Berita

Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna/Net

Publika

Merdeka Tanpa Kemerdekaan

SENIN, 17 AGUSTUS 2020 | 08:16 WIB

SIRKULASI pergantian kepemimpinan nasional, tampak belum mampu mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat. Kontras dari itu, kesejahteraan elite politik dan pemilik modal, jauh terdongkrak tinggi.

Bahkan, sirkulasi itu hanya memproduksi ketimpangan, segregasi sosial, dan disparitas ekonomi yang menganga lebar. Akhirnya, rakyat bertanya, apa hasil gonjang-ganjing elite politik selama ini?

Sejak proklamasi kemerdekaan, seyogianya bangsa Indonesia telah mampu melepaskan nasib anak bangsa dari belenggu penderitaan. Pada faktanya, penjajahan dalam format baru belum mampu dienyahkan. Kekuasaan ekonomi masih diakumulasi oleh segelintir orang dengan sokongan kuasa politik.


Jika zaman kolonialisme primitif dilakukan secara kasar, bahkan dengan pendekatan militer, saat ini proses relasinya dilakukan secara sophisticated .

Jika pada zaman kolonialisme primitif, menggunakan sistem cultuurstelsel  untuk menopang surplus ekonomi Negara kapitalis maju, dewasa ini menggunakan logika perdagangan bebas yang dikendalikan sistem informasi.

Makna kemerdekaan ada dua, yakni kemerdekaan secara prosedural-konstitusional dan kemerdekaan substantif. Kemerdekaan prosuderal-konstitusional adalah kemerdekaan yang secara prosedur, bangsa dan rakyat Indonesia telah mampu mengusir penjajah dan melepaskan diri dari kolonialisme asing.

Bahkan, secara konstitusional, alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sementara kemerdekaaan substantantif, yakni kemerdekaan bermakna luas, seperti kemerdekaan sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan seterusnya.

Pada suatu ketika Bung Karno  menyampaikan konsep Trisakti: “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Menurut Bung Karno, suatu negara tidak akan mampu berdaulat di bidang politik, jika tidak berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Dengan demikian, penjajahan yang harus dihapuskan di bumi Indonesia adalah penjajahan yang tidak sesuai perikemanusiaan dan perikeadilan. Artinya, penjajahan yang dimaksud tidak semata kolonialisme asing tapi juga kolonialisme domestik.

Fakta sejarah mengonfirmasi, kemerdekaan kata Bung Karno, merupakan “jembatan emas” menuju kemakmuran yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Sebelum Indonesia dijajah, secara fakta politik sudah ada kekuasaan di tangan para raja dan sultan. Tatakala VOC tiba di tanah air, maka para raja dan sultan banyak yang menjual sumberdaya ekonominya berserta rakyat yang diperlakukan bagai budak, diserahkan kepada VOC.

Usai penjajahan VOC, dilanjutkan oleh pemerintah Belanda yang selama berabad-abad rakyat kita sengsara dieksploitasi, kerja rodi, dan dihina sebagai inlander (jongos).

Hinga kemudian di alam kemerdekaan prosedural-konstitusional sejak 17 Agustus 1945 hingga dewasa ini, fakta telanjang masih akrab terlihat penjajahan masih dilakukan oleh bangsa sendiri, pemodal kakap dan komprador domestik berkolaborasi dengan bangsa asing.

Sumberdaya ekonomi bangsa akhirnya dikuasai korporatokrasi global. Sehingga kemerdekaan substantif hanya sekadar imajinasi yang tidak pernah terwujud karena disandera oligarki kepentingan ekonomi dan politik.

Yang terjadi kemudian, penguasa modal kakap domestik menyebarkan "teologi balas budi” kepada penguasa dan calon penguasa politik baik secara individu maupun kelembagaan, termasuk kekuatan partai politik (parpol) besar.

Penguasa modal kakap itu tidak pernah berafiliasi dengan siapa pun, kecuali berafiliasi dan merawat kepentingan modalnya.

Mereka inilah yang sejatinya menentukan “hitam-putihnya” republik, yang seolah mereka tidak ada tapi pada faktanya merekalah yang mengatur kekuatan dan kebijakan ekonomi dan politik nasional.

Di Amerika Serikat misalnya, jumlah populasi Yahudi hanya sebesar 7 juta jiwa dari 340 juta penduduk Amerika. Orang-orang Yahudi tidak pernah berambisi menjadi Presiden Amerika. Namun, fakta berbicara bahwa siapa pun presiden di negeri Paman Sam itu, pastilah otak kebijakannya berpihak ke bangsa Yahudi.

Begitu pula kekuasaan pemilik modal kakap di Tanah Air, mereka yang jumlah secuil itu telah menentukan corak dan arah kebijakan negeri nan elok Indonesia ini. Merdeka !!

Mukhaer Pakkanna
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Ratusan Pati Naik Pangkat

Selasa, 02 Desember 2025 | 03:24

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Reuni 212 dan Bendera Palestina

Selasa, 02 Desember 2025 | 22:14

Warga Gaza Sumbang 1.000 Dolar AS untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 02 Desember 2025 | 05:03

UPDATE

Seperti Terra Drone, Harusnya Aparat Usut Korporasi Pembalak Liar di Sumatera

Jumat, 12 Desember 2025 | 18:14

Prabowo Dengarkan Keluhan Warga di Pengungsian Aceh Tengah

Jumat, 12 Desember 2025 | 18:09

Kopdes Merah Putih Bukan Ancaman Usaha Lokal

Jumat, 12 Desember 2025 | 18:04

Purbaya Ogah Kirim Baju Ilegal ke Korban Bencana Sumatera

Jumat, 12 Desember 2025 | 18:02

Kemenko PM Kawal Implementasi Sekolah Rakyat di Semarang untuk Tekan Kemiskinan Ekstrem

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:57

Muhammadiyah Diganjar Penghargaan Nazhir Tanah Wakaf Terluas 2025

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:54

Petinggi NATO Minta Eropa Bersiap Hadapi Agresi Rusia

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:54

Ketika Negara, Bisnis, dan Partai Merobohkan Kedaulatan Rakyat

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:45

Rezim Hukum Bencana: Kontradiksi Bantuan dan Ganti Rugi

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:39

8 Mantan Pejabat Kemnaker Didakwa Peras Agen TKA Sampai Rp135 Miliar

Jumat, 12 Desember 2025 | 17:14

Selengkapnya