan pupuk dalam jumlah yang cukup.

Itulah yang mendorong Mulyono membuat pabrik pupuk sendiri. Itulah pabrik pupuk organik yang pertama yang ia punya.

Sukses.

Bikin pabrik kedua.

Sukses lagi.

Bikin yang ketiga.

Lagi-lagi sukses.

Bikin yang keempat. Dan seterusnya.

Mulyono sampai punya formula sendiri untu pupuknya itu. Kini beberapa peternak besar pun menggalang kerjasama dengan Mulyono. Agar Mulyono mau membuat pabrik pupuk di dekat peternakan itu. Dengan menggunakan formulanya.

Mulyono juga ingin membantu peternakan ayam. Agar kotoran ayam itu bisa jadi pupuk yang berharga.

Pabrik pupuk, ternak ikan, ternak cacing, ternak lalat dan ternak belatung itu kini jalan semua. Pun di zaman Covid-19 ini. Tidak ada bisnis Mulyono yang terganggu.

"Ternak ikan itu tidak akan untung kalau tidak bisa mengembangkan sumber protein sendiri," ujar Mulyono.

Saya merasa beruntung bisa bertemu sosok seperti Mulyono. Yang ia datang ke Harian DI's Way beberapa waktu itu. Bersama rombongan anggota MTR –Masyarakat Tanpa Riba itu.

Soal bisnis semua menyenangkan. Yang membuat ia gelisah adalah utang bank itu. Yang kian tahun kian besar nilainya. "Utang ke bank itu seperti mengisap candu. Bisa kecanduan," katanya. Pun kian lama utang itu kian besar pula.

Di tengah kegalauan itu Mulyono mendengar istilah MTR. Mulyono pun ingin bergabung menjadi anggota MTR.

Ia akhirnya memang bisa menjadi anggota MTR, tapi tidak seperti yang ia bayangkan. "Dulu, saya bayangkan asyik sekali. Dengan menjadi anggota MTR kita akan mendapat pinjaman tanpa bunga dari MTR untuk melunasi utang bank yang berbunga," ujar Mulyono. "Pokoknya yang saya bayangkan itu sangat asyik," guraunya.

Ternyata tidak begitu.

Dengan menjadi anggota MTR Mulyono hanya mendapat kesempatan pendidikan bagaimana bisa melunasi utang. Pendidikan itu berjenjang. Satu tahap perlu waktu dua hari.

"MTR menjadi kampus baru saya. Dari unlearning ke relearning," katanya. "Kami kembali belajar bisnis, manajemen, keuangan dan juga belajar kehidupan yang lebih bermakna," katanya.

Kapan-kapan saya akan menulis soal model pendidikan MTR ini. Berikut jenjangnya. Terutama bagaimana kurikulum itu bisa 'meracuni' anggotanya untuk melunasi utang.

Kebetulan mertua Mulyono itu aktivis Muhammadiyah di Sragen. Ia guru SMAN Gemolong untuk ilmu ekonomi. Gemolong adalah satu kecamatan di Sragen (40 km) tapi lebih dekat ke Solo (20 Km).

Istrinya sendiri lulusan akuntansi Universitas Muhammadiyah Solo. Awalnya sang istri ingin jadi pegawai negeri. Sang suami sebenarnya tidak ingin istrinya jadi pegawai negeri. Tapi sang istri nekat.

Pada hari pertama berangkat bekerja, sang istri berubah pikiran. Di tengah perjalanan menuju instansi tempatnya bekerja itu sang istri berhenti. Lalu balik pulang. Akhirnya dia ikut kehendak suami.

Sekarang sang istri menjadi kepala keuangan perusahaan suaminyi itu. Dengan karyawan tetap 60 orang dan karyawan tidak tetap 500 orang.

Di Gemolong itu pula Mulyono kini dipercaya untuk membangun lembaga pendidikan Muhammadiyah. Di atas tanah-tanah waqaf.

Pelunasan utangnya sendiri dilakukan setelah ia mendapat pendidikan di MTR itu. Hari itu juga Mulyono pergi ke bank. Kepada petugas bank, Mulyono mengatakan ingin mengakhiri utangnya. Ia akan membayar seluruh pokoknya. Tapi ia minta dibebaskan sisa bunganya.

Petugas bank, kata Mulyono, sampai marah-marah. Utang kok dilunasi. Bank sangat senang mempunyai nasabah seperti Mulyono. Pembayaran pokok dan bunganya lancar. Tidak pernah telat. Usahanya pun terus berkembang. Kok tiba-tiba tidak mau punya utang.

Tentu petugas bank tidak bisa memutuskan. Terutama soal pembebasan bunga akibat pelunasan itu.

Sambil menunggu putusan pimpinan bank, Mulyono tidak mau lagi membayar bunga. Setiap kali ditagih Mulyono tinggal mengatakan: kan sudah bilang tidak mau lagi membayar bunga.

Tentu bank mengajaknya berdialog: mengapa punya sikap begitu.

Mulyono berterus terang: itu soal keyakinan agama. Bahwa membayar bunga itu haram. Dia tidak ingin terlibat masalah haram.

Berhasil. Yakni setelah enam bulan terus membangun komunikasi dengan bank.

Akhirnya Mulyono mendapat surat pembebasan bunga itu. Dan ia pun melunasi utangnya.

Mulyono pun merasakan apa itu Merdeka!

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya